JAKARTA, KOMPAS — Keniscayaan perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan belum sepenuhnya dipahami oleh para insan pendidikan. Sebelum masuk ke dalam pelatihan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal, penting mengubah persepsi masyarakat bahwa teknologi bukan momok, tetapi alat bantu.
"Pengalaman di lapangan menunjukkan jumlah guru yang takut dengan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) lebih banyak daripada yang menganggapnya sebagai manfaat," kata Indra Charismiadji ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (2/10/2019). Ia adalah pakar TIK yang kerap memberikan pelatihan kepada para guru di berbagai provinsi, bahkan juga termasuk profesional yang disewa pemerintah Singapura untuk melatih guru-guru di sana pada tahun 2005 hingga 2007.
Berdasarkan testimoni guru, kata Indra, umumnya guru menganggap TIK, terutama telepon pintar dan internet, sebagai penyebab kenakalan anak. Pornografi, kekerasan, dan hiburan tidak bermanfaat menjadi konsumsi siswa sehari-hari. Padahal, situasi ini terjadi karena guru tidak memahami cara memakai teknologi dengan benar, apalagi bisa menciptakan konten yang mendidik.
Umumnya guru menganggap TIK, terutama telepon pintar dan internet, sebagai penyebab kenakalan anak.
"Hal pertama yang harus diubah adalah cara pandang guru kepada teknologi bukan cuma pembawa petaka atau sekadar alat berkomunikasi. Mayoritas guru sudah memiliki telepon pintar dan hanya memakainya untuk mengobrol di media sosial," ujar Indra.
Bahkan, kata Indra, mayoritas guru yang ia latih tidak tahu cara mencari informasi di internet. Mereka cenderung memercayai tautan pertama yang muncul di laman peremban tanpa melihat apabila isi informasi tersebut akurat, semi akurat, atau pun rekayasa total.
Efisiensi pelatihan
Melihat peta guru yang sangat beragam, menurut Indra, perlu mengubah strategi pelatihan TIK. Selama ini, guru-guru diberi giliran pelatihan oleh dinas pendidikan dan kepala sekolah. Misalnya, setiap tahun pemerintah menganggarkan pelatihan untuk beberapa ribu guru. Padahal, di antara para peserta tidak semuanya berminat dengan TIK.
"Akibatnya, pelatihan tidak bisa tuntas karena guru yang tidak berminat kemajuannya lamban dan memengaruhi mutu pelatihan bagi guru-guru lain," ucapnya.
Ia mengusulkan skema yang digunakan di Singapura berdasarkan konsep kurva pemelajaran yang dikembangkan oleh pakar teknologi dari Iowa State University, Amerika Serikat, George Beal dan Joe Bohlen. Mereka menghitung probabilitas kesiapan masyarakat kepada perubahan akibat perkembangan teknologi. Hasilnya, dirata-ratakan ada 2,5 persen anggota masyarakat yang memahami perubahan dan memanfaatkannya. Mereka disebut sebagai inovator.
Setelah itu ada 13,5 persen masyarakat yang siap untuk berubah meskipun belum memiliki kepandaian berteknologi. Mereka disebut kelompok siap beradaptasi. Baru kemudian ada kelompok mayoritas, kelompok pemelajar belakangan, dan mereka yang tertinggal.
"Lebih baik fokus kepada kelompok siap beradaptasi ini. Di Indonesia ada 3 juta guru dan 13,5 persen artinya ada 450.000 guru yang bisa menjadi fokus pelatihan dan tuntas karena mereka benar-benar individu yang berminat belajar mengikuti perubahan," tutur Indra.
Di Indonesia ada 3 juta guru dan 13,5 persen artinya ada 450.000 guru yang bisa menjadi fokus pelatihan dan tuntas karena mereka benar-benar individu yang berminat belajar mengikuti perubahan.
Para guru ini bisa menjadi contoh bagi rekan di lapangan yang kemudian bertahap meminta agar diajar memanfaatkan teknologi. Prosesnya lebih alami karena tidak dibebani paksaan dan kewajiban administratif. Selain itu, guru juga mempelajari TIK dengan masuk melalui kebutuhan pemelajaran di kelas masing-masing yang sifatnya tidak seragam. Pemerintah bisa menjadi fasilitator penyedia konten dan tenaga pakar yang secara berkala juga dievaluasi.
Intervensi struktural
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberi 1,6 juta tablet kepada 36.231 sekolah agar bisa dimanfaatkan oleh siswa kelas VI, VII, dan IX dalam belajar di kelas. Mendikbud Muhadjir Effendy mengutarakan langkah ini merupakan intervensi struktural yang "memaksa" guru agar cepat-cepat melek digital sehingga bisa memanfaatkan gawai untuk mengembangkan pemelajaran. (Kompas, 19 September 2019)
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Totok Suprayitno mengatakan, selain kepandaian kognitif, kurikulum juga mengembangkan kemampuan bernalar, berkreasi, berempati, dan bersosialisasi. Melalui pedoman pendidikan karakter juga dibangun kepribadian yang disiplin dan jujur.
"Satu-satunya cara agar siswa di masa depan bisa beradaptasi dengan perkembangan TIK adalah dengan memiliki mental pembelajar yang berkelanjutan," ucapnya.