Antiklimaks Perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Janji DPR untuk membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tinggallah janji. Harapan pun kini tertumpu pada DPR periode 2019-2024 yang baru dilantik.
Janji DPR untuk membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tinggallah janji. Harapan pun kini tertumpu pada DPR periode 2019-2024 yang baru dilantik.
Perjalanan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mencapai antiklimaks. Janji anggota DPR untuk membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang yang berpihak kepada korban kekerasan seksual, di akhir masa periode 2014-2019, tinggal janji.
Pada Rapat Paripurna DPR Penutupan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019 dan Penutupan Masa Bakti Keanggotaan DPR Periode 2014-2019, Senin (30/9/2019), Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, terdapat sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas yang masih dalam Pembicaraan Tingkat I di Komisi dan Panitia Khusus yang belum dapat diselesaikan. Salah satunya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Bambang mengatakan, DPR berharap RUU yang tidak dapat diselesaikan tersebut dapat dibahas pada masa keanggotaan DPR periode mendatang, mengingat carry-over legislasi (pembahasan lanjutan RUU yang belum selesai) sudah ada landasan hukumnya. Karena hanya harapan, maka itu berarti dua hal. Jika anggota DPR yang mau, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa di-carry-over. Namun, jika DPR tidak mau, nasib RUU tersebut akan semakin tidak jelas.
Ketidakjelasan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebenarnya sudah bisa ditebak saat melihat dinamika di DPR. Meski dalam dua bulan terakhir, Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR menggelar tiga kali pertemuan dengan tim pemerintah, proses legislasi RUU tersebut sebenarnya tidak mengalami kemajuan berarti.
Meski dua bulan terakhir Panitia Kerja Komisi VIII DPR menggelar tiga kali pertemuan dengan tim pemerintah, proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebenarnya tidak mengalami kemajuan berarti.
Karena sesungguhnya, seperti kata anggota Panja DPR Rahayu Saraswati Djojohadikumo dari Fraksi Partai Gerindra dan Diah Pitaloka dari Fraksi PDI-P, dalam rapat Panja Komisi VIII DPR, Rabu (25/9), pembahasan RUU tersebut tidak pernah ”dibuka” dan ”dimulai”.
Dalam tiga kali pertemuan Panja DPR dan pemerintah, anggota DPR hanya berkutat dalam perdebatan dengan narasi-narasi yang hampir sama dari waktu ke waktu. Setelah didesak Rahayu dan Diah, serta beberapa anggota panja lain, pada rapat panja terakhir tersebut, akhirnya ada kesepakatan dari 11 anggota panja untuk membentuk tim perumus.
Sepintas pembentukan tim perumus itu merupakan langkah maju karena keberadaan tim itu merupakan bagian dari tahapan yang harus dilalui panja untuk menuju proses-proses pembahasan selanjutnya dari RUU tersebut. Namun, Panja DPR menyatakan tim perumus baru akan bekerja pada periode 2019-2024.
Tim Panja Pemerintah mengapresiasi kesepakatan untuk membentuk tim perumus. Setidaknya itu sebuah langkah maju dari proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bahkan, pemerintah sangat siap melanjutkan pembahasan RUU ini. Apalagi dalam pertemuan panja sebelumnya, sudah ada kesepakatan untuk memilih salah satu dari tiga judul yang ditawarkan pemerintah. Ketiga alternatif judul tersebut adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, atau RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Baca juga: Tim Perumus Dibentuk, Pemerintah Siap Lanjutkan Pembahasan
Namun, DPR tetap tidak melanjutkan pembahasan meski masih ada beberapa hari sisa waktu periodenya. Artinya, Rapat Panja Komisi VIII DPR pada 25 September 2019 yang diakhiri kesepakatan membentuk tim perumus hanyalah antiklimaks. Sebab, harapan pemerintah untuk melanjutkan pembahasan di sisa hari kerja DPR, setidaknya 26 dan 27 September 2019, tidak terwujud.
Ketidakpastian dari kelanjutan proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebenarnya sudah terlihat sejak akhir Juli lalu, ketika DPR membongkar kembali jadwal agenda pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dikirim kepada Tim Panja Pemerintah. Hanya tiga kali terjadi pertemuan dan agenda rapat pun tidak sesuai dengan yang dijadwalkan, termasuk saat rapat terakhir panja DPR.
Dari agenda rapat yang tertulis dalam surat yang dikirim kepada Tim Panja Pemerintah, tercatat 25 September adalah jadwal pembahasan Daftar Isian Masalah (DIM) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, sejak rapat dibuka dan ditutup oleh Ketua Panja Marwan Dasopang, tak terjadi pembahasan DIM. Padahal, Tim Panja Pemerintah yang dipimpin Vennetia R Danes hadir lengkap bersama tim dari kementerian/lembaga, siap memulai pembahasan RUU tersebut.
Kecuali Rahayu dan Diah yang berulang kali mendesak pimpinan rapat untuk memulai pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sebagian dari 11 anggota panja yang hadir pada rapat tersebut lebih banyak mengungkapkan pandangan pribadi ataupun fraksi mereka terhadap RUU tersebut.
Ada yang mengungkapkan tidak mungkin akan dilakukan pembahasan karena waktu untuk DPR bekerja sudah mepet, tinggal beberapa hari lagi. Ada yang mengungkapkan kekhawatiran jika UU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan, selain akan terjadi tumpang tindih dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), jika disahkan RUU itu akan menjadi polemik, karena ada kelompok yang pro dan kontra.
