Presiden: Menyampaikan Pendapat Hak Konstitusional
Unjuk rasa yang dilakukan pelajar, mahasiswa, kelompok buruh, dan masyarakat sipil kembali berlangsung, Senin (30/9/2019), di sejumlah daerah di Indonesia.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Unjuk rasa yang dilakukan pelajar, mahasiswa, kelompok buruh, dan masyarakat sipil kembali berlangsung, Senin (30/9/2019), di sejumlah daerah di Indonesia. Terkait masih belum berhentinya gelombang unjuk rasa, Presiden Joko Widodo menegaskan hal itu merupakan hak konstitusional warga negara.
Unjuk rasa di Jakarta terkonsentrasi di depan Gedung MPR/DPR, Senayan. Petugas keamanan kemudian membubarkan pengunjuk rasa dengan menembakkan gas air mata. Selain itu, ada pula mahasiswa yang berunjuk rasa di kampus masing-masing di Jakarta.
Unjuk rasa juga berlangsung di daerah lain, seperti Yogyakarta, Pontianak (Kalimantan Barat), Batam (Kepulauan Riau), Kendari (Sulawesi Tenggara), Malang (Jawa Timur), dan Tegal (Jawa Tengah). Tuntutan yang digelorakan beragam, termasuk menolak revisi undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Di Istana Kepresidenan Bogor, Presiden Jokowi mempersilakan rakyat berunjuk rasa. Sebab, konstitusi membebaskan setiap warga negara menyampaikan pendapat, termasuk unjuk rasa. ”Kami mendengar. Bukan mendengar saja, tetapi sangat mendengar,” katanya.
Hanya saja, Presiden Jokowi mengingatkan, unjuk rasa harus dilakukan dengan tertib. ”Jangan rusuh, jangan anarkistis, jangan sampai merusak fasilitas-fasilitas umum sehingga menimbulkan kerugian. Yang paling penting itu,” kata Presiden.
Usut tuntas
Selain tuntutan terkait dengan legislasi di DPR, di beberapa daerah juga muncul desakan agar pemerintah mengusut tuntas tewasnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, dalam unjuk rasa pekan lalu, yakni Randi (20) dan Yusuf (19). Randi meninggal setelah terkena tembakan, sedangkan Yusuf meninggal akibat terluka parah di bagian kepala.
Di Kendari, Icas Sarilimpu dari Aliansi Mahasiswa Teknik Se-Sultra menyampaikan dorongan agar pemerintah membentuk tim pencari fakta atas tewasnya Randi dan Yusuf. Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Tenggara Mastri Susilo mendesak agar kepolisian membuka proses penyelidikan ke publik, termasuk temuan sementara dari olah tempat kejadian perkara.
”Sebab, hal itu menjadi langkah awal kita mengawal kasus ini. Kami mendesak temuan-temuan ini benar-benar disebarluaskan sehingga publik bisa mengawal. Dari yang menjadi temuan, lalu ke tahapan berikutnya, hingga temuan-temuan itu ketahuan di ujungnya nanti,” ujar Mastri. Sejauh ini, katanya, Ombudsman menawarkan agar sejumlah pihak dilibatkan dalam penyelidikan, di antaranya tokoh masyarakat, mahasiswa, dan media.
Dengan banyak pihak yang terlibat, ujar Mastri, hal itu bisa memastikan investigasi berlangsung terbuka dan hasilnya terang benderang. Penyelidikan yang melibatkan berbagai pihak bisa membuat tim bekerja secara terbuka dan tidak ada rekayasa. Sebab, dengan kejadian meninggalnya dua mahasiswa, dia menduga terjadi kesalahan prosedur dalam pengamanan unjuk rasa.
Berdasarkan laporan sementara kepolisian kepada Ombudsman Perwakilan Sultra, aparat telah memeriksa 13 personel kepolisian yang bertugas dalam pengamanan. Senjata ke-13 petugas itu telah disita. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Harry Goldenhardt belum merespons saat dikonfirmasi kemarin.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo yang dihubungi dari Kendari mengatakan, tim sedang bekerja untuk menguji temuan bukti di lapangan. ”Kalau proyektil (yang ditemukan) baru satu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya,” ujar Dedi.
Pengamanan pelantikan
Di tengah gelombang unjuk rasa beberapa waktu terakhir, pada Selasa (1/10), anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2019-2024 akan dilantik di Kompleks Parlemen, Senayan. Setelah itu, pada 20 Oktober akan berlangsung pelantikan presiden dan wakil presiden 2019-2024. Terkait hal itu, Tentara Nasional Indonesia menjamin keamanan ibu kota Jakarta.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, pasukan yang akan diterjunkan untuk mengamankan pelantikan anggota MPR dan DPR serta presiden dan wakil presiden berjumlah 6.000 personel. Jumlah itu dua kali lipat lebih besar dari jumlah pasukan yang diterjunkan saat unjuk rasa di Kompleks Parlemen, beberapa waktu lalu.
”Mereka tersebar untuk mengamankan beberapa tempat, terutama Kompleks Parlemen, Istana Negara, dan di sentra-sentra ekonomi. Pengamanan ini bertujuan memberikan rasa aman bagi rakyat,” kata Hadi seusai memimpin apel pasukan di Skuadron 17 Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.