Mekar Bunga Bangsa di Tepian Hutan Kendari
Ramai suara anak dari atas bukit memecah keheningan pagi di antara rimbun pepohonan. Di lembah bukit, Winsa (17) bersama enam rekannya sesama penyandang disabilitas balas berteriak. Senyum mengembang di wajah mereka saat berlari mendaki jalan tanah yang terjal. Para bunga bangsa itu antusias bersekolah.
Setiba di puncak sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 50 meter, rekan- rekan Winsa telah menunggu tidak sabar di depan sekolah. Mereka adalah murid-murid dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Kusuma Bangsa di Kelurahan Anggoya, Poasia, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Sekolah itu berada di ujung jalan tanah di pinggir kota. Suasana di sekitarnya asri oleh rerimbunan pohon, serasa berada di tepian hutan. Padahal, lokasi itu hanya sekitar 10 kilometer dari rumah jabatan Wali Kota Kendari, juga rumah jabatan Gubernur Sultra.
Winsa menatap rekannya satu per satu dengan mata berbinar. Ia lalu menyapa beberapa rekannya dengan bahasa sendiri. Siswa kelas 1 SMPLB ini memang seseorang tunawicara, autis, juga tunagrahita. Sesekali ia memperbaiki peci berwarna coklatnya yang miring. Jumat (13/9/2019) pagi itu anak-anak memang berpakaian muslim.
”Ayo masuk anak-anak. Buka sepatunya,” kata Jamilah (45), salah seorang guru yang mengajar di sekolah dengan 25 siswa ini. Pintu ruangan belajar berukuran 6,5 x 12 meter itu terbuka. Anak-anak berhamburan masuk ke dalam.
Sesaat kemudian, Winsa cekatan mengeluarkan buku tulis, pulpen, dan juga buku Iqro, bersiap belajar pelajaran agama. Tangan kirinya memegang erat pulpen. Ia membuat beberapa huruf yang ditugaskan oleh sang guru. Sebuah huruf ditulis selama beberapa detik. Jamilah membimbingnya dengan sabar. Setelah semua selesai, Winsa bertepuk tangan. Ia tampak bangga mendapat nilai 80.
”Dia ini senang kalau menggambar, mewarnai. Pernah juara juga lomba tahun lalu. Dia murid pertama di sekolah ini, bahkan sebelum saya masuk,” ujar Jamilah. Di dekatnya, Reval (6), mengambil apa saja yang bisa dijangkaunya. Wajahnya yang lucu dipenuhi cengiran lebar. Setelah mendapat yang diinginkan, ia lalu berlari menuju pintu, bersiap ke halaman. Guru-guru dan beberapa rekannya mengejar. Saat tertangkap, semuanya tertawa.
Reval adalah anak yang menyandang autis. Ia aktif berlarian ke sana kemari. Bocah kelas 1 SDLB ini baru sedikit tenang ketika guru mengajaknya bermain. Regina (8), kakaknya, duduk dengan tenang di depan guru yang lain. Serupa adiknya, siswi kelas 3 SDLB itu juga menyandang autis.
Total ada 15 anak yang hadir bersekolah pagi itu. Sebagian besar siswa duduk melingkar di salah satu sudut ruangan tanpa bangku dan meja itu. Beberapa anak tetap asyik berlarian, bermain mobil-mobilan usang, asyik membaca sendiri, dan berbagai rupa kegiatan lainnya.
Dua siswa, Syukran dan Afdal, tetap di luar. Mereka belajar di balai bambu, diajar oleh guru lainnya. Keduanya adalah anak dengan keterbelakangan mental dan tidak senang belajar dengan suasana ribut. Karena itu, proses belajar mereka sengaja dipisahkan.
Anak-anak ini adalah penyandang disabilitas yang berasal dari sekitar wilayah Kecamatan Poasia, Kendari. Mereka sebagian bisu, autis, tunagrahita, down syndrome, juga ada yang polio. Sebagian besar dari anak-anak ini berasal dari keluarga menengah ke bawah. Dua murid perempuan, Jamilah dan Hatijah, bahkan pulang lebih cepat dari waktu yang ditentukan.
”Mau memulung,” ucap Jamilah (15) singkat, yang lalu berjalan berkilo-kilometer menuju rumahnya. Sekolah sebenarnya menyiapkan angkutan untuk pulang para siswa dengan menyewa angkot, tetapi Jamilah mengaku terburu-buru dan harus membantu orangtua. Jamilah, anak kelima dari sembilan bersaudara, ini menyandang keterbelakangan mental.
