Dahaga Air Banjarmasin di Tengah Kepungan Sungai
Hari sudah menjelang Maghrib, Selasa (1/10/2019). Warga Pulau Bromo, Kelurahan Mantuil, Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin, masih berkumpul di halaman salah satu rumah warga yang cukup luas.
Siapa bilang tinggal di antara sumber daya selalu mendatangkan kenyamanan? Banyak kisah memperkuat kondisi sebaliknya, bayangan kenyamanan mewujud menyerupai getir yang menyesakkan. Mari melihat dari sebagian wilayah di Kota Seribu Sungai, julukan bagi Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Hari sudah menjelang Maghrib, Selasa (1/10/2019). Warga Pulau Bromo, Kelurahan Mantuil, Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin, masih berkumpul di halaman salah satu rumah warga yang cukup luas. Di halaman tersebut, ada sebuah tandon air berwarna oranye dengan kapasitas 2.000 liter.
Warga mengelilingi tandon dengan berbagai wadah air yang diletakkan di dekat tandon, ada jeriken, ember, dan galon kosong. Wadah-wadah itu belum terisi air walaupun setengah jam sebelumnya hujan turun cukup deras di daerah Pulau Bromo, pinggiran Kota Banjarmasin.
Ada sekitar 30 wadah air yang dijejerkan, menunggu giliran pengisian air bersih. ”Airnya sudah habis. Ini masih menunggu satu rit lagi dari seberang,” kata Anang Jarkasi, Ketua RT 004 RW 002 Kelurahan Mantuil yang mengawasi pembagian air bersih untuk warganya.
Air bersih yang dinanti warga Pulau Bromo diangkut menggunakan kelotok atau perahu bermotor dari seberang Sungai Martapura. Air bersih itu berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih Kota Banjarmasin dan dibagikan secara gratis kepada warga setempat sebagai kompensasi tidak mengalirnya air PDAM di pulau tersebut selama musim kemarau.
”Sudah dua bulan, air PDAM tidak mengalir di tempat kami. Setiap hari, warga di sini harus mengantre untuk mendapatkan air bersih. Pembagian air bersih biasa dilakukan mulai pukul 16.00 Wita,” tutur Anang.
Menurut Anang, warganya mendapat jatah 15 drum air bersih setiap hari. Pengantaran air bersih dilakukan dalam tiga rit. Kelotok pengantar air bersih harus bolak-balik menyeberang Sungai Martapura karena sekali jalan hanya bisa membawa lima drum air.
Di RT 004, air bersih dibagikan kepada 147 rumah tangga. Setiap rumah hanya mendapat jatah 2-3 jeriken berukuran 35 liter. ”Dengan jatah hanya segitu, kami memprioritaskan penggunaan air untuk masak dan minum saja,” ujar Fauziah (70), warga setempat.
Jatah air itu diakui Anang masih sangat kurang. Setiap rumah tangga yang terdiri atas lima orang, misalnya, membutuhkan air paling tidak satu drum setiap hari. Air itu tidak hanya digunakan untuk masak dan minum, tetapi juga untuk mandi, cuci, dan kakus sehari-hari.
”Setiap tiga hari sekali, saya biasanya membeli air dari seberang untuk keperluan di rumah. Saya harus mengeluarkan uang Rp 40.000 untuk membeli 20 jeriken air. Enggak tahan juga mandi pakai air sungai karena airnya sudah sangat asin,” kata Anang.
Kampung air
Pulau Bromo adalah sebuah pulau kecil yang diapit dua sungai penting di Kota Banjarmasin, yaitu Sungai Martapura dan Sungai Barito. Kedua sungai tersebut merupakan jalur pelayaran utama untuk angkutan orang, barang, dan komoditas sumber daya alam.
Dalam buku Ensiklopedia Populer Pulau-pulau Kecil Nusantara, Kalimantan Selatan ”Antara Laut Jawa dan Selat Makassar”, nama Bromo dalam bahasa Banjar bermakna sungai kecil. Sungai kecil itu mengalirkan berkah dan manfaat bagi kaum pendatang, yang menjadikan pulau tersebut sebagai tempat singgah.
Akibat kemarau panjang tahun ini, air Sungai Martapura yang melintasi Pulau Bromo sudah seperti air laut.
