Pelajar Ikut Unjuk Rasa, Ruang Dialog di Sekolah Tertutup?
Unjuk rasa yang melibatkan pelajar SMA/SMK beberapa hari terakhir menyentak banyak kalangan. Beragam analisa mengemukakan alasan para pelajar unjuk rasa. Salah satunya, kemungkinan kesalahan di internal sekolah.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
Unjuk rasa yang melibatkan banyak pelajar SMA/SMK beberapa hari terakhir menyentak banyak kalangan. Pemicu yang menggerakkan mereka pun berkembang dari A sampai Z. Salah satunya, kemungkinan pemicu itu berasal dari internal sekolah tempat para pelajar pengunjuk rasa menimba ilmu.
Pelajar SMA/SMK bergerak dari berbagai penjuru Jabodetabek untuk ikut unjuk rasa di seputaran Kompleks Parlemen, Jakarta, hampir setiap hari setidaknya dalam sepekan terakhir. Mereka numpang moda transportasi yang tersedia tetapi tak sedikit yang menumpang truk atau mobil bak terbuka. Yang terpenting bagi mereka, tiba di parlemen dan berunjuk rasa.
Unjuk rasa seperti diketahui, menolak rencana pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) kontroversial dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah disahkan pemerintah dan DPR.
Namun apakah para pelajar betul-betul digerakkan karena materi dalam sejumlah produk hukum tersebut, tidak sedikit yang meragukannya.
Apalagi ketika ditanyakan pada para pelajar pengunjuk rasa, hanya sedikit yang menyatakan unjuk rasa untuk menolak RUU. Itu pun mereka tak bisa menjelaskan secara detil RUU yang dimaksud. Alhasil, hingga kini, pemicu utama yang menggerakkan para pelajar, masih misterius.
"Antara keingintahuan, solidaritas antar sesama, ajakan di medsos (media sosial), dan keinginan untuk menyampaikan pendapatnya, penyebab anak-anak itu turun ke jalan masih belum bisa disimpulkan," kata Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, M Bakrun, seusai rapat koordinasi membahas unjuk rasa yang diikuti pelajar, di Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rabu (2/10/2019).
Hadir pula dalam rapat itu, perwakilan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Meski masih misterius, KPAI yang mencoba meneliti alasan pelajar bergerak bersama dan serentak ikut unjuk rasa, memiliki analisa lain di luar analisa penyebab pelajar unjuk rasa yang selama ini berkembang. Analisa itu menengarai adanya kesalahan di internal sekolah, bahkan sistem pendidikan.
Kesalahan itu menurut Komisioner KPAI Retno Listyarti, karena siswa didik tak cukup diajarkan untuk berpikir kritis. Jadi ketika muncul undangan unjuk rasa, mereka dengan mudah terpancing, tanpa terlebih dulu "mengulik" apa yang jadi materi unjuk rasa atau bahkan seberapa penting untuk ikut unjuk rasa.
Selain itu, dia menengarai ruang dialog siswa dan guru yang tak cukup terbuka. "Bagi saya, sekolah memang jarang memberikan ruang di mana anak dapat menyampaikan suara mereka. Ini pembelajaran bagi kita semua," tuturnya.
Tidak dianggap
Selama 24 tahun bergelut di dunia pendidikan, ia melihat penyaluran aspirasi pelajar harus dilakukan secara berjenjang. "Anak menyampaikan ke ketua kelas, kemudian OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), dan akhirnya guru," ujar Retno.
Permasalahannya, suara pelajar seringkali tidak seluruhnya disampaikan ke guru oleh OSIS ataupun ketua kelas. Persoalan lain, OSIS biasanya hanya untuk murid-murid yang nilainya baik. Dengan demikian, mereka yang nilainya kurang baik sulit untuk bisa bertukar pendapat dengan gurunya karena mereka tidak ada di dalam OSIS.
"Jangan sampai mereka merasa tidak ada ruang dialog di sekolah. Ruang di mana mereka bisa duduk bersama menyampaikan pendapat dan yakin pendapat itu didengar oleh orang dewasa. Sekolah harus buka ruang dialog itu, "tutur Retno.
Bentuk tim
Terlepas dari banyaknya analisa yang memicu pelajar SMA/SMK ramai-ramai ikut berunjuk rasa, KPAI bersama kementerian/lembaga terkait membentuk Tim Terpadu Perlindungan Anak.
Menurut Ketua KPAI Susanto, tim akan menginventarisir para pelajar yang ikut unjuk rasa. Dari situ, akan diambil langkah-langkah penanganan dan pencegahan agar selaras dengan prinsip-prinsip perlindungan anak.
"Dalam waktu seminggu ini, arus dugaan pelibatan anak dalam demo luar biasa. Ada yang berasal dari Banten, Depok, Bogor, dan Jakarta. Dalam rapat, kami sepakat membentuk tim terpadu perlindungan anak untuk menindaklanjuti. Tim ini diketuai Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar, " kata Susanto.