Indonesia Memimpin Pertumbuhan Ekonomi Internet di Asia Tenggara
Pertumbuhan ekonomi internet di Asia Tenggara belum ada tanda-tanda akan melambat. Indonesia dan Vietnam memimpin pertumbuhan itu.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai ekonomi internet di Asia Tenggara, berdasarkan laporan studi ”e-Economy SEA 2019”, diperkirakan mencapai 100 miliar dollar AS pada 2019. Nilai ini tumbuh lebih dari tiga kali lipat dalam empat tahun terakhir.
Laporan ”e-Economy SEA 2019” yang dikutip pada Jumat (4/10/2019) ini merupakan hasil riset Google, Temasek Holdings Pte, dan Bain & Co.
Ekonomi internet dihitung dari ukuran nilai barang dagangan (GMV) dari perjalanan dalam jaringan, perdagangan secara elektronik atau e-dagang, media daring, dan layanan angkutan umum berbasis aplikasi. Negara-negara yang diteliti adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Adapun rata-rata pertumbuhan tahunan 33 persen.
Bloomberg, melalui artikel ”Southeast Asia\'s Internet Economy to Top $100 Billion This Year”, Kamis (3/10), menjelaskan, dalam laporan ”e-Economy SEA 2019” Indonesia menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi internet di Asia Tenggara. Nilai ekonomi internet Indonesia sekitar 40 miliar dollar AS pada 2019.
Dalam studi itu disebutkan, ekonomi internet di Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina tumbuh 20-30 persen per tahun, tanpa ada tanda-tanda melambat. Sementara Indonesia dan Vietnam memimpin pertumbuhan ekonomi internet di wilayah Asia Tenggara dengan tingkat pertumbuhan lebih dari 40 persen per tahun.
Pencapaian tersebut, antara lain, didukung penetrasi jumlah pengguna internet. Ada sekitar 360 juta pengguna internet di Asia Tenggara, yang 90 persen di antaranya terhubung ke internet melalui telepon seluler.
Kecepatan mengadopsi ekonomi digital juga menonjol di kawasan Asia Tenggara, misalnya dalam e-dagang.
Pada 2015, sekitar 49 juta orang membeli atau menjual barang secara daring. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat menjadi 150 juta orang pada 2019.
Melaju
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, Jumat, di Jakarta, mengatakan, penetrasi e-dagang di Indonesia melaju cepat. Jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 40 persen dari penduduk Asia Tenggara turut memengaruhi pencapaian ekonomi internet. Meskipun, pengeluaran untuk transaksi e-dagang masih kecil.
”Pengeluarannya masih di kisaran ratusan ribu rupiah per orang,” ujarnya.
Menurut Ignatius, sebenarnya idEA sudah lama mendorong pembentukan aturan main untuk industri e-dagang, misalnya etika promosi yang tidak menjurus pada upaya menjual produk dengan harga rendah. Jika dibiarkan, kondisi ini akan menyulitkan pemain e-dagang baru yang ingin masuk ke bisnis ini dan berdampak buruk terhadap perilaku konsumen.
”Semakin sering \'aksi bakar uang\', semakin cepat valuasi suatu perusahaan naik. Hal ini menyerupai adu kekuatan dan tidak bagus untuk perkembangan industri jangka panjang,” katanya.
Pemerintah, tambah Ignatius, perlu mempertahankan bisnis perusahaan rintisan. Setidaknya ada 12 perusahaan e-dagang dengan bidang usaha laman pemasaran berskala besar yang masih beroperasi.
Head of Department of Economics Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, yang dihubungi terpisah, menekankan dampak pertumbuhan ekonomi internet terhadap perekonomian nasional. Dampak itu, misalnya, dalam penyerapan tenaga kerja.
Selain itu, menurut Yose, dampak pencapaian ekonomi digital jangan hanya melihat pada penyedia platform perdagangan. Dampak terbesar justru dirasakan pelaku usaha tradisional, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah, serta perusahaan skala besar. Dampak itu, antara lain, pangsa pasar lebih luas, penjualan naik, dan mudah memperoleh suplai bahan baku.
Regional Managing Director Criteo Asia Tenggara-Pasifik, Alban Villani, membenarkan, tingkat penggunaan ponsel pintar yang kian tinggi mendorong pertumbuhan ekonomi digital. (MED)