Memperebutkan Posisi Ketua MPR RI
Jabatan pimpinan MPR merupakan posisi terhormat dan strategis. Aturan menyebutkan, Ketua MPR harus melalui musyawarah untuk mufakat. Artinya, pemimpin terpilih nantinya belum tentu berasal dari partai pemenang Pemilu.
Jabatan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan posisi terhormat dan strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Strategisnya, peran MPR tecermin dari fungsinya sebagai lembaga tinggi penegak nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelum era reformasi, MPR merupakan lembaga negara tertinggi di Indonesia dengan banyak keistimewaan, termasuk menetapkan presiden dan wakil presiden. Namun, hasil amendemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali (tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002) mengubah posisi MPR setara dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Perubahan status MPR menegaskan posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan sebab mereka berhak menentukan presiden dan wakil presiden melalui pemilihan presiden tiap lima tahun. Opsi untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga negara tertinggi telah ditutup.
Baca juga: Jejak Perebutan Kursi Ketua DPR
MPR tidak sendirian, Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa anggota MPR terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Kewenangan pimpinan MPR yang dilakukan hanya lima tahun sekali adalah melantik Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara wewenang lainnya, seperti mengubah dan menetapkan UUD atau memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden di tengah masa jabatan, sudah tidak pernah digunakan lagi semenjak era reformasi.
Wewenang MPR
Secara terperinci, wewenang MPR dapat disimpulkan menjadi enam poin. Pertama, mengubah dan menetapkan UUD 1945. Kedua, melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum.
Ketiga, memutuskan usul DPR untuk memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya setelah MK memutuskan bahwa keduanya terbukti melakukan pelanggaran hukum. Keempat, melantik wakil presiden menjadi presiden jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.
Berbeda dengan ketua DPR yang akan dijabat oleh perwakilan partai pemenang pemilu, ketua MPR harus melalui musyawarah untuk mufakat. Artinya, pemimpin terpilih nantinya belum tentu berasal dari partai pemenang Pemilu.
Berikutnya, memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden apabila terjadi kekosongan jabatan. Terakhir, memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan.
Dalam perkembangannya, MPR memiliki tugas baru, sesuai dengan Pasal 15 Ayat (1) Huruf E UU No 27 Tahun 2009, yaitu mengoordinasikan anggota MPR RI untuk memasyarakatkan UUD NRI 1945. Selanjutnya merujuk pada Pasal 5 UU No 17 Tahun 2014 yang direvisi menjadi UU No 2 Tahun 2018, MPR RI memiliki tugas tambahan, yaitu memasyarakatkan Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pimpinan MPR
Sebagai salah satu lembaga tinggi negara, pergantian pimpinan MPR memiliki sejarah perjalanannya sendiri. Periode awal Reformasi, tahun 1999-2004, jabatan ketua MPR dipegang Amien Rais yang mewakili Partai Amanat Nasional (PAN). Partai PDI-P sebagai pemenang pemilu mendapat posisi sebagai wakil ketua yang ditempati Kwik Kian Gie.
Wakil ketua MPR lainnya adalah Ginandjar Kartasasmita (Partai Golkar), Matori Abdul Djalil (PKB), Husni Thamrin (PPP), Jusuf Emir Faisal (PBB), Hari Sabarno (TNI/Polri), dan Nazri Adlani (Utusan Golongan). Sementara lima partai dengan jumlah kursi tertinggi di DPR dipegang oleh PDI-P (153 kursi), Golkar (120 kursi), PPP (58 kursi), PAN dan Partai Keadilan (41 kursi), serta PBB (13 Kursi).
Masa kepemimpinan MPR periode selanjutnya, tahun 2004 hingga 2009, dilanjutkan Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jumlah wakil ketua MPR hanya tiga orang, yaitu AM Fatwa (PAN), Aksa Mahmud (DPD), dan Mooryati Soedibyo (DPD).
Berdasarkan hasil Pemilu 2004 Partai Golkar mendapat 129 kursi di DPR, disusul PDI-P dengan perolehan 109 kursi. Tiga partai berikutnya adalah Demokrat (57 kursi), PAN (53 kursi), dan PKB (52 kursi).
Setelah PKS menduduki kursi Ketua MPR, periode selanjutnya, tahun 2009-2014, Ketua MPR dijabat Taufiq Kiemas dari PDI-P. Pada tahun 2013 jabatan Ketua MPR digantikan kepada Sidharto Danusubroto (PDI-P) setelah Taufiq Kiemas tutup usia.