Pulau Bromo memiliki luas lebih kurang 99 hektar. Masyarakat setempat membangun rumah di pesisir Sungai Martapura dengan menancapkan tiang-tiang kayu ke dasar sungai sebagai fondasi rumah. Ada empat kampung di Pulau Bromo, yaitu Tanjung Pandan, Tanjung Baru, Teluk Perenjean, dan Ujung Benteng. Masing-masing kampung berdiri menjadi satu rukun tetangga (RT), yaitu RT 004, RT 005, RT 006, dan RT 007 dalam lingkup RW 002.
Pulau Bromo termasuk daerah pinggiran Kota Banjarmasin. Dari pusat kota, jaraknya sekitar 10 kilometer (km). Untuk mencapai pulau yang dihuni lebih dari 1.000 penduduk itu, aksesnya harus melewati sungai. Pilihan menyeberangi Sungai Martapura bisa dengan menggunakan kelotok ataupun feri bagi yang membawa sepeda motor.
Untuk menyeberangi Sungai Martapura selebar lebih dari 100 meter itu, hanya perlu waktu 5 menit menggunakan kelotok. Begitu tiba di dermaga kelotok Pulau Bromo, langsung terlihat jelas sebuah plang bertuliskan Kampung Air Tanjung Pandan Pulau Bromo. Rumah-rumah warga berada di bantaran sungai dengan posisi membelakangi sungai. Rumah warga umumnya adalah rumah kayu. Sebagian kondisinya sudah lapuk dan reyot.
Jika menyeberang ke Pulau Bromo menggunakan feri, tibanya tidak langsung di belakang rumah warga, tetapi di sebuah daratan yang agak lapang, areal bekas pabrik kayu lapis. Di dermaga feri Pulau Bromo terpampang sebuah plang berbentuk rumah adat Banjar bubungan tinggi bertuliskan Selamat Datang di Pulau Bromo ”Obyek Wisata Air” Kelurahan Mantuil. Di plang tersebut juga terdapat tulisan Sapta Pesona yang dilengkapi gambar bunga matahari.
Namun, sulit sekali menemukan obyek wisata air yang menarik di Pulau Bromo. Daerah itu bahkan terkesan kumuh karena masih terdapat deretan jamban menggantung di atas sungai, yang oleh warga sejumlah kota di Pulau Jawa disebut ”helikopter”. Setelah berjalan dari ujung ke ujung, yang ditemukan hanyalah pemandangan warga sedang mengantre air bersih. ”Walaupun tinggal di kampung air, warga di sini masih sangat kekurangan air bersih,” ujar Anang.
Iyan (31), tukang kelotok pengantar air PDAM dari Mantuil ke Pulau Bromo mengaku harus sembilan kali bolak-balik setiap hari. Ia bertugas mengantarkan air bersih untuk tiga RT di Pulau Bromo. Setiap RT mendapat jatah 15 drum air bersih atau tiga rit setiap hari.
Iyan bertugas mengantar air bersih dari Senin sampai Sabtu, hanya Minggu ia libur. Pengantaran air dilakukan mulai pukul 07.00 sampai 18.00 Wita. ”Pengantarannya juga tergantung kondisi pasang surut air. Kalau kondisi air lagi pasang, subuh sudah turun mengambil air,” ujarnya.
Terintrusi
Akibat kemarau panjang tahun ini, air Sungai Martapura yang melintasi Pulau Bromo sudah seperti air laut. Rasanya asin. Menurunnya debit air Sungai Martapura pada musim kemarau membuat air sungai akhirnya terintrusi air laut.
Mudahnya sungai di Kota Banjarmasin itu terintrusi air laut, di antaranya karena Kota Banjarmasin berada pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah permukaan laut dengan kondisi daerah relatif datar dan berpaya-paya. Adapun jarak dari Pulau Bromo ke Laut Jawa sekitar 20 km.
M Yusran (74), warga setempat, mengaku terpaksa tetap menggunakan air Sungai Martapura untuk keperluan mandi dan mencuci meskipun airnya sudah sangat asin. ”Jatah air bersih tidak cukup. Jadi, mau tidak mau, tetap mandi dan mencuci dengan air asin,” ucapnya.
