Rendahnya inflasi Januari-September 2019 dinilai jadi cermin bahwa perekonomian belum bergerak optimal. Tiga bulan terakhir menjadi peluang mendorong konsumsi masyarakat.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI / M PASCHALIA JUDITH
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Ilustrasi. Warga berbelanja bahan makanan di Pasar Mayestik, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (10/6/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya inflasi Januari-September 2019 dinilai jadi cermin bahwa perekonomian belum bergerak optimal. Tiga bulan terakhir menjadi peluang mendorong konsumsi masyarakat.
Badan Pusat Statistik mencatat deflasi 0,27 persen pada September 2019. Namun, inflasi menurut tahun kalender atau Januari-September 2019 sebesar 2,2 persen, sedikit lebih tinggi daripada periode yang sama tahun lalu yang tercatat 1,94 persen.
Akan tetapi, angka itu lebih rendah dari target pemerintah sebesar 3,5 persen plus minus 1 persen. Ketua Bidang Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Thomas Darmawan, di Jakarta, Selasa (1/10/2019), berpendapat, deflasi pada September 2019 menunjukkan bahwa perekonomian belum bergerak optimal.
Saat ini sebagian pelaku usaha masih menahan investasi dan menunggu postur kabinet terpilih hingga akhir Oktober 2019. ”Sejumlah pelaku usaha masih menahan diri, sedangkan masyarakat menahan belanja. Daya beli masyarakat harus dipompa lagi menjelang akhir tahun,” kata Thomas.
Tiga bulan pada akhir tahun dinilai menjadi momentum yang pas untuk menggenjot daya beli sekaligus ekspansi usaha seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat menjelang hari raya dan tahun baru. Namun, kata Thomas, dibutuhkan peran perbankan untuk mendorong kredit tumbuh lebih tinggi.
Thomas juga mengingatkan agar pemerintah mewaspadai dampak arus impor terhadap daya saing usaha. Dia mencontohkan impor ikan yang cenderung meningkat yang antara lain disebabkan oleh harga bahan baku impor yang cenderung lebih murah dibandingkan dengan bahan baku lokal.
Akan tetapi, ketika secara akumulatif terjadi deflasi 0,27 persen, kelompok inti mengalami inflasi 0,29 persen. Komponen inti mencerminkan pengeluaran barang dan jasa stabil dan tidak naik turun. Inflasi pada kelompok ini dinilai menjadi gambaran bahwa masyarakat memiliki daya beli.
Pergerakan indeks harga konsumen pada September 2019 menyiratkan dua kewaspadaan yang perlu dicermati dan diantisipasi pemerintah. Dua kewaspadaan itu menyangkut harga bahan pangan, terutama beras, dan daya beli produsen pangan.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Petani mengayak kacang hijau yang baru dipanen, di Desa Kuwu, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (19/8/2019). Kacang hijau merupakan komoditas andalan ”Kota Wali”, selain padi, yang ditanam pada musim tanam ketiga.
Panen berkurang
Menurut BPS, meski deflasi 0,27 persen, subkelompok padi-padian dan umbi-umbian mengalami inflasi 0,13 persen. Komoditas beras memberikan andil inflasi 0,01 persen akibat kenaikan harga gabah dan beras. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, kenaikan harga gabah di tingkat petani mengindikasikan jumlah panen telah berkurang.
Dengan stok beras pemerintah yang cukup, harga beras semestinya terjaga hingga akhir tahun ini. ”Seharusnya tidak akan ada lonjakan harga beras,” kata Suhariyanto.
BPS mencatat harga gabah beras terus naik sejak Mei 2019. Harga beras medium di penggilingan, misalnya, naik dari Rp 9.143 per kilogram (kg) pada Mei menjadi 9.301 per kg pada September.
Pusat Info Harga Pangan Strategis juga mencatat kenaikan rata-rata harga beras medium nasional. Pada awal September 2019, harga beras medium Rp 11.550-Rp 11.800 per kg, tetapi pada akhir September 2019 naik jadi Rp 11.650-Rp 11.850 per kg.