Kesadaran Dini Pelajar di Arena Demonstrasi
Keterlibatan pelajar sekolah menengah kejuruan yang menyebut dirinya anak STM dalam rentetan unjuk rasa sepekan terakhir menyisakan tanya. Benarkah kesadaran berpolitik mereka datang lebih awal ?
Keterlibatan pelajar sekolah menengah kejuruan yang menyebut dirinya anak STM dalam rentetan unjuk rasa sepekan terakhir menyisakan tanya. Untuk siapakah mereka demonstrasi? Pertanyaan itu semakin menggoda ketika massa berseragam sekolah itu semakin banyak yang turun ke jalan. Tujuan mereka berdemonstrasi di sekitar area Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.
Tidak segan-segan mereka berada di garis depan dari berbagai kelompok pengunjuk rasa. Beberapa kali terlihat lebih nekat daripada demonstran lain. Akibatnya bentrokan tidak terelakkan. Aparat mengejar pelajar ke gang-gang kecil. Tembakan gas air mata berkali-kali terlontar di kerumunan massa.
Banyak yang tidak percaya mereka seberani itu. Dody (45) warga Bogor, Jawa Barat pun heran, keponakannya bisa ikut demo ke Jakarta. Keponakannya berinisial AR (18) adalah pelajar Kelas 3 SMK Citra Negara Kota Depok kini mendekam di ruang tahanan Markas Kepolisian Jakarta Barat.
"Saya tahunya, keponakan tidak pulang setelah jam sekolah. Keluarga mengira ikut demo di Jakarta. Setelah mencari-cari ke kantor polisi, akhirnya ketemu dia di Polres Jakarta Barat. Ternyata benar ikut demo," kata Dody yang masih belum percaya saat menceritakan itu ke Kompas, Rabu (2/10/2019).
Baca juga : Polisi Bubarkan Paksa Demonstrasi Siswa SMA
Hingga Rabu malam, Dody belum tahu status hukum keponakannya. Setahu dia, keponakannya tidak begitu paham dengan materi rancangan undang-undang yang dipersoalkan mahasiswa di DPR. Namun dia tahu bahwa ada persoalan dengan DPR. Informasi tentang itu memapar keponakannya belakangan ini. Tanpa pikir panjang, keponakannya tergerak ikut setelah baca media sosial.
Penelusuran Kompas sejalan dengan pernyataan Dody. Sebagian dari mereka mengaku, datang karena undangan di Instagram, Facebook, dan grup WhatsApp untuk pelajar STM. Tak mengherankan setelah ajakan turun ke jalan makin massif, mereka memadati akses jalan menuju Gedung DPR, Senin (30/9/2019). Massa berseragam sekolah terkonsentrasi di Jalan Tentara Pelajar yang berada di sekitar Stasiun Palmerah. Dilihat dari emblem yang mereka kenakan, mereka adalah siswa sekolah di di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Siang itu, mereka yang datang dari dalam kota terlihat berjalan kaki, sebagian menggunakan kereta rel listrik (KRL). Begitu pun yang dari luar kota, selain KRL, mereka masuk Jakarta dengan truk terbuka, pikap terbuka, bus, dan sebagian dengan sepeda motor. Tujuannya mendekati Gedung DPR di Senayan, Jakarta. Namun upaya itu dihadang aparat yang sudah berjaga dari pagi.
Menjelang pukul 16.00, suasana di sekitar Stasiun Palmerah memanas. Sebagian dari pelajar mulai berani meneriaki aparat. Pukul 16.30, kericuhan pecah. Pelajar menghujani polisi dengan lemparan batu, kayu, dan botol air minum. Sebagian pelajar nekat maju dan menendang tameng yang digunakan polisi untuk berlindung.
Baca juga : Polisi Halau Massa Buruh dan Pelajar Dari Gedung DPR
Polisi membalas dengan tembakan gas air mata dan membuat kumpulan pelajar itu berlari kocar-kacir. Mereka menyelamatkan diri masuk ke jalan-jalan kecil sekitar Palmerah. Warga setempat tercekam takut, lalu lintas kendaraan di sekitar lokasi terhenti. Asap gas air mata mengaburkan pandangan di jalan yang menjadi lengang.
Sesaat kemudian bentrokan mereda. Pelajar kembali membentuk barisan dan maju ke arah polisi. Seruan untuk maju dan menyerang balik dari kelompok pelajar juga terdengar berulang kali. Batu dan botol pun kembali beterbangan. Situasi semakin memanas karena para pelajar itu menembakan petasan ke arah barikade polisi.
“Tenang-tenang, jangan lari terlalu jauh. Ayo maju lagi. Jangan takut,” kata seorang pelajar berseragam putih abu-abu menyemangati pelajar lainnya. Di satu sisi, tembakan gas air mata dari polisi bertubi-tubi membuat sebagian pelajar sesak napas dan nyaris pingsan. Namun, perlawanan mereka tak juga reda.
