Dilema Kesepakatan Bersama Menjaga Kesakralan Tari Bali
Sejak hampir sembilan dekade silam, tari barong dan tari keris telah menjadi salah satu ikon tari tradisional di Bali. Pementasannya di sejumlah tempat banyak diminati wisatawan. Namun, atas nama kesepakatan menjaga kesakralan tari Bali, kedua tarian itu terancam tidak bisa dipentaskan di luar upacara ritual keagamaan di pura.
Di atas panggung, barong ditarikan bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti irama gamelan yang cepat. Bulu-bulu barong menyentuh sejumlah lelaki bertelanjang dada yang sedang menusukkan keris ke badan mereka. Satu per satu pria itu seakan-akan kembali sadar dan mereka berhenti menusukkan keris.
Pertunjukan itu menutup keseluruhan pentas drama tari barong dan tari keris yang berlangsung selama satu jam di Sahadewa Barong and Kris Dance di Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, Kamis (19/9/2019).
Tepuk tangan para penonton terdengar mengiringi berakhirnya pertunjukan. Penonton, yang mayoritas adalah wisatawan mancanegara, memenuhi setengah dari semua tempat duduk di gedung pementasan yang berkapasitas sekitar 400 tempat duduk.
”Menonton pertunjukan tari barong dan tari keris di Batubulan ini bagian dari paket perjalanan wisata yang kami siapkan,” kata Muria, seorang pemandu wisata yang mengantarkan sepasang tamunya.
Muria tidak sendiri. Banyak pemandu wisata lain yang juga membawa tamunya untuk menonton tari barong dan tari keris. Pertunjukan tari masih banyak diminati wisatawan mancanegara yang datang ke Bali.
”Tari Bali menjadi salah satu daya tarik pariwisata Bali. Bahkan, tari barong menjadi pertunjukan budaya yang termasuk paling awal ditampilkan ketika pariwisata dikenalkan di Bali,” ujar Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Bali Ketut Ardana yang ditemui terpisah.
Pengelola Sahadewa Barong and Kris Dance, Dewa Made Teges Wirawan, mengatakan, pertunjukan tari barong untuk tujuan pariwisata di Bali sudah berlangsung sejak 1930-an. Namun, pertunjukan tari barong dan keris saat itu belum menjadi pementasan rutin.
Dalam perkembangan berikutnya, sejumlah seniman Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar, yakni Cokorda Oka, I Wayan Geria, dan I Made Keredek, menggarap tari barong untuk pertunjukan, yang kemudian dikenal sebagai Tari Barong Ket Kunti Sraya.
Tari barong ket dengan lakon Kunti Sraya memadukan unsur seni arja, gambuh, topeng, dan palegongan. Cerita Kunti Sraya berlatar kisah Mahabarata dengan latar perjalanan Kunti dan Sahadewa. Tarian itu tidak hanya dipertontonkan kepada wisatawan di Sahadewa Barong and Kris Dance, tetapi juga di delapan tempat pementasan lain di Gianyar dan Denpasar.
Keresahan akar rumput
Dalam beberapa hari terakhir, pengelola pertunjukan tari barong dan tari keris menghadapi dilema. Gubernur Bali Wayan Koster menyetujui keputusan bersama lima instansi terkait kebudayaan yang mengatur pementasan tari Bali.
Lima pemimpin instansi, yakni Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Bali, Majelis Desa Adat Bali, dan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, serta Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Selasa (17/9/2019), menandatangani surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral Bali.
Dalam surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral itu, terdapat sekitar 130 ragam tari Bali yang diklasifikasikan sebagai tari sakral, antara lain 52 ragam tari baris, 26 ragam tari sanghyang, 26 ragam tari rejang, dan 11 ragam tari barong. Selain itu, terdapat 19 jenis tarian, termasuk tari wayang wong upacara yang dimasukkan sebagai tari sakral karena menjadi bagian dari ritual atau upacara di pura dan wilayah desa adat di Bali.
Kepala Dinas Kebudayaan Bali I Wayan ”Kun” Adnyana menerangkan, surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral itu dilatarbelakangi keprihatinan dan kecemasan banyak pihak di Bali lantaran banyak tari sakral yang dipentaskan di luar kepentingan ritual atau upacara. Pergelaran tari sakral untuk tujuan nonsakral itu dikhawatirkan menurunkan nilai kesakralan seni Bali yang dipercaya menjadi sumber kreativitas dan penciptaan seni di Bali.
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Kepala Dinas Kebudayaan Bali, Ketua Listibiya Bali, Bendesa Agung Majelis Desa Adat Bali, Rektor ISI Denpasar, serta Ketua PHDI Bali tentang Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali itu, tari sakral dilarang dipentaskan untuk tujuan nonsakral. Tari barong ket dimasukkan dalam kelompok tari barong upacara dan menjadi jenis tari sakral.
Surat keputusan bersama
itu pun memantik keresahan dari pelaku usaha pariwisata. ”Kami ingin penjelasan mengenai surat keputusan bersama itu,” kata Ketua Asosiasi Penyelenggara Tontonan Wisata (Asprananta) Bali Ida Bagus Raka Pudjana ketika ditemui di Denpasar. Asprananta Bali mewadahi sembilan penyelenggara tontonan wisata, termasuk tari barong dan tari keris, yang secara rutin mengadakan pementasan tari Bali tersebut setiap hari mulai pukul 09.30 Wita sampai 10.30 Wita.
Menurut Pudjana, tarian dalam pertunjukan tari barong dan tari keris untuk wisatawan itu merupakan bentuk seni balih-balihan atau seni hiburan yang tidak sakral. Pudjana beralasan, barong dan perangkat pertunjukan dalam pergelaran tari barong dan tari keris itu bukan benda yang disakralkan atau melalui prosesi penyucian atau pasupati.
”Kami tidak mementaskannya di hotel, tetap mendatangkan wisatawan untuk menonton di tempat pementasan kami,” kata Pudjana yang mengelola pertunjukan tari barong dan tari keris Catur Eka Budhi di Desa Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar.
Pengamat budaya dan sosial Bali di Denpasar, Made Sudira, mengatakan, pengaturan tentang pementasan tari sakral atau tari yang digolongkan seni sakral harus disosialisasikan terlebih dulu kepada masyarakat, termasuk kepada kelompok seni dan penyelenggara atraksi wisata. Sosialisasi penting agar batasan yang diatur kesepakatan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral itu diketahui umum.
Pemerintah Provinsi Bali memang perlu turun untuk menyerap keresahan ribuan warga yang bisa terdampak oleh kesepakatan bersama itu. Solusi terbaik diperlukan agar di satu sisi kesakralan tari Bali tetap terjaga, dan di sisi lain warga tetap bisa hidup dari pariwisata dan berkesenian Bali.