Seni Rupa Jurnalistik Yakopan
Dalam pameran seni rupa jurnalistik di Taman Yakopan Oktober ini, 45 seniman ingin menyampaikan pesan bahwa media cetak harus semangat menghadapi tantangan zaman.
“Berita itu harus dikejar dan dicari, bukan ditemukan. Untuk itu, wartawan harus rajin turun ke lapangan”. Demikian perupa Valentinus Rommy Iskandar menggambarkan totalitas wartawan dalam tiga manekin berbusana koran yang masing-masing tengah memegang kamera dan alat rekam.
"Manusia-manusia" berbalut koran itu seolah berebutan mencari berita. Sebuah pekerjaan dinamis yang mesti dilakukan dengan cepat, sigap, dan mesti berkeringat.
Kemauan bersusah-payah dalam melakukan kerja-kerja peliputan kini menghadapi tantangan baru di tengah kenyamanan fasilitas dunia digital. Kerja wartawan yang mudah sekali terabaikan.
“Dengan mengangkat telpon dan membaca di internet, wartawan sekarang sudah bisa memperoleh berita. Karya instalasi patung di Taman Yakopan itu hendak mengingatkan agar para wartawan memegang kembali sikap jurnalistiknya: turun ke lapangan, dan bekerja keras serta cekatan mencari berita di wilayah kerja masing-masing. Dulu, pendiri Kompas Jakob Oetama selalu mengulang-ulang katanya ini: ‘Jadi wartawan itu harus total, Mas,” kata GP Sindhunata SJ, jurnalis senior sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Senin (30/9/2019), saat pembukaan Pameran Seni Rupa “Pantang Mundur alias Maju Tak Gentar” di Taman Yakopan, Kompleks Omah Petroek, Karangklethak, Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, DIY.
Karya instalasi patung di Taman Yakopan itu hendak mengingatkan agar para wartawan memegang kembali sikap jurnalistiknya: turun ke lapangan, dan bekerja keras serta cekatan mencari berita di wilayah kerja masing-masing.
Totalitas dan kerja keras jurnalis juga ditampak pada karya instalasi Hermanu dan Edi Sunaryo berjudul “Menggiling Berita”. Dua perupa ini menampilkan alat kuno perajang tembakau yang siap menelan berbagai macam bahan, mulai dari wayang, boneka, mainan kapal, perhiasan, dan sebagainya. Dari hasil gilingan itu, keluar lembaran-lembaran pelat koran yang siap dicetak.
Instalasi ini hendak melukiskan kerasnya pekerjaan wartawan yang mesti siap merajang aneka macam informasi di lapangan kemudian menyusunnya menjadi karya-karya jurnalistik. Sindhunata menyebut wartawan adalah pekerjaan alusan (halus), tetapi semangatnya haruslah seperti semangat pekerja kasar yang mesti dengan sepenuh tenaga dan pikiran bekerja untuk mencukupi nafkahnya.
Sindhunata menyebut wartawan adalah pekerjaan alusan (halus), tetapi semangatnya haruslah seperti semangat pekerja kasar yang mesti dengan sepenuh tenaga dan pikiran bekerja untuk mencukupi nafkahnya.
“Ia tidak (sekadar) menulis berita, tetapi menggiling berita. Namanya saja menggiling, tentu praktiknya tidak boleh dengan enak-enakan dan nyaman-nyamanan. Sebab, seperti perajang tembakau, yang utama bukanlah alatnya, tapi semangatnya, kerja keras dan totalitasnya. Inilah yang kiranya harus terus digugahkan bagi para pekerja pers, di zaman kenyamanan sarana digital ini,” kata dia.
Sementara itu, perupa Alit Ambara dengan karya posternya menggambarkan Bung Karno tengah memberikan pesan tegas…”Kutabalkan namamu Kompas!,” tegasnya sembari memegang Koran Bentara Rakyat, nama yang semula hendak disematkan tetapi kemudian diganti dengan nama Kompas pada 28 Juni 1965. Tampak lingkaran bola hitam dengan lambang Kompas di depan Soekarno bersinar cemerlang. Di bawahnya berderet gambar-gambar para tokoh yang berjasa dalam pendirian Kompas, mulai dari PK Ojong, Frans Seda, IJ Kasimo, dan Jakob Oetama.
Pesan pantang mundur
Masih banyak lagi karya-karya para perupa yang berupaya merespon situasi terkini jurnalisme di Indonesia. Setidaknya ada 45 seniman yang sangat antusias berkontribusi meramaikan pameran seni rupa jurnalistik ini. Tak tanggung-tanggung, mereka adalah seniman-seniman tangguh di bidangnya, seperti Djoko Pekik, Nasirun, Wilman Syahnur, Alit Ambara, Bayu Wardhana, Budi Ubrux, Ong Harry Wahyu, Yuswantoro Adi, Budi Barnabas, Hari Budiono, Samuel Indratma, Bambang Herras, Hadi Soesanto, dan sebagainya.
“Tema ‘Pantang Mundur alias Maju Tak Gentar” kami pikirkan sehubungan dengan situasi sulit yang dihadapi media cetak di era digital. Seberapa bisa teman-teman seniman diajak untuk menciptakan kreasi seni yang bisa mendukung dan membangkitkan semangat media cetak dalam menghadapi tantangan zamannya,” kata Hermanu, Kurator Bentara Budaya.
Pameran yang digelar hingga akhir Oktober 2019 ini juga menjadi wujud terima kasih para seniman terhadap harian Kompas yang selama 37 tahun menemani para seniman dan memberikan dukungan melalui kehadiran Bentara Budaya Yogyakarta. Perhelatan seni ini juga menandai dibukanya Taman Yakopan, sebuah taman edukasi jurnalistik untuk mengenal koran dan pers melalui karya-karya seni rupa.
Baca juga: Menimba "Air Jurnalistik" Sumur Jakob
Sembari menikmati Taman Yakopan, anak-anak muda dan para pengunjung bisa menikmati seduhan Kopi Petroek Nusantara khas Omah Petroek sembari mengakses aneka macam informasi dari Pusat Informasi Kompas yang menyajikan hasil-hasil peliputan Kompas sejak 1965 hingga kini. Harapannya, kelahiran Taman Yakopan yang ditandai dengan semangat Pantang Mundur alias Maju Tak Gentar bisa menjadi awal renaissance, kelahiran kembali jurnalisme cetak untuk melakukan pembaharuan yang dituntut zaman.