Ambisi Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mencapai swasembada pangan pada 2023 terkendala menyempitnya lahan pertanian, kesuburan tanah, dan persoalan iklim.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Ambisi Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mencapai swasembada pangan pada 2023 terkendala menyempitnya lahan pertanian, kesuburan tanah, dan persoalan iklim. Inovasi dalam produksi hingga pengolahan hasil pertanian dibutuhkan demi tercapainya swasembada pangan.
”Kami berharap dalam lima tahun kepemimpinan kami (2018-2023), swasembada pangan dapat tercapai. Artinya, semua kebutuhan pangan warga dihasilkan di Jabar,” ujar Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum dalam peringatan Hari Pangan Dunia tingkat Jabar ke-39 di Kabupaten Indramayu, Rabu (2/10/2019). Turut hadir Wakil Bupati Indramayu Taufik Hidayat dan pejabat dinas ketahanan pangan kabupaten/kota di Jabar.
Namun, menurut Uu, tantangan swasembada pangan di provinsi dengan penduduk sekitar 48 juta jiwa tersebut berat. ”Setiap tahun, lahan pertanian menyempit 12 persen dan digantikan menjadi perumahan, pabrik, hingga mal. Kita tidak bisa menghindari ini,” katanya.
Uu berharap masyarakat turut berpartisipasi dalam menjaga ketahanan pangan, seperti memaksimalkan manfaat tanah untuk menanam bahan pangan dan tidak mudah menjual lahannya. ”Rumah tangga petani harus memastikan satu keluarganya menjadi petani. Kalau tidak, bisa habis petani. Apalagi, iklim sudah sulit ditebak,” ungkapnya.
Berdasarkan hasil survei pertanian antarsensus 2018 Jabar, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Jabar mencapai 3,2 juta rumah tangga. Meskipun tumbuh sekitar 5 persen dibandingkan dengan 2013, sebanyak 2,5 juta rumah tangga merupakan pemilik lahan kurang dari 0,5 hektar. Artinya, produksi pangan terkendala karena lahan sempit.
Uu mendorong pemerintah daerah dan petani untuk berinovasi agar swasembada pangan dapat tercapai. ”Kami menginstruksikan wali kota dan bupati untuk memberikan ruang seluas-luasnya dan anggaran besar untuk pangan,” katanya.
Produktivitas padi
Di sisi lain, tingkat kesuburan tanah sudah menurun sehingga berdampak pada produksi pangan. Produktivitas padi di Jabar 2015, misalnya, rata-rata 6,2 ton per hektar. ”Padahal, seharusnya, produktivitasnya bisa 10 ton per hektar. Penyebabnya, penggunaan bahan kimia pada tanah terus-menerus,” ujar Muhaemin (37), Ketua Gabungan Kelompok Tani Mulus, Cikedung, Indramayu.
Muhaemin dan anggotanya mencoba berinovasi dalam pengelolaan tanah menggunakan pupuk organik sejak 2009. Hasilnya, katanya, 1 hektar bisa mencapai 9 ton gabah kering giling per hektar saat ini.
Wakil Bupati Indramayu Taufik Hidayat mengatakan, dengan potensi panen hingga 1,7 juta hektar gabah, Indramayu sudah swasembada beras. ”Namun, kami masih kekurangan umbi-umbian, kacang-kacangan, dan gula,” ujarnya.
Pihaknya mencatat, ketersediaan pangan di Indramayu sudah memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dengan ketersediaan energi atau angka kecukupan energi sebesar 8.938 kilo kalori per kapita per hari atau 372,4 persen AKE. Adapun kebutuhan protein atau angka kecukupan protein sebesar 364,6 gram per kapita per hari atau 578,7 persen AKP.
Namun, Kepala Seksi Kerawanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan Imam Mahdi mengungkapkan, sejumlah daerah di Indramayu, seperti Krangkeng, Losarang, dan Cantigi, mengalami rawan pangan. ”Artinya, di daerah ini bisa ditemukan anak gizi buruk atau terjadi kekeringan yang mengancam ketersediaan pangan,” katanya.