Bahkan, Iskan Qolba Lubis dari Partai Keadilan Sejahtera secara jelas menyatakan partainya tidak setuju RUU tersebut disahkan karena RUU tersebut dinilai ada potensi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Di ujung perdebatan itulah, setelah sempat diskors, akhirnya para anggota panja yang hadir minus Fraksi PKS sepakat membentuk tim perumus.
Iskan Qolba Lubis dari Partai Keadilan Sejahtera secara jelas menyatakan partainya tidak setuju RUU tersebut disahkan karena RUU tersebut dinilai ada potensi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Vennetia pun menepis kekhawatiran RUU yang mengatur sembilan jenis kekerasan seksual (pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual) akan bertabrakan dengan RKUP. Dia memastikan hal itu tidak terjadi.
”Sebab, selama ini pembahasan-pembahasan naskah RUU dan DIM melibatkan sejumlah pakar hukum yang juga ikut membahas RKUHP,” kata Vennetia.
Tiga tahun dibiarkan
Tidak selesainya pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual membuat Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan para aktivis yang tergabung dalam Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan ataupun Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), serta kelompok disabilitas dan kelompok rentan lainnya kecewa.
RUU ini mangkrak selama tiga tahun. Jika DPR memiliki kemauan, sejak 2017 seharusnya pembahasan RUU tersebut telah dimulai, bukan baru bergerak di dua bulan terakhir sebelum habis atau selesai periodenya.
”Setelah sepakat bentuk tim perumus, semestinya bisa dilanjutkan dengan pembahasan RUU. Dalam dua-tiga hari yang tersisa, seharusnya bisa. Tapi, di dalam rapat panja, pendapat anggota Dewan hanya berputar-putar dan tidak bergerak ke mana-mana. Jadi, saya melihat ini lebih soal politik hukum anggota DPR dan fraksi yang kurang kuat untuk mengegolkan RUU tersebut,” ujar Valentina Sagala, salah satu anggota tim hukum Panja Pemerintah.
Setelah sepakat bentuk tim perumus, semestinya bisa dilanjutkan dengan pembahasan RUU. Dalam dua-tiga hari yang tersisa, seharusnya bisa.
Komnas Perempuan, Minggu (29/9/2019), dalam pernyataannya menyatakan mangkraknya RUU tersebut dalam tiga tahun terakhir bukan saja menunjukkan buruknya kinerja Panja Komisi VIII DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tetapi juga memperlihatkan rendahnya kepedulian terhadap ribuan korban kekerasan seksual di Indonesia.
”Pernyataan Ketua Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bahwa akan menunda pembahasan RUU tersebut dengan alasan waktu yang tersedia pendek adalah bentuk pengabaian perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan berkontribusi pada impunitas pelaku kekerasan seksual,” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu.
Studi banding yang sia-sia
Sikap DPR yang tidak meneruskan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebenarnya mengundang pertanyaan karena tahun lalu Panja Komisi VIII DPR melakukan studi banding soal penerapan UU Penghapusan Kekerasan/Kejahatan Seksual di Perancis dan Kanada.
Karena itulah, Komnas Perempuan mempertanyakan studi banding tersebut karena menggunakan APBN. Penggunaan APBN untuk studi banding terkait RUU ke dua negara tersebut dinilai sia-sia. Padahal, biaya untuk studi banding tersebut seharusnya bisa digunakan untuk layanan visum gratis bagi korban kekerasan seksual yang hingga kini belum mampu disediakan negara.
”DPR dinilai tidak memiliki kepekaan terhadap korban kekerasan seksual yang telah lama menanti kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ungkap Azriana.
Padahal, dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, sejak RUU ini ditetapkan sebagai inisiatif DPR (pada 2016) hingga Desember 2018 saja, tercatat 16.943 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Bahkan, data statistik kriminal dalam Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 juga memperlihatkan rata-rata setiap tahun terdapat 5.327 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Temuan FPL hanya 40 persen kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke polisi. Itu pun hanya 10 persen yang berlanjut ke pengadilan. Sebanyak 90 persen kasus kekerasan tidak berlanjut ke pengadilan karena terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP, baik aturan material maupun formal.
Karena itulah, kesepakatan panja untuk membentuk tim perumus sebenarnya hanya sekadar komitmen supaya kelihatan ada kemajuan, tapi sebenarnya tidak ada langkah berarti yang dicapai DPR. Kenyataannya setelah rapat panja pada 25 September lalu, meski masih ada waktu beberapa hari lagi, sebelum sidang paripurna penutupan masa sidang DPR, Senin (30/9/2019).
”Gagal atau tidaknya pengesahan RUU itu sebenarnya bukan merupakan capaian utama. Tetapi, pemenuhan perlindungan korban menjadi target utamanya. Dengan tidak disahkan, maka sebenarnya yang paling dirugikan adalah terabaikan masyarakat Indonesia terutama korban,” ujar komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati.
Setelah semua yang terjadi di DPR, kini Komnas Perempuan dan jaringan organisasi masyarakat sipil hanya bisa menumpukan harapan kepada Presiden Joko Widodo. Kepemimpinan nasional diharapkan tak berhenti mendorong lahirnya UU yang lebih berpihak pada kepentingan korban kekerasan seksual dan kelompok rentan yang dilindungi oleh konstitusi. Semoga!