Baca juga : Solider dengan Teman, Siswa Tetap Ikut Demo Meski Ada Larangan
Melihat kondisi tersebut, warga sekitar menolong para pelajar itu dengan memberikan air dan merawat pengunjuk rasa yang terluka. Sebagian warga juga menyemangati pelajar. Tindakan itu spontan, tidak ada yang mengomando.
Seorang pemuda berpakaian bebas di sekitar Jalan Palmerah Selatan menyerukan pelajar agar tidak takut dengan serangan gas air mata. Ia turut melempar batu ke arah polisi. "Ayo jangan mundur, maju. Kami warga dukung kalian," katanya yang kemudian diikuti seruan pelajar lainnya.
Pelajar semakin berani. Hari itu, sebagian dari pelajar sengaja membolos dari sekolahnya, sebagaimana disampaikan pelajar berinisial N (15), siswa Madrasah Aliyah Negeri 10, Jakarta Barat. N memilih membolos dan tak menghiraukan larangan pihak sekolah. Dia lebih tertarik bergabung dengan teman-temannya di Palmerah.
"Saya sedikit-sedikit ngerti politik. Sering nonton ILC (Indonesia Lawyer Club). Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUKHP) ngaco. Ibu saya kerja sering pulang malam. Berarti dikira gelandangan dong," kata N menjelaskan tujuannya ikut demonstrasi.
Baca juga : Dua Remaja Bawa Senjata Tajam Saat Demonstrasi
Eksis dan meredup
Menurut Sosiolog Universitas Indonesia Imam B Prasodjo, keterlibatan pelajar dalam aksi massa bukan hal baru di negeri ini, sebab pelajar sudah ikut berperan sejak tahun 1965.
Saat itu, ada berbagai perkumpulan pelajar yang terlibat, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Namun, perjuangan pelajar di jalan sempat meredup saat pergerakan mahasiswa menumbangkan rezim orde baru tahun 1998.
"Dulu pelajar memang berada di bawah organ-organ atau perkumpulan yang menganut ideologi atau perjuangan tertentu. Ada kader-kader yang memang disiapkan. Sekarang, pelajar tidak berada di bawah agen ideologis," ucap Imam, Selasa (1/9).
Baca juga : Medsos dan Aksi Konektif Siswa
Dulu pelajar memang berada di bawah organ-organ atau perkumpulan yang menganut ideologi atau perjuangan tertentu. Ada kader-kader yang memang disiapkan. Sekarang, pelajar tidak berada di bawah agen ideologis.
Ia menambahkan, ketika pelajar turut serta dalam aksi menolak rancangan undang-undang yang kontroversial, mereka bukan bagian dari urat nadi atau penggerak ideologi. Ada tiga faktor penggerak pelajar turut dalam aksi itu. Pertama, pelajar sudah terbiasa turun ke jalan walaupun tujuannya untuk tawuran. Hal itu membuat pengorganisasian jadi lebih mudah karena telah terbentuk jaringan.
Kedua, pengaruh sosial media. Sebab, sosial media memiliki pengaruh yang besar karena menjadi salah satu ruang bagi pelajar untuk menunjukkan eksistensi. "Dulu internet sudah ada, tetapi sosial media belum ada dan masif. Sekarang media sosial jadi sarana. Pengorganisasian jadi lebih mudah," katanya.
Ketiga, kemungkinan ada agen yang memanfaatkan pelajar untuk merusuh dengan upaya mobilisasi pelajar lantaran mereka sebetulnya tidak terlalu terlibat di dalam isu-isu terkini secara mendalam.
"Indikasi itu bisa jadi memang ada. Perlu dibuktikan, diteliti lebih dalam. Terbukti ada yang diongkosin. Bahkan, bisa saja ada yang sebelum turun dicekoki narkoba. Anak-anak betul-betul dimanfaatkan untuk kerusuhan," kata Imam.
Baca Juga: 20 Mahasiswa-Pelajar Masih Ditahan, Tim Advokasi: Akses Informasi dan Bantuan Hukum Sulit
Sementara itu, psikolog Yayasan Pulih dan RSIA Bunda Aliyah Depok, Gisella Tani Pratiwi, mengatakan, kemampuan berpikir kritis remaja belum berkembang optimal sehingga lebih banyak memutuskan sesuatu berdasarkan kondisi emosinya. Ciri khas lain pada remaja ialah masa mencari identitas diri melalui berbagai kegiatan dan kesehariannya. Dalam pencarian itu remaja mulai terbuka pada banyak hal baru.
"Remaja sudah mulai berpikir kritis. Mulai menganalisa dan sebagainya. Mereka bisa diajak diskusi. Tetapi memang masih perlu bimbingan karena kemampuan itu belum berkembang secara optimal," kata Gisella.
Ia menambahkan, eksplorasi hal baru yang melibatkan pertemanan membuat remaja semakin mudah mengikuti beragam kegiatan atau aktivitas tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya. Itu terjadi lantaran mereka semakin diterima oleh komunitas atau grup pertemanan jika berpartisipasi.
