Menanti Pembuktian DPR
Sebanyak 575 anggota DPR 2019-2024 mewarisi citra dan kepercayaan publik yang rendah dari DPR periode sebelumnya. Meningkatkan kualitas kerja dan tingkat kehadiran menjadi pekerjaan rumah mereka.
”Di hati dan lidahmu kami berharap/Suara kami tolong dengar lalu sampaikan/Jangan ragu jangan takut karang menghadang/Bicaralah yang lantang jangan hanya diam…”
(Iwan Fals)
Ketika dilantik Selasa (1/10/2019), semua anggota DPR 2019-2024 hadir lengkap. Keluarga mereka pun hadir. Namun, hanya berselang tujuh jam setelah acara pelantikan selesai, sekitar 300 anggota DPR sudah mangkir dari agenda penting perdana, yaitu pelantikan pimpinan DPR.
Merujuk hasil jajak pendapat Litbang Kompas, pada 25-27 September 2019, sebanyak 53,3 responden tidak yakin bahwa anggota DPR 2019-2024 mampu mendengarkan dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Secara umum, harapan terbesar bagi DPR saat ini adalah keberpihakan pada kepentingan rakyat (34,4 persen), membawa perubahan (27,2 persen), tidak korupsi (18,1 persen), serta disiplin dan semangat kerja (16,7 persen).
Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, mengatakan, hasil jajak pendapat itu seharusnya menjadi pemacu bagi semua anggota DPR untuk memperbaiki kinerja. Selain bersedia untuk lebih mendengar kritik dan masukan masyarakat, anggota DPR saat ini harus bekerja lebih efektif.
”Banyak interupsi dalam sidang itu bagus, tetapi kita harus menggunakan hak bicara itu lebih relevan sesuai konteks, terutama dalam pembahasan rancangan undang-undang,” kata Habiburokhman, dalam acara bincang Satu Meja The Forum, di Kompas TV, Rabu (2/10/2019).
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini, hadir pembicara lain, yaitu anggota DPR dari Fraksi PDI-P Johan Budi; anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera; anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luluk Nur Hamidah; serta Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte.
Mardani menambahkan, langkah awal yang mesti dilakukan DPR untuk menjawab apatisme publik terhadap mereka adalah dengan mereformasi lembaga itu. Caranya antara lain dengan mengumumkan anggota DPR yang hadir dan tidak hadir dalam sidang paripurna. DPR juga perlu mengumumkan secara berkala proses pembahasan rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam prioritas legislasi nasional (prolegnas).
Mardani menyambut positif aksi mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil untuk menyuarakan aspirasi terkait pembahasan sejumlah RUU kontroversial yang dilakukan di ujung masa jabatan DPR 2014-2019.
”Kesadaran masyarakat dalam pembahasan RUU jangan hanya untuk menerima atau menolak, tetapi juga harus memahami diskursus RUU yang dibahas,” ujarnya.
Komunikasi
Menurut Johan, banyak anggota masyarakat yang belum seutuhnya memahami peran DPR. Pada masa kampanye lalu, ia melihat bahwa banyak masyarakat menganggap anggota DPR seperti Sinterklas yang bisa memenuhi semua permintaan rakyat.
Atas dasar itu, ia mencoba memperbaiki persepsi masyarakat terhadap peran DPR dengan menjelaskan tiga peran utama parlemen, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Adapun terkait kontroversi yang terjadi pada masa akhir DPR periode 2014-2019, Johan menilai ada masalah mendasar yang membuat masyarakat marah dengan kinerja DPR. ”Persoalannya terletak pada satu kata, komunikasi. Tidak hanya DPR, tetapi juga beberapa menteri yang tidak tepat memberikan penjelasan kepada masyarakat,” ucap anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Timur VII itu.
Sebagai legislator wajah baru, Luluk menilai, 53,3 persen ketidakyakinan publik terhadap kinerja DPR periode baru menjadi modal awal untuk membuktikan diri kepada masyarakat. Untuk membenahi citra publik, ia juga berpendapat, DPR perlu membenahi pola komunikasi dengan masyarakat.
Pada era teknologi saat ini, setiap anggota DPR dan partai politik memiliki cara mudah untuk melayani konstituen dan masyarakat. Menurut dia, DPR harus memiliki sistem untuk menyerap aspirasi secara daring dan mekanisme untuk menindaklanjuti aspirasi itu.
Untuk memperbaiki kualitas kinerja DPR, kata Philips, lembaga itu harus membuat sistem internal untuk menjamin para anggota DPR lebih bertanggung jawab pada pemilih. Saat ini, katanya, para legislator cenderung hanya takut kepada rakyat di tahun kelima seiring masa kampanye dan pemilu.
”Perlu ada mekanisme reward and punishment dari masyarakat. Sebab, selama ini anggota DPR hanya takut kepada ketua partai politiknya, bukan kepada masyarakat yang memberikan mereka mandat,” tutur Philips.
Selain itu, ia berharap seluruh kerja DPR bersifat terbuka kepada publik, terutama dalam sidang-sidang untuk memutuskan kebijakan strategis.
Meskipun apatisme tetap mengemuka, harapan akan selalu hadir dari kehadiran periode dan wajah-wajah baru di Senayan. Lirik ”Surat buat Wakil Rakyat” di awal tulisan ini perlu jadi renungan para legislator di awal masa kerjanya untuk selalu berkomitmen demi rakyat. Selamat bekerja, semoga amanah!