Konflik Papua Tak Kunjung Usai, Presiden Diminta Bentuk Tim Pencari Fakta
Temuan tim pencari fakta dapat menjadi masukan dalam upaya mencari solusi kemanusiaan dan pola pendekatan keamanan yang tepat untuk Papua.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akademisi dan pegiat perdamaian Papua mendukung langkah Presiden Joko Widodo yang akan bertemu dan berdialog dengan perwakilan masyarakat Papua untuk meredam konflik dan menyelesaikan persoalan Papua yang tak kunjung tuntas. Mereka pun mendorong Presiden untuk membentuk tim pencari fakta.
Hal tersebut disampaikan oleh Forum Akademisi untuk Papua Damai (FAPD), di Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Para akademisi dan pegiat perdamaian Papua dalam forum itu antara lain Purwo Santoso (Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta), Pater Jhon Bunay (Jaringan Damai Papua), Cahyo Pamungkas (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), I Nyoman Sudira (Universitas Parahyangan), Elvira Rumkambu (Universitas Cenderawasih), dan Al Araf (Imparsial).
Akademisi dalam forum tersebut mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo untuk berdialog dengan para pihak di Papua.
Namun, menurut Jhon Bunay, jika nantinya hasil dialog dengan pihak Papua tidak dieksekusi dan direalisasikan, hal itu akan membawa dampak buruk bagi pemerintah. Jokowi juga akan dianggap pembohong dan ini berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat Papua ataupun Indonesia.
Dalam menjembatani persiapan menuju dialog, Jhon menyampaikan bahwa Presiden perlu menunjuk utusan khusus.
Menurut Nyoman, utusan khusus tersebut harus orang yang dipercayai Presiden. Utusan khusus juga diharapkan menguasai permasalahan Papua dan bukan orang yang memiliki kepentingan lain selain terciptanya perdamaian di Papua.
Selain itu, akademisi mendorong Presiden segera membentuk tim pencari fakta (TPF) untuk mengumpulkan dan mengungkap fakta serta kondisi terkini di Papua. Temuan TPF dapat menjadi masukan dalam upaya mencari solusi kemanusiaan dan pola pendekatan keamanan yang tepat untuk Papua.
Aspek kemanusiaan
Langkah Presiden Jokowi untuk memulai proses dialog yang mengedepankan aspek kemanusiaan sosial budaya dinilai Al Araf sebagai hal penting dalam menyelesaikan permasalahan di Papua. Sebab, sejumlah presiden RI seperti Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono lebih memilih menggunakan pendekatan ekonomi.
”Pendekatan di era Orde Baru melalui operasi militer tidak menyelesaikan konflik, yang terjadi malah kekerasan dan pelanggaran HAM. Di era Megawati, SBY, dan Jokowi di periode pertama pemerintahannya, pendekatan di aspek ekonomi, tetapi ini juga tidak menjawab semua akar permasalahan di Papua, seperti keadilan, kekerasan, hingga pelanggaran HAM,” tuturnya.
Langkah berdialog dengan pihak Papua memang sempat dilakukan Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Namun, upaya yang dilakukan belum maksimal dan optimal karena lengsernya Gus Dur dari jabatan presiden. Oleh karena itu, masyarakat sangat berharap proses dialog di era Jokowi selama lima tahun ke depan dapat berjalan optimal.
”Beberapa menteri memang menolak langkah presiden ini. Padahal, para menteri seharusnya mengikuti sikap politik kebijakan presiden. Dalam republik ini, kepala pemerintahan dan kepala negara itu ada di presiden sehingga para menteri seharusnya tidak memiliki sikap yang berbeda pandangan dengan presiden,” ungkap Al Araf.
Terkait kondisi Papua saat ini, akademisi meminta agar semua pihak dapat menahan diri. Di sisi lain, pemerintah perlu memastikan terciptanya kondisi dan rasa aman, sekaligus mendorong pemulihan pemerintahan sipil yang efektif di Papua.
Penghormatan
Dalam acara tersebut, diselenggarakan pula acara penghormatan kepada akademisi yang telah meninggal dan semasa hidupnya memberikan perhatian penuh pada isu Papua, seperti Muridan Satrio Widjojo, Neles Tebai, dan Mestika Zed.
Muridan S Widjojo adalah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang meninggal pada 2014. Ia mulai memimpin tim kajian Papua sejak 2008. Pada 2010, Muridan bersama akademisi lain menjadi koordinator Jaringan Damai Papua untuk menjembatani dialog dalam rangka menyelesaikan permasalahan HAM, politik, dan ideologi di Papua.
Sementara Neles Tebai adalah seorang cendekiawan, aktivis perdamaian, dan imam Katolik yang meninggal pada April 2019. Neles juga merupakan pendiri dan koordinator Jaringan Damai Papua. Pada Agustus 2017, dia ditunjuk oleh Presiden Jokowi sebagai tokoh kunci dialog saat pertemuan di Jakarta.
Adapun Mestika Zed merupakan Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, yang meninggal pada 1 September 2019. Selain sering menulis sejumlah kolom, dia juga giat mendukung penyelesaian konflik Papua.