Remaja semakin mudah mengikuti beragam kegiatan atau aktivitas tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya. Itu terjadi lantaran mereka semakin diterima oleh komunitas atau grup pertemanan jika berpartisipasi.
Berdasarkan data Kepolisian Daerah Metro Jaya, polisi menangkap 519 orang dalam kerusuhan yang terjadi pada Senin (30/9). Sebagian pelaku kericuhan yang ditangkap merupakan mahasiswa dan pelajar. Namun, polisi belum merinci jumlah mahasiswa dan pelajar yang ditangkap lantaran masih dalam pendataan.
"Sementara ini lima orang positif narkoba jenis sabu dan ganja. Saat ini masih berlangsung pemeriksaan lanjutan," ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono.
Temuan indikasi aksi pelajar disusupi juga dirilis aparat Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Utara. Total ada 173 orang berseragam pelajar yang diperiksa polisi. Di antara mereka, polisi mendapati orang dewasa yang berpura-pura jadi pelajar, bahkan ada yang merupakan buron kasus penganiayaan.
Baca Juga: Doa Untuk Keselamatan Negeri di Tugu Proklamasi
Temuan indikasi aksi pelajar disusupi juga dirilis aparat Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Utara. Polisi mendapati orang dewasa yang berpura-pura jadi pelajar, bahkan ada yang merupakan buron kasus penganiayaan.
Sementara itu, polisi mengumpulkan dan memeriksa 59 orang yang tengah beristirahat di sekitar stasiun dan terminal Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sebagian besar juga mengenakan seragam pelajar.
“Dari pemeriksaan, ada yang mengaku sudah sampai ke sekitar gedung DPR/MPR, tepatnya di sekitar Palmerah. Mereka di antaranya juga ada yang ikut melempari polisi pada Senin malam di seputar Palmerah,” kata Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto.
Mereka bercerita, ada pihak yang menjanjikan bayaran Rp 40.000 per orang. Namun mereka tidak menemukan pemberi janji saat mereka ikut aksi, sehingga mereka memilih pulang. Para pemuda itu ternyata berasal dari luar Jakarta, seperti Cirebon, Kuningan, Cikampek, dan Sumedang. Bahkan, dua di antara 59 orang yang diperiksa merupakan siswa sekolah dasar, berusia 11 dan 12 tahun.
Baca Juga: Demonstrasi Menyisakan Kekecewaan Warga
Momentum yang baik
Terlepas dari kontroversi pelajar turun ke jalan, namun keterlibatan pelajar dinilai sebagai momentum yang baik dalam partisipasi politik. Mereka hanya perlu diberi pemahaman agar mengerti substansi dari suatu persoalan. "Tanpa pemahaman, aksi (keterlibatan) itu hanya akan menjadi ompong," ujar Imam Prasodjo.
Imam mencontohkan, pelajar di Amerika terlibat dalam kegiatan Model United Nations. Suatu simulasi atau kegiatan akademik yang mana pelajar belajar tentang diplomasi, hubungan internasional, dan persoalan internasional lainnya.
Keterlibatan pelajar itu akan melahirkan ekspresi seperti petisi, debat dalam diskusi publik hingga demostrasi. Ekspresi-ekpresi dengan pemahaman terhadap permasalahan cenderung tidak akan terjebak dalam kekerasan. "Itu sehat dalam iklim demokrasi," ujarnya.
Penyampaian pendapat bukan sekadar demonstrasi dan melakukan sesuatu di jalan atau di manapun. Hal itu karena aksi tanpa pemahaman terhadap pokok persoalan membuat orang tidak tahu apa atau tujuan yang hendak disuarakan.
Baca Juga: Tiga Halte Transjakarta Rusak
Tidak heran para pelajar tidak tahu apa yang disuarkan ketika ditanyai. "Orang akan mudah menyimpulkan itu (aksi) digerakan oleh orang lain. Demonstrasi akan kosong kalau secara kolektif pelajar tidak ikut di dalam masalah yang sedang berkembang," ucapnya.
Berkaitan dengan itu, sangat penting terbentuknya perkumpulan pelajar atau kelompok diskusi. Dari situ kemudian tumbuh aspirasi, sikap, idaman-idaman, dan respon terhadap lingkungan sosial. Tanpa itu berat sekali bagi pelajar secara kolektif untuk mengemukakan opini atau ekspresi karena tidak solid memahami masalah yang dihadapi.
"Sekarang harusnya tumbuh lebih giat, misalnya pelajar terlibat dalam masalah korupsi yang merongrong negeri ini. Juga terlibat dalam kajian lingkungan dan kemiskinan. Banyak sekali masalah sosial yang bisa jadi diskusi. Pelajar bergabung dengan minat-minat yang diinginkan," katanya.
Jadi, saat kesadaran berpolitik sudah tumbuh di kalangan pelajar. Saatnya mengorganisasir mereka untuk lebih peduli dengan persoalan bangsanya. Karena sesungguhnya masa depan negeri ini kelak ada di tangan mereka. Namun benarkah kesadaran politik pelajar itu datang lebih awal yang diduga banyak orang ?