Intrusi Air Laut Ganggu Produksi Air Bersih Banjarmasin
Produksi air bersih di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, terganggu akibat Sungai Martapura terintrusi air laut. Kadar garam yang tinggi membuat air sungai tak bisa diolah sebagai sumber air baku PDAM setempat.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Produksi air bersih di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, terganggu akibat Sungai Martapura terintrusi air laut. Di salah satu titik pengambilan air baku Perusahaan Daerah Air Minum Bandarmasih, kadar garamnya sudah melebihi 10 kali lipat dari ambang batas yang ditetapkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, ambang batas kadar garam dalam air untuk diolah menjadi air bersih atau air minum yaitu 250 miligram per liter. Pemeriksaan pada Senin (30/9/2019) terhadap sampel air Sungai Martapura di Intake Sungai Bilu, kadar garamnya mencapai 3.500 mg/l. Bahkan, beberapa hari sebelumnya, kadar garam sempat mencapai 6.000 mg/l.
”Sudah dua minggu Intake Sungai Bilu tidak beroperasi karena kadar garam dalam air bakunya sangat tinggi. Akibatnya, distribusi air bersih kepada pelanggan juga berkurang sekitar 30 persen dari kondisi normal,” kata Kepala Bagian Humas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih M Nur Wakhid, di Banjarmasin, Senin.
Menurut Wakhid, kondisi itu terjadi akibat intrusi air laut di Sungai Martapura sebagai dampak menurunnya debit air sungai pada musim kemarau. Kejadian serupa pernah terjadi pada kemarau tahun 2015. Saat itu, kadar garam dalam air Sungai Martapura di Intake Sungai Bilu mencapai 5.000 mg/l. ”Kadar garam tertinggi tahun ini melebihi kadar garam tertinggi tahun 2015,” ujarnya.
Lebih jauh, Wakhid menjelaskan, PDAM Bandarmasih sejauh ini belum mampu mengolah air baku dengan kadar garam sangat tinggi. Jika memaksa untuk mengolah air baku yang demikian, maka bisa merusak instalasi pengolahan air. Selain itu, air hasil olahan juga biasanya masih payau. Jika didistribusikan kepada pelanggan, akan berpotensi menimbulkan penyakit, terutama muntah dan berak (muntaber).
”Untuk sementara waktu, Instalasi Pengolahan Air (IPA) 1 di Jalan Ahmad Yani, yang sumber air bakunya dari Intake Sungai Bilu, stop berproduksi. Kami menunggu sampai kadar garam dalam air bakunya mendekati normal baru berproduksi kembali,” tuturnya.
Saat ini, PDAM Bandarmasih hanya bisa mengandalkan air Sungai Martapura dari Intake Sungai Tabuk untuk sumber air baku PDAM. Air baku dari Intake Sungai Tabuk ditarik ke IPA 2 di Jalan Pramuka, Banjarmasin Timur. Dari situ kemudian didistribusikan ke lima kecamatan di Kota Banjarmasin.
Dalam kondisi normal, IPA 2 hanya mendistribusikan air ke dua kecamatan, yaitu Banjarmasin Timur dan Banjarmasin Selatan. Tiga kecamatan lain, yaitu Banjarmasin Tengah, Banjarmasin Barat, dan Banjarmasin Utara, didistribusikan melalui IPA 1.
Karena kini dari IPA 2 harus didistribusikan ke lima kecamatan, Wakhid mengatakan, ada penurunan tekanan air di daerah yang jauh dari IPA 2. Di beberapa lokasi, aliran airnya sangat kecil atau bahkan tidak mengalir sama sekali. ”Untuk itu, kami memberikan layanan air gratis dengan mobil tangki kepada pelanggan yang terdampak,” katanya.
Setiap rumah mendapat jatah air hanya dua jeriken setiap hari. Itu hanya untuk masak dan minum.
Fauziah (70), warga Pulau Bromo, Kelurahan Mantuil, Banjarmasin Selatan, menuturkan, air PDAM sudah hampir tiga bulan tidak lancar mengalir. Setiap hari warga harus mengantre air bersih yang disuplai PDAM Bandarmasih secara gratis melalui perahu bermotor atau kelotok. ”Setiap rumah mendapat jatah air hanya dua jeriken setiap hari. Itu hanya untuk masak dan minum,” ujarnya.
Menurut M Yusran (74), warga lainnya, warga Pulau Bromo yang tinggal di pesisir Sungai Martapura terpaksa tetap menggunakan air Sungai Martapura untuk keperluan mandi dan mencuci meski airnya sudah sangat asin. ”Suplai air bersih tidak mencukupi. Selama musim kemarau ini, kami pun terpaksa mandi dengan air asin,” katanya.