Pengusaha Makanan Cemaskan Pembatasan Merek dan Kemasan Global
Saat ini, BPOM juga meluncurkan label gizi baru yang harus dicantumkan pada setiap kemasan makanan dengan tambahan pencantuman logo "Pilihan Lebih Sehat".
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengusaha mengkhawatirkan tren pembatasan merek dan kemasan global. Tidak hanya industri rokok, industri makanan dan minuman juga berpotensi terkena dampak perluasan aturan tersebut.
Pengajuan banding Indonesia terhadap kemenangan Australia dalam sengketa perdagangan besar atas undang-undang pengemasan tembakau polos di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) belum usai. Namun, kini, pengusaha Indonesia dikhawatirkan dengan tren pembatasan merek makanan dan minuman global.
Asian-Pacific Chief Representative International Trademark Association (INTA) Seth Hays dalam diskusi di Kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, Rabu (2/10/2019), mengatakan, tren pembatasan merek makanan dan minuman telah terjadi di sejumlah negara.
Pada 2018 lalu, Chili melarang penggunaan gambar kartun pada kemasan sereal anak dalam rangka menekan konsumsi makanan berkalori tinggi yang memicu obesitas. Di Afrika Selatan, suplemen gizi bayi tidak lagi dapat dipasarkan dengan gambar bayi sebagai upaya mempopulerkan kembali program menyusui.
Hays menilai, meski mempertimbangkan peningkatan kesehatan, kebijakan itu bisa berdampak pada banyak hal lainnya. Perdagangan dan perkonomian menjadi sektor yang paling dirugikan akibat implementasi kebijakan tersebut.
"Kebijakan ini berpotensi meningkatkan perdagangan barang palsu, kebingungan konsumen, dan pelanggaran aturan internasional. Hilangnya nilai merek dagang juga dapat berdampak pada ekonomi, seperti menurunnya arus investasi asing, ancaman anti-inovasi, dan pelanggaran hak-hak konstitusional seperti kebebasan berekspresi bagi pengusaha," tutur dia.
Perkembangan ini tentu saja membuat pengusaha nasional tersentak. Anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Rachmat Hidayat, mengatakan, tren global tersebut dikhawatirkan meluas di Indonesia dan mengancam industri makanan dan minuman.
Apalagi, industri makanan dan minuman saat ini paling besar berkontribusi sekitar 6 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dan 36 persen pada PDB non-migas. Hingga triwulan I- 2019 saja, sektor tersebut mampu menarik investasi sebesar 383 juta dollar AS dan Rp 8,9 triliun. Pada 2018, tenaga kerja yang diserap mencapai 1,2 juta orang.
"Sekarang ini, pangan olahan sering dituduh sebagai pemicu penyakit tidak menular akibat kandungan gula, garam, dan lemak. Padahal, kandungan itu banyak didapat dari bahan makanan segar yang tidak pakai dosis," ujar dia.
Bentuk pembatasan makanan dan minuman olahan sudah ditetapkan dalam beberapa aturan. Contoh, surat edaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2018 mengenai susu kental manis. Surat ditujukan pada produsen, importir, distributor produk susu kental, dan analognya. Pembatasan diberlakukan karena produk yang mengandung gula itu kerap dipromosikan sebagai susu.
Saat ini, BPOM juga meluncurkan label gizi baru yang harus dicantumkan pada setiap kemasan makanan dengan tambahan pencantuman logo "Pilihan Lebih Sehat". Label itu untuk menandakan bahwa makanan atau minuman tertentu telah memenuhi kriteria produk yang sehat berdasarkan kandungan gula, garam, dan lemak.
Duduk bersama
Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, pengusaha diminta duduk bersama pemerintah dari lintas kementerian. Kepala Subdirektorat Transparansi Kesesuaian Peraturan dan Fasilitasi Direktorat Perundingan Multilateral Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Danang Prasta mengatakan, kebijakan pembatasan merek dan kemasan harus dilihat secara proporsional.
"Dalam perjanjian WTO, setiap negara anggota berhak menerbitkan regulasi, terutama untuk melindungi kesehatan publik atau lingkungan, selama tidak bertujuan menghambat perdagangan," tuturnya.
Ia pun mengingatkan agar pemerintah dan pengusaha duduk bersama. Kementerian Perdagangan, menurutnya, juga sedang mencari cara menghadapi tren ini ke depan.
"Kami optimistis Presiden Joko Widodo akan menyelaraskan kebijakan di dalam dan luar negeri terkait hal ini," pungkasnya.