Kepala Bagian Humas PDAM Bandarmasih Kota Banjarmasin M Nur Wakhid mengatakan, intrusi air laut di Sungai Martapura tidak hanya sampai di Pulau Bromo, tetapi sudah sampai ke intake PDAM di Kelurahan Sungai Bilu, Banjarmasin Timur, sekitar 15 km di sebelah hulu Pulau Bromo.
”Sudah dua minggu, intake PDAM di Sungai Bilu tidak beroperasi karena kadar garam dalam air bakunya sangat tinggi. Akibatnya, distribusi air bersih kepada pelanggan juga berkurang sekitar 30 persen dari kondisi normal,” kata Wakhid di Banjarmasin, Senin (30/9/2019).
Berdasar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, ambang batas kadar garam (klorida) dalam air untuk diolah menjadi air minum adalah 250 miligram per liter.
Intrusi air laut sebagaimana terjadi pada kemarau tahun ini pernah terjadi pada kemarau tahun 2015. Saat itu, kadar garam dalam air Sungai Martapura di intake Sungai Bilu mencapai 5.000 miligram per liter.
Menurut Wakhid, kadar garam tertinggi tahun ini melebihi kadar garam tertinggi empat tahun lalu, yakni 6.075 miligram per liter saat diperiksa pada 26 September 2019 pukul 07.00 Wita. ”Jika kadar garam dalam air Sungai Martapura di Sungai Bilu saja mencapai 6.075 miligram per liter, kadar garam dalam air Sungai Martapura di Pulau Bromo bisa dua atau tiga kali lipat dari itu,” ujarnya.
Untuk melayani kebutuhan air bersih warga di Pulau Bromo, pada 2014 PDAM Bandarmasih membangun instalasi Sea Water Reverse Osmosis (SWRO), yaitu unit sistem desalinasi untuk mengubah air laut menjadi air tawar. Namun, unit instalasi SWRO di pulau tersebut hanya beroperasi satu tahun.
Setelah itu, pada 2015, PDAM Bandarmasih membangun jaringan pipa melalui dasar Sungai Martapura untuk mengalirkan air bersih ke Pulau Bromo. Ada sekitar 300 rumah tangga di sana yang sudah tersambung layanan air PDAM.
”Kalau ada warga di sana yang mengatakan sudah dua atau tiga bulan air PDAM tidak mengalir, itu sebetulnya bukan karena airnya tidak mengalir, tetapi karena tekanannya drop sehingga tidak sampai ke sana,” katanya.
Wakhid mengatakan, Pulau Bromo adalah daerah terjauh dari pompa pendorong (booster) sehingga tekanan air sering kali tidak sampai ke sana. Jarak dari booster ke Pulau Bromo lebih dari 15 km. Tambahan pula, ada orang yang kerap menyedot air PDAM dengan pompa di sekitaran Mantuil untuk dijual kembali.
”Saat ini, ada proyek penambahan pompa di intake Sungai Tabuk. Kalau proyek itu selesai, pada 2020 mendatang sudah ada tambahan tekanan aliran air PDAM ke Pulau Bromo dan daerah-daerah pinggiran Kota Banjarmasin,” tuturnya.
Wakhid menambahkan, cakupan layanan air PDAM Bandarmasih kini sudah mencapai 99 persen dengan jumlah 176.075 pelanggan. Pelayanannya mencakup lima kecamatan di Kota Banjarmasin dan sebagian Kabupaten Banjar. ”Kami terus berupaya melakukan pemerataan jangkauan dan perbaikan pelayanan,” ujarnya.
Menurut Anang, air PDAM di Pulau Bromo tidak lancar mengalir bukan hanya saat kemarau, tetapi terkadang juga saat musim hujan dan air sungai tawar. ”Kami berharap ada perbaikan pelayanan PDAM supaya masyarakat di Pulau Bromo juga bisa menikmati air bersih mengalir 24 jam,” ucapnya. Tanpa perbaikan pelayanan, warga kampung air itu tetap dahaga akan air bersih.
Itulah ironi air bersih di kampung air dan kota sungai. Kenyamanan atau hal yang menyesakkan? Sudah jelas jawabnya.