Eksistensi batik tulis di Kota Pekalongan semakin hari semakin tergerus oleh kehadiran batik cap dan batik cetak. Batik cap dan batik cetak lebih diminati lantaran proses pembuatannya praktis dan harganya lebih murah.
Oleh
KISTI UTAMI
·4 menit baca
KOMPAS/KRISTI UTAMI
Seorang buruh batik sedang mengangkat kain batik jenis cetak yang telah selesai dijemur. Foto diambil pada 18 Mei 2019 di Kota Pekalongan.
PEKALONGAN, KOMPAS - Eksistensi batik tulis di Kota Pekalongan semakin hari semakin tergerus oleh kehadiran batik cap dan batik cetak. Batik cap dan batik cetak lebih diminati lantaran proses pembuatannya lebih praktis dan harganya cenderung murah. Pada akhirnya, para perajin batik tulis harus mencari siasat agar bisa bertahan di industri batik Pekalongan.
Di tengah banjir produk batik cap dan cetak yang harganya murah, Tamakun (36), salah satu perajin batik tulis Kota Pekalongan memilih untuk mencari siasat lain. Sejak tahun 2017, Tamakun mempelajari cara mengkombinasikan batik tulis dengan lukisan. Setelah melalui beberapa kali percobaan, akhirnya Tamakun berhasil membuat selembar kain batik, penggabungan antara batik tulis dan lukisan.
Batik-batik yang dijual Tamakun termasuk unik. Jika biasanya batik tulis memiliki pakem-pakem corak tertentu, batik tulis buatan Tamakun lebih bebas. Dia bisa melukis hewan, tumbuhan, pemandangan, wajah tokoh, bahkan cerita rakyat dengan metode batik tulis.
"Untuk bisa bersaing, perlu berinovasi. Selain sebagai jalan untuk berinovasi, saya memilih metode ini agar para penikmat batik juga memiliki alternatif lain dalam memilih jenis batik," ucap Tamakun, Rabu (2/10/2019).
Selama ini, Tamakun memilih untuk memasarkan produknya melalui media sosial seperti, Facebook dan Instagram. Tujuannya adalah untuk menjangkau pasar yang "lebih luas". Terbukti, batik-batik buatan Tamakun sudah dijual hingga luar negeri seperti, Korea Selatan dan Selandia Baru. Harga jual batik karya Tamakun berkisar antara Rp 800 ribu - Rp 4 juta per lembar, tergantung tingkat kerumitan lukisan.
Untuk bisa bersaing, perlu berinovasi. Selain sebagai jalan untuk berinovasi, saya memilih metode ini agar para penikmat batik juga memiliki alternatif lain dalam memilih jenis batik, ucap Tamakun
Tak hanya Tamakun, pengusaha batik tulis, Hermawanto (45), juga memiliki siasat untuk tetap eksis di industri batik. Sejak tahun 2004, Hermawanto yang awalnya hanya menjual produk-produk batik tulis mulai merambah batik cap dan batik cetak.
"Ibarat di tengah lautan, kalau kita tidak bisa melawan arus air, pilihan lain yang bisa kita ambil adalah ikut arus," ucap Hermawanto.
KOMPAS/ KRISTI UTAMI
Seorang buruh batik sedang melintas di tempat penjemuran batik cetak, Sabtu (18/5/2019) di Kota Pekalongan. Batik jenis cetak banyak diminati karena pembuatan batik cetak lebih cepat dan harganya lebih murah.
Menurut Hermawanto, hampir semua pengusaha batik di Pekalongan memilih jalan "mengikuti arus" seperti dirinya. Sehingga, kebanyakan pengusaha batik tulis di Pekalongan, kini, juga menjual batik cap dan batik tulis.
Hermawanto mengaku, sejak akhir tahun 2016 jumlah produksi dan jumlah penjualan batik terus menurun. Meski tak menyebut pasti jumlahnya, Hermawanto menyebut penurunan hasil produksi dan hasil penjualan batik di Pekalongan berkisar antara 10 persen- 50 persen.
"Penurunan itu terjadi tidak hanya pada satu jenis batik, tetapi pada semua jenis batik baik batik tulis, cap, maupun cetak. Salah satu faktor penyebab menurunnya jumlah produksi dan penjualan adalah minat konsumen yang juga terus menurun," kata Hermawanto.
Hermawanto berharap, ada campur tangan pemerintah untuk membangkitkan kembali gairah masyarakat untuk berbelanja batik. Salah satu hal yang bisa dilakukan pemerintah, menurut Hermawanto adalah dengan cara mewajibkan penggunaan batik.
Hal tersebut sejalan dengan rencana Wali Kota Pekalongan Saelany Machfudz. Saelany berencana untuk membuat kebijakan terkait kewajiban memakai sarung batik sekali dalam seminggu bagi seluruh aparatur sipil negara, warga sekolah dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, dan pegawai seluruh instansi vertikal lainnya.
Wajib bersarung
"Kami akan mewajibkan pemakaian kain sarung batik setidaknya sekali dalam seminggu. Hal ini merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk mendorong geliat perdagangan batik di Kota Pekalongan," ujar Saelany.
KOMPAS/ KRISTI UTAMI
Seorang buruh batik di sebuah pabrik batik cetak sedang menggulung batik. Setelah selesai dicetak, batik tersebut akan dicuci kemudian dijemur. Foro diambil pada Sabtu (18/5/2019) di Kota Pekalongan.
Di tengah riuhnya persaingan dalam industri batik, jumlah UMKM batik terus mengalami pertumbuhan. Menurut data Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kota Pekalongan jumlah UMKM batik Januari - Juli 2019 sebanyak 1.112. Jumlah tersebut meningkat dibanding dengan jumlah UMKM batik pada 2018 dan 2017. Pada tahun 2018 jumlah UMKM batik sebanyak 882. Adapun tahun 2017 jumlah UMKM batik sebanyak 760.
Peningkatan jumlah UMKM dipengaruhi oleh banyaknya anak muda Kota Pekalongan yang tertarik untuk berbisnis batik secara daring. Rata-rata pelaku UMKM baru yang muncul dalam dua tahun terakhir merupakan anak-anak dari pengusaha batik yang ada.
"Mereka tidak meneruskan usaha batik milik orang tuanya, tetapi memilih untuk membuka usaha baru atas nama mereka sendiri," kata Kepala Bidang Koperasi dan UMKM Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kota Pekalongan Tjandrawati.
Tjandrawati menambahkan, untuk mengembangkan industri batik, pemerintah memiliki program-program pelatihan bagi para pengusaha batik Kota Pekalongan. Pelatihan tersebut antara lain, pelatihan teknis membatik, pelatihan manajemen keuangan, serta pelatihan pemasaran produk secara daring.