Pelatih asal Belanda Guss Hiddink, pada Piala Eropa 2008 memilih mengasuh tim Rusia. Mengapa ia tega "berkhianat"? Bagaimana ia mampu membawa "Beruang Merah" mengalahkan tim "Oranye" yang didukung para pemain bintang?
Oleh
Adi Prinantyo
·6 menit baca
Bagi pencinta sepak bola dunia, nama Guus Hiddink tentu tak asing lagi. Di antara sejumlah kiprah pelatih asal Belanda itu, kisahnya saat melatih kesebelasan Rusia di Piala Eropa 2008, termasuk yang menarik. Maklum, ketika itu Hiddink harus memandu Rusia melawan tim negaranya, Belanda. Ketika itu, lantang ia mengatakan, “Saya siap dianggap sebagai pengkhianat Belanda”.
Dalam konferensi pers di Stadion St Jakob Park, kota Basel, Swiss, 20 Juni 2008, saya duduk di kursi deretan kedua. Mayoritas jurnalis waktu itu menanyakan bagaimana perasaan Hiddink, yang harus memimpin tim "Beruang Merah" melawan tim negaranya sendiri, Belanda. Jawaban Hiddink tetap sama. “Saya ingin menjadi pengkhianat terbesar Belanda tahun ini”.
Seperti termuat dalam harian Kompas edisi 21 Juni 2008, ketika itu Hiddink mengakui, partai melawan Belanda lebih sulit ketimbang saat menghadapi Swedia pada laga sebelumnya, dalam partai penentuan Grup D. Berbeda dengan Swedia yang cenderung monoton, susunan pemain Belanda lebih bervariasi dan lebih lentur, menyesuaikan gaya permainan lawan.
Menurut Hiddink, sulit menemukan titik lemah tim “Oranye”. "Tim Belanda secara taktik, teknik, dan fisik memang salah satu tim terkuat di dunia," ujar Hiddink. Saat ditanya apakah timnya akan bertahan melawan Belanda, Hiddink menegaskan, "Kalau Anda khawatir akan serangan lawan dan lantas bertahan, itu keliru. Kalau takut kebobolan, Anda harus menyerang terlebih dulu".
Demikian kata Hiddink, kala itu. Hasil polesan Hiddink terhadap tim Rusia, dinantikan banyak kalangan mengingat pamornya sebagai pelatih bertangan dingin. Sebelum melatih Rusia, ia berhasil memoles tim nasional Korea Selatan hingga berhasil mencapai semifinal Piala Dunia Jepang-Korsel 2002. Hiddink juga berhasil mengantar Belanda mencapai semifinal Piala Dunia Perancis 1998.
Sejauh mana pencapaian Rusia saat ditangani Hiddink? Saat konferensi pers berlangsung, tim Beruang Merah berhasil lolos ke fase gugur, setelah menempati posisi kedua klasemen akhir Grup D. Rusia mengemas enam poin, hasil dua kali menang atas Yunani dan Swedia. Spanyol di posisi puncak Grup D dengan sembilan angka, hasil kemenangan atas Yunani, Swedia, dan Rusia.
Peringkat Rusia di Grup D membuat tim asuhan Hiddink harus bertemu Belanda sebagai juara Grup C di perempat final. Laga ini menjadi salah satu yang menarik di babak delapan besar, karena penampilan Belanda yang fenomenal. Tim asuhan Marco van Basten itu mengemas sembilan poin, hasil kemenangan atas Italia, Perancis, dan Romania.
Kesuksesan Belanda menjuarai Grup C yang waktu itu dijuluki grup “neraka”, membuat tim Oranye difavoritkan sebagai calon juara. Apalagi, pada laga pembuka fase grup, Belanda meluluhlantakkan tim “Azzurri” Italia dengan skor telak 3-0, pada laga 9 Juni yang juga saya liput di Stadion Stade de Suisse, kota Bern, Swiss.
Ketika itu, daya dobrak Belanda sangat efektif dengan trio gelandang serang mereka yang sedang dalam performa terbaik, yakni Wesley Sneijder, Rafael van der Vaart, dan Dirk Kuyt. Ketiganya optimal memasok bola ke jantung pertahanan lawan, di mana striker tunggal Ruud van Nistelrooy bersiaga. Formasi 4-2-3-1 yang dipasang Van Basten, dinilai cocok dengan skuad kala itu.
Teror ala suporter Belanda
Lalu, bagaimana suasana berlangsungnya big match Belanda vs Rusia di perempat final? Laga yang diselenggarakan 21 Juni 2008 di Stadion St Jakob Park, Basel ini menjadi salah satu yang ditunggu-tunggu oleh publik. Mereka penasaran, akankah Belanda sedigdaya seperti saat menggilas Italia atau menundukkan Perancis dan Romania di fase grup?
Yel-yel pendukung Belanda menggema di seantero stadion St Jakob Park, Basel, malam itu. Dari tribun pers, tempat saya meliput laga tersebut, terlihat pendukung tim Oranye jauh lebih banyak ketimbang fans Rusia. Seakan teror sudah dialamatkan ke tim Rusia, yang memang berstatus underdog.
