Ratusan perantau Minang terdampak kerusuhan di Wamena, Papua, mulai berdatangan ke Sumatera Barat. Sebagian dari mereka berharap keadaan di Papua kembali damai.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG PARIAMAN, KOMPAS — Ratusan perantau Minang terdampak kerusuhan di Wamena, Papua, mulai berdatangan ke Sumatera Barat secara bergelombang sejak Kamis (3/9/2019) malam. Sebagian dari mereka berharap keadaan di Papua kembali damai.
Para perantau yang umumnya berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan itu sampai di Ranah Minang menumpang pesawat terbang. Hingga Jumat (4/9) siang, sudah 240 perantau mendarat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), Padang Pariaman, Sumbar. Sebanyak 51 perantau difasilitasi pemerintah provinsi dan 189 perantau lainnya oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Yang terbaru, sebanyak 17 pengungsi mendarat di BIM dengan pesawat komersial Jumat pukul 15.55. Mereka berangkat dari Bandara Sentani, Jayapura, Papua. Setelah beristirahat beberapa menit, perantau langsung diberangkatkan ke Pesisir Selatan dengan bus yang telah disediakan.
”Dini hari tadi, ada 132 pengungsi yang difasilitasi ACT sampai di Sumbar. Siang ini, ada 40 pengungsi lagi. Sekarang ada 17 perantau. Nanti malam, sekitar 23 pengungsi lagi,” kata pegawai Humas ACT Sumbar Dana Kurnia, Jumat sore.
Sebelumnya, 21 perantau telah sampai di Sumbar beberapa hari lalu. Ada yang pulang dengan biaya sendiri, ada pula yang bersamaan dengan pemulangan 8 jenazah korban pada 26 September lalu.
Ketua Ikatan Keluarga Minang (IKM) Jayawijaya Zulkifli mengatakan, setidaknya ada 1.500 perantau Minang di Wamena dan sekitarnya terdampak kerusuhan. Sebagian besar dari perantau di Jayawijaya bekerja sebagai pedagang.
Zulkifli belum mengetahui berapa perantau yang hendak pulang ke Sumbar. Namun, ada sebagian perantau yang memilih tetap di Wamena. ”Umumnya yang berada di Jalan Irian, di dalam kota, tidak pulang karena (lebih aman) dekat dengan kantor polres dan kodim,” kata Zulkifli.
Trauma
Para perantau yang sampai di Sumbar berasal dari berbagai kalangan usia, mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Rata-rata mereka pulang karena trauma dan butuh waktu untuk menenangkan diri.
Wisri (33), perantau, mengatakan, ia pulang ke Pesisir Selatan bersama suami dan dua anaknya untuk menenangkan diri. Selain itu, Wisri dan keluarga sudah tidak punya harta benda lagi karena habis dirusak dan dibakar saat kerusuhan.
Wisri mengaku, ia dan anak-anak masih trauma atas kerusuhan yang terjadi secara tiba-tiba itu. ”Kami trauma, takut. Kami melihat dengan mata sendiri kerusuhan itu. Situasi kacau sekali. Telinga saya sampai saat ini masih sakit kalau dengar suara agak keras,” kata Wisri, yang berdagang di sana.
Kami berharap Papua segera kondusif, jauh dari teroris atau kriminal bersenjata.
Alasan serupa diungkapkan Indra Gusti Putra (39), perantau lainnya. Ia pulang bersama istri dan lima anaknya untuk meredakan trauma. Untuk sementara, anak-anaknya akan menumpang sekolah di kampung halaman.
Indra mengatakan, ke depannya, ia berencana kembali ke Wamena jika kondisi telah kondusif. Ia dan keluarga sudah telanjur terbiasa hidup merantau. ”Kami berharap Papua segera kondusif, jauh dari teroris atau kriminal bersenjata,” kata Indra.