Akses sulit
Para siswa SLB Kusuma Bangsa adalah anak penyandang disabilitas yang diupayakan untuk bisa mendapatkan akses pendidikan formal. Sebagian besar dari mereka baru menyentuh sekolah formal pada usia belasan tahun. Selain karena faktor biaya, kondisi keluarga mereka juga masih belum begitu peduli akan pentingnya pendidikan bagi anak penyandang disabilitas.
Adalah Ninis Sudarwati (50) dan suaminya, Yafsin Yaddi (51), yang berinisiatif membuka Sekolah Luar Biasa Kusuma Bangsa, yang berizin resmi pada 2017 lalu. Mereka telah memulainya sejak 2014 dengan berlokasi di rumah pribadi, sekitar 3 kilometer dari letak sekolah ini.
Ninis tergerak untuk mengajar setelah melihat kondisi anak-anak disabilitas di sekitar lingkungannya yang tidak mendapat akses pendidikan. Terlebih, SLB negeri di Kota Kendari hanya ada dua dan letaknya jauh dari wilayah Poasia.
”Kami beri nama Kusuma Bangsa, artinya Bunga Bangsa. Mereka, kan, bunga yang siap mekar untuk bangsa asal diberi akses yang sesuai kemampuan dan bakat mereka,” kata Ninis.
Setelah memulai pada 2014 dan berpindah dari rumah pribadi ke lahan pinjaman, mereka memberanikan diri untuk membangun di lahan sendiri. Sebuah lokasi lahan yang dipersiapkan untuk kebun disulap menjadi tempat sekolah berdiri pada 2018. Awalnya, di lahan seluas 1,2 hektar ini hanya ada satu bangunan sederhana berdinding bambu dan beratap rumbia. Bangunan itu kini menjadi kantor dan ruang keterampilan.
Sebuah bangunan yang dipakai belajar saat ini, rumah singgah, kamar mandi, dan sumur bor adalah sumbangan dari pihak swasta serta beberapa instansi. Belum ada bantuan dari pemerintah daerah, kecuali dana bos untuk siswa. Dana itu dikelola untuk dibelikan seragam, buku, alat peraga, alat keterampilan, dan makan setiap hari Sabtu.
”Kami juga mengantar pulang dengan menyewakan angkot. Kalau pergi, ada anak saya yang antar pakai mobil. Kadang saya, kalau lagi di Kendari, antar mereka semua, atau istri saya (yang antar),” ucap Yafsin yang juga Kepala SMALB di Raha. Menurut Yafsin, anak-anak ini butuh ruang dan perhatian untuk mengembangkan diri. Itu karena selama ini mereka jauh dari akses pendidikan yang ada, baik formal maupun informal. Para orangtua juga sebagian lebih memilih anaknya tetap di rumah karena berbagai alasan.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun Ajaran 2016/2017, hanya ada 55 SLB berbagai tingkatan di wilayah Sulawesi Tenggara. Jumlah siswa yang terdata adalah 2.482 anak. Meski demikian, masih begitu banyak anak yang tidak terdata dan belum tersentuh akses pendidikan. Pada 2017, hanya 18 persen anak berkebutuhan khusus yang bisa mengakses pendidikan dari total 1,6 juta anak. Jumlah ini diyakini tidak berbeda jauh pada 2018 dan tahun ini.
Primaningrum Arinarresmi, pegiat Gerakan Masyarakat Peduli Hak-hak Penyandang Disabilitas, menjelaskan, faktor pemerintah daerah yang kurang peduli serta keluarga yang belum terbuka menjadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan. Sebab, hal ini masih banyak terjadi di sejumlah daerah, utamanya kota dan kabupaten kecil.
”Di sini dibutuhkan perhatian pemerintah daerah. Mau tidak mau mereka harus membuka mata. Ini tugas bersama agar anak-anak kita bisa jauh lebih mudah mendapatkan akses formal ataupun informal. Sebab, potensi anak-anak ini begitu besar untuk berkembang,” ucap Primaningrum.
Jalan yang dilalui anak-anak penyandang disabilitas ini untuk berkembang dan mendapatkan pendidikan yang layak memang tidak mudah. Namun, serupa nama sekolah di tepian hutan di Kendari ini, anak-anak tersebut adalah bunga bangsa yang menunggu untuk dipupuk agar mereka juga bisa hidup dan kelak bisa menghidupi dirinya.