Saya mencermati line up pemain kedua tim yang dibagikan kepada media sebelum pertandingan. Terasa benar skuad Oranye lebih gagah dengan mayoritas skuad yang memperkuat klub-klub elite Eropa kala itu, seperti Nistelrooy, Van der Vaart, dan Sneijder yang memperkuat Real Madrid, Kuyt (Liverpool), plus kiper Edwin van der Sar (Manchester United).
Di kubu Beruang Merah, sang bintang Andrey Arshavin “hanya” berkiprah di klub Rusia, Zenit St Petersburg. Pemain sayap Yuri Zhirkov juga bermain di CSKA Moskwa. Dalam catatan saya, justru setelah aksi impresif mereka di Euro 2008, Arshavin dan Zhirkov memikat klub Liga Inggris. Arshavin kemudian dipinang Arsenal dan Zhirkov berlabuh di Chelsea.
Namun, tim underdog Rusia ternyata bisa memaksa Belanda mengakhiri laga babak pertama dengan seri tanpa gol. Skor 0-0 hingga turun minum itu membuahkan optimisme bagi tim asuhan Hiddink. Sebaliknya, kondisi itu memunculkan tekanan tersendiri pada Belanda. Maklum, dalam tiga kemenangan di fase grup, dua di antaranya mencatatkan keunggulan di babak pertama.
Dominasi yang meluntur ini makin menjadi, ketika Rusia unggul terlebih dahulu melalui gol Roman Pavlyuchenko pada menit ke-56. Belanda kemudian terselamatkan oleh gol Nistelrooy, empat menit sebelum waktu normal usai. Dengan skor 1-1 hingga 2 x 45 menit, laga harus diselesaikan dengan perpanjangan waktu.
Apa daya, Belanda tak kuasa menolak kemalangan. Rusia kemudian “menikam” Belanda dengan dua gol, yakni pada menit ke-112 oleh Dmitri Torbinski dan menit ke-116 melalui Arshavin. Puluhan ribu pendukung Belanda kemudian membisu dalam kesedihan. Begitu pula suasana di bangku pemain cadangan tim Oranye.
Sebaliknya, sorak sorai menyeruak di kubu Rusia. Hiddink, yang siap dianggap sebagai pengkhianat Belanda, larut dalam suka cita bersama para pemain asuhannya. Gaya Hiddink yang seolah tak peduli dengan suasana muram tim Belanda, menjadi angle tulisan “Belanda Hanya Berjaya di Luar Arena”, yang terbit di halaman 1 Kompas edisi Senin, 23 Juni 2008.
Atmosfer optimisme
Bagi Hiddink, kesuksesan membawa Rusia ke semifinal Piala Eropa 2008, menjadi keberhasilan berikutnya setelah beberapa pencapaian sebelumnya. Sebelum memoles Rusia di Euro 2008, Hiddink membawa PSV Eindhoven menjuarai European Cup 1987-1988, mengantar Belanda ke semifinal Piala Dunia 1998, dan membawa Korea Selatan ke semifinal Piala Dunia 2002.
Sayang sekali, langkah Rusia terhenti di semifinal oleh Spanyol yang kemudian tampil sebagai juara Euro 2008. Meski demikian, prestasi Rusia itu membuat Hiddink tercatat dalam sejarah sepak bola Rusia sebagai pelatih pertama yang membawa tim nasional mereka ke perempat final Euro, setelah pecahnya Uni Soviet.
“Kenekatan” Hiddink yang kala itu siap dianggap sebagai pengkhianat, membuktikan totalitas dia sebagai pelatih profesional. Di mata sejumlah koleganya, Hiddink adalah pembawa atmosfer optimisme di kamar ganti. Kualitas itu ia pertahankan di manapun berada.
Berry van Aerle, yang pernah dilatih Hiddink saat bermain di PSV Eindhoven, ketika memenangi European Cup mengungkapkan, menciptakan suasana penuh semangat di kamar ganti adalah kelebihan Hiddink. “Ini keunggulan terbesarnya, menciptakan soliditas kuat di tim,” kata Van Aerle yang berposisi gelandang kanan.
Hiddink, di mata Van Aerle, adalah pelatih istimewa yang telah membuktikan mutunya berkali-kali. “Lihat apa yang dia lakukan di Korea Selatan. Mereka (warga Korsel) masih mencintai dia, (karena) membawa Korsel di urutan keempat Piala Dunia, saat nyaris tidak ada yang berharap apapun,” tambah dia.
Bukti lain kapasitas Hiddink, tak lain kala dia memimpin Australia memenangi duel play off Piala Dunia 2006 melawan Uruguay, yang lebih difavoritkan. Menurut Van Aerle, mengantar Australia menyingkirkan tim dengan nama besar seperti Uruguay, mengukuhkan keunggulannya dalam menciptakan tim yang kuat dari sekumpulan pemain yang bukan favorit.
Di St Jakob Park, 21 Juni 2008, Hiddink kembali menunjukkan profesionalismenya dengan berkhidmat pada tim asuhannya, Rusia. Ia sejenak meninggalkan identitas kewarganegaraannya, demi memandu tim Beruang Merah menyisihkan Belanda.