Tak Ada yang Tolak Amendemen, Pembahasan Segera Dimulai
Pembahasan amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali haluan negara akan dimulai setelah pengisian pimpinan dan personel di setiap alat kelengkapan MPR tuntas.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Dhanang David Aritonang
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 untuk menghadirkan kembali haluan negara, yang di era Orde Baru disebut Garis-garis Besar Haluan Negara, akan dimulai setelah pengisian pimpinan dan personel di setiap alat kelengkapan MPR tuntas.
Semua fraksi di MPR disebut membuka diri pada amendemen sehingga besar kemungkinan amendemen akan terjadi pada MPR periode 2019-2024.
MPR periode 2014-2019 merekomendasikan haluan negara dikaji lebih mendalam oleh MPR 2019-2024, termasuk membangun konsensus politik yang memungkinkan ditetapkannya dalam ketetapan MPR. Untuk itu, syaratnya, UUD 1945 harus diamendemen.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (4/10/2019), menjelaskan, saat ini semua fraksi bersikap serupa terhadap wacana amendemen tersebut.
”Semua fraksi posisinya membuka diri terhadap amendemen konstitusi, tidak ada yang mengatakan tidak mau atau menutup diri,” kata Arsul.
Oleh karena itu, hampir dipastikan perubahan UUD 1945 akan dilaksanakan.
”Waktu pembahasannya masih menunggu hingga (pengisian pimpinan dan personel) alat kelengkapan MPR tuntas. Rencananya pada Sidang Paripurna MPR berikutnya,” ujar Arsul.
Sementara alat kelengkapan MPR untuk menindaklanjuti rekomendasi terkait haluan negara itu sudah dibentuk saat Sidang Paripurna MPR pada Kamis (3/10/2019) malam. Alat kelengkapan MPR dimaksud adalah Badan Sosialisasi, Badan Pengkajian, Badan Penganggaran, dan Komisi Kajian Ketatanegaraan.
Mengacu pada Pasal 41, Pasal 46, Pasal 51, dan Pasal 58 Peraturan Tata Tertib MPR, Badan Sosialisasi bertugas untuk menyosialisasikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan Ketetapan MPR.
Adapun Badan Pengkajian bertugas mengkaji sistem ketatanegaraan dan UUD 1945; menyerap aspirasi masyarakat, daerah, dan lembaga negara yang terkait dengan UUD 1945; serta merumuskan pokok pikiran tentang rekomendasi MPR.
Selain itu, Badan Pengkajian juga bertugas meninjau dan mengevaluasi Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR dari tahun 1960 hingga 2002, khususnya Pasal 4.
Adapun tugas Badan Penganggaran adalah merencanakan arah kebijakan umum anggaran untuk satu tahun anggaran; menyusun program, kegiatan, dan anggaran MPR; mengevaluasi anggaran; serta menyusun standar biaya khusus anggaran, program, dan kegiatan MPR.
”Sementara Komisi Kajian Ketatanegaraan merupakan unsur pendukung MPR yang mengkaji ketatanegaraan. Dalam melaksanakan tugasnya, komisi ini akan berkoordinasi dengan Badan Pengkajian,” kata Bambang.
Hati-hati
Bambang berjanji, MPR akan hati-hati dalam membahas amendemen. Dia juga berjanji, MPR akan mendengarkan aspirasi semua pihak.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengingatkan, amendemen konstitusi harus melibatkan masyarakat. Tak hanya itu, MPR juga perlu memastikan amendemen sejalan dengan keinginan rakyat.
Menurut Arsul, hal lain yang perlu diperhatikan dalam amendemen konstitusi terkait dengan batasan perubahan. Sejauh ini, berdasarkan usulan PDI-P, amendemen terbatas pada pembentukan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
”Amendemen ini harus jelas batasannya, apakah hanya GBHN atau juga mungkin nanti hal lain juga diangkat. Sebab, jika sebuah wacana sudah menggelinding, tidak bisa juga dibatasi,” ucapnya.
Arsul mengakui, dirinya pun memiliki usulan amendemen di luar GBHN. Akan tetapi, ia belum bersedia menjelaskannya saat ini.