Waspadai Kenaikan Harga Beras dan Penurunan Daya Beli Produsen Pangan
Pergerakan indeks harga konsumen pada September 2019 menyiratkan dua kewaspadaan yang perlu diantisipasi pemerintah. Dua kewaspadaan itu menyangkut harga bahan pangan, terutama beras, dan daya beli produsen di desa.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pergerakan indeks harga konsumen pada September 2019 menyiratkan dua kewaspadaan yang perlu dicermati dan diantisipasi pemerintah. Dua kewaspadaan itu menyangkut harga bahan pangan, terutama beras, dan daya beli produsen pangan.
Inflasi pada beras di tengah deflasi indeks harga konsumen (IHK) kelompok pangan patut diwaspadai, sebab realisasi serapan gabah dan beras oleh pemerintah akan berada di bawah target akhir tahun ini. Di sisi lain, deflasi pangan yang terjadi juga perlu dicermati karena mengindikasikan tekanan yang dialami produsen di desa, terutama peternak.
Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (1/10/2019), mencatat, pada September 2019 terjadi deflasi sebesar 0,27 persen. Meskipun deflasi, subkelompok padi-padian dan umbi-umbian mengalami inflasi sebesar 0,13 persen. Beras memberikan andil inflasi sebesar 0,01 persen.
Inflasi kelompok tersebut, terutama padi-padian, merupakan imbas kenaikan rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada September 2019 yang mencapai Rp 4.905 per kilogram (kg). Harga ini lebih tinggi 3,07 persen dibandingkan bulan sebelumnya dan 0,33 persen dibanding September 2018.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, kenaikan harga GKP di tingkat petani mengindikasikan jumlah panen telah berkurang secara musiman. Dengan stok beras yang cukup yang dimiliki pemerintah, seharusnya harga beras akan terjaga hingga kahir tahun ini.
"Seharusnya tidak akan ada lonjakan harga beras," katanya.
Pusat Info Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat, rata-rata nasional harga beras medium di tingkat konsumen mulai bergerak naik. Pada awal September 2019, harga beras medium Rp 11.550 per kg-Rp 11.800 per kg, kemudian pada akhir September naik menjad Rp 11.650 per kg-Rp 11.850 per kg.
Sementara itu harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), juga menunjukkan tren kenaikan. Rata-rata harga beras medium di PIBC pada awal September 2019 berkisar Rp 8.825 per kg-Rp 10.575 per kg, sedangkan per hari ini naik menjadi Rp 9.025 per kg-Rp 10.600 per kg.
Harga beras medium tersebut sudah berada di atas harga eceran tertinggi (HET) yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penetapan HET Beras.
Dalam Permendag itu disebutkan, HET beras medium Rp 9.450 per kg untuk wilayah Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Lampung, dan Sumatera Selatan. Adapun untuk Sumatera selain Sumatera Selatan dan Lampung, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Timur HET-nya Rp 9.950 per kg, serta Maluku dan Papua Rp 10.250 per kg.
Untuk itu, Suhariyanto berharap agar pemerintah mengendalikan harga beras hingga akhir tahun ini. Pengendalian inflasi pada Desember mendatang diperlukan, karena permintaan akan naik dalam rangka Hari Raya Natal dan pergantian tahun.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa berpendapat, kenaikan harga gabah di tingkat petani mengindikasikan produksi beras nasional terganggu. Hal itu terjadi karena kemarau tahun ini yang cukup panjang dan penurunan luas lahan sawah.
Pemerintah perlu mewaspadai gejolak harga beras dan gabah pada Desember 2019 hingga Februari 2020. Gejalanya akan mulai terlihat pada November 2019.
"Saya perkirakan harga GKP di sentra produksi beras dapat mencapai Rp 5.500 per kg, sedangkan harga beras medium di tingkat konsumen berada di atas Rp 12.000 per kg," kata dia.
Saya perkirakan harga GKP di sentra produksi beras dapat mencapai Rp 5.500 per kg, sedangkan harga beras medium di tingkat konsumen berada di atas Rp 12.000 per kg.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengemukakan, Bulog masih memiliki cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 2,4 juta ton. Jumlah tersebut tergolong aman karena batas minimal sebagai stok penyangga berkisar 1,5 juta ton.
Di sisi lain, Bulog tidak akan mampu memenuhi target pengadaan CBP tahun ini yang sebanyak 1,8 juta ton. "Saya memperkirakan realisasi penyerapan dalam negeri hingga akhir tahun ini berkisar 1,2 juta ton-1,3 juta ton," kata dia.
Peternak tertekan
Secara umum, kelompok pangan menjadi penyumbangang utama dan satu-satunya terhadap deflasi bulanan pada September 2019. Deflasi kelompok pangan secara bulanan sebesar 1,97 persen.
Sementara itu, perdesaan pun mengalami deflasi sebesar 0,73 persen secara nasional. Kelompok bahan makanan menjadi kontributor deflasi utama dengan angka 1,92 persen.
Salah satu komoditas penyumbang deflasi dalam kelompok bahan makanan ialah, daging ayam ras dengan andil 0,05 persen dan telur ayam ras 0,05 persen. Hal itu menunjukkan ada tekanan di tingkat peternak yang tercermin dari penurunan nilai tukar petani (NTP) peternakan sebesar 0,66 persen menjadi 108,99 poin pada September 2019.
NTP merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani. Indeks harga yang dibayar itu meliputi biaya produksi dan penambahan barang modal serta konsumsi sehari-hari di perdesaan.
Sekretaris Jenderal Pinsar Arif Karyadi mengatakan, harga jual ayam pedaging cenderung berada jauh di bawah acuan pemerintah yang sebesar Rp 18.000 per kg-Rp 20.000 per kg. Pada tahun ini, harga terendah ayam hidup pernah mencapai Rp 5.000 per kg di Jawa Barat dan Rp 4.000 per kg di Jawa Tengah.
Padahal, harga jual ayam pedaging di tingkat peternak pernah mencapai lebih dari 50 persen harga acuan tersebut. Imbasnya, peternak kerap merugi. Pada tahun ini, kerugian perternak rakyat diperkirakan Rp 2 triliun.