Saat itu susunan wakil ketua MPR terdiri dari Melani Leimena S (Partai Demokrat), Hajriyanto YT (Partai Golkar), Achmad Dimyati (PPP), dan Ahmad Farhan H (DPD). Partai pemenang pemilu periode tersebut adalah Demokrat dengan total 148 kursi DPR.
Partai Amanat Nasional kembali menduduki kursi ketua MPR pada periode tahun 2014-2019. Ketua MPR dijabat Zulkifli Hasan. Sementara wakil ketuanya terdiri dari Hidayat Nur Wahid (PKS), Mahyudin (Partai Golkar), Oesman Sapta (DPD), dan EE Mangindaan (Partai Demokrat).
Kini, jumlah wakil ketua MPR ditambah tiga orang setelah disahkannya UU No 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPR dan DPRD. Maka masuklah nama-nama Ahmad Basarah (PDI-P), Ahmad Muzani (Partai Gerindra), dan Muhaimin Iskandar (PKB). Dengan demikian, pimpinan MPR kini menjadi 10 orang.
Perubahan
Perjalanan pimpinan MPR mengalami beberapa kali perubahan, dimulai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999. Saat itu, jabatan sebagai pimpinan MPR terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-banyaknya lima wakil ketua yang mencerminkan fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi.
Meskipun jumlah maksimal pimpinan MPR menurut UU No 4 Tahun 1999 sebanyak enam orang, kala itu jumlahnya mencapai delapan orang. Penambahan tersebut dilakukan setelah dikeluarkannya Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR.
Jumlah pimpinan MPR kembali berubah melalui Undang-Undang No 27 Tahun 2009, di mana pimpinan MPR terdiri dari 1 ketua dan 4 wakil ketua yang berasal dari DPR dan DPD.
UU No 17/2014 masih konsisten dengan lima formasi pimpinan MPR. Sistem pemilihannya melalui pencalonan fraksi dan/atau kelompok anggota yang mencerminkan konfigurasi partai politik.
Keterpilihan seseorang sebagai bagian dari pimpinan MPR harus melalui musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna. Metode pemungutan suara terbanyak atas calon pimpinan dapat dilakukan jika belum dicapai kesepakatan dalam musyawarah.
Formasi pimpinan MPR satu orang sebagai ketua dan empat orang sebagai wakil ketua bertahan hingga disahkannya UU No 2/2018. Aturan baru tersebut menyebutkan bahwa jumlah wakil ketua ditambah menjadi tujuh orang.
Tak berselang lama, pertengahan tahun 2019 muncul usulan sejumlah fraksi partai politik untuk menambah jumlah pimpinan MPR melalui revisi UU No 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3.
Akhirnya pertengahan September 2019, UU MD3 disahkan melalui Rapat Paripurna DPR. Jumlah pimpinan MPR bertambah menjadi delapan hingga sepuluh orang, terdiri dari sembilan perwakilan DPR dan satu perwakilan DPD. Revisi ini bertujuan agar semua fraksi memiliki perwakilan masing-masing.
Hasil amendemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali (tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002) mengubah posisi MPR setara dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Berbeda dengan ketua DPR yang akan dijabat perwakilan partai pemenang pemilu, ketua MPR harus melalui musyawarah untuk mufakat. Artinya, pemimpin terpilih nantinya belum tentu berasal dari partai pemenang pemilu.
Di balik keterwakilan tiap fraksi di parlemen, penambahan jumlah pimpinan MPR tentu melambungkan anggaran. Terlihat bahwa pertimbangan anggaran tidak lagi menjadi sesuatu yang penting bagi anggota parlemen.
Seluruh pemimpin MPR akan memperoleh gaji pokok, sejumlah tunjangan, uang kehormatan, uang paket harian, dan bantuan penunjang kegiatan. Menurut pemberitaan Kompas (22/08/2019), total anggaran untuk memenuhi kebutuhan seluruh pimpinan MPR bisa mencapai Rp 1,1 triliun atau sekitar Rp 116,8 miliar per orang.
Polemik perebutan kursi ketua MPR dan penambahan jumlah wakil ketua MPR menunjukkan, MPR menjadi batu pijakan bagi para politisi parpol untuk menegosiasikan kepentingan pribadi dan golongan atas nama konsolidasi politik. Pada gilirannya, lembaga tinggi yang terhormat dan jarang bekerja ini harus mengeluarkan triliunan rupiah untuk membiayai para pemimpinnya. (LITBANG KOMPAS)