Keraguan demi keraguan mengiringi langkah Christian Coleman dalam pencarian jalan hidup sesuai bisikan hatinya. Namun, jiwanya tangguh, hingga tak pernah patah semangat.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
Christian Coleman baru berusia 13 tahun saat pemuda dari Jamaika Usain Bolt menggemparkan Stadion Olimpiade Berlin dengan mencetak rekor dunia 100 meter 9,58 detik. Saat itu, Coleman baru menekuni atletik dan dikenal jago di nomor lompat jauh. Satu dekade kemudian, Coleman tumbuh menjadi sprinter elite dan menjadi juara dunia 100 meter dengan catatan 9,76 detik.
Catatan waktu terbaik sprinter Amerika Serikat berusia 23 tahun itu memang masih terpaut 0,18 detik dari rekor Bolt. Namun, jalan Coleman untuk menjadi ”wajah baru” atletik menggantikan Bolt masih terbuka lebar.
Bakat besar Coleman sebagai atlet sudah terlihat sejak dini. Putra pasangan Seth Coleman dan Dr Daphne Coleman itu sudah menunjukkan tanda-tanda punya kaki yang cepat dan lincah sejak berusia dua tahun. Setiap kali orangtuanya menyalakan mesin pengisap debu untuk membersihkan rumah, Coleman kecil akan langsung melompat dan berlari sangat cepat karena takut dengan deru mesin penyedot debu.
”Pertama kali dia melakukannya, suami saya hampir kehilangan akal. Suami saya terheran-heran melihat anak berusia dua tahun bisa berlari secepat itu. Orang biasa tidak bisa melakukan itu,” kata Daphne dikutip The Sun, Sabtu (28/9/2019).
Beruntung, Coleman berada di lingkungan keluarga yang sangat menyukai olahraga. Kedua orangtuanya sangat mendukung perkembangan bakat besarnya. Ia pun diberi keleluasaan untuk menggeluti atletik hingga olahraga kegemarannya, sepak bola Amerika.
Coleman sempat bersinar sebagai pemain sepak bola Amerika di tingkat SMA. Ia terkenal sebagai pemain yang kuat dan sangat cepat. ”Kami harus memiliki 13 orang (total pemain pada satu tim sepak bola Amerika adalah 11 orang) untuk menghentikannya di lapangan,” tutur Chris Slade, Pelatih Pace Academy yang pernah menghadapi Coleman.
Dia anak tercepat yang pernah saya latih dan memiliki kesadaran ruang dan tangan yang hebat
Namun, dengan tinggi 175 sentimeter (cm), Coleman dianggap terlalu pendek untuk menjadi pemain sepak bola Amerika yang rata-rata bertinggi di atas 180 cm. Hal itu menjadi batu sandungan, karena tidak ada tim universitas yang mau merekrutnya untuk mengikuti Liga Sepak Bola Amerika Tingkat Universitas (NFL Draft).
”Kami menyukainya. Dia punya bakat besar. Dia anak tercepat yang pernah saya latih dan memiliki kesadaran ruang dan tangan yang hebat. Tapi, tingginya, ukurannya yang membuat ragu pihak yang mau merekrut,” ujar Mike Earwood, pelatihnya di SMA Katolik Our Lady of Mercy.
Coleman memang sempat dilirik oleh beberapa perguruan tinggi untuk bermain di NFL Draft. Namun, mereka tidak memberikan jaminan beasiswa jika Coleman bergabung. Namun, Coleman tidak ingin orangtuanya membayar kuliahnya demi melihat dirinya bermain di liga tersebut.
Hal itu justru menjadi titik balik bagi Coleman untuk fokus menekuni atletik, khususnya nomor sprint. ”Tidak apa-apa, saya akan pergi ke liga mahasiswa untuk perlombaan lari,” ujar Coleman menirukan jawabannya kepada ayahnya, Seth.
Dia telah menyadari (sepak bola) bukanlah jalan yang diberikan Tuhan untuknya.
Gayung bersambut, Coleman mendapatkan beasiswa kuliah di Universitas Tennessee. Itu buah prestasinya menjuarai nomor 100 meter, 200 meter, estafet 4x100 meter, lompat jauh serta mencetak rekor tingkat SMA di nomor 100 meter (10,38 detik), 200 meter (21,10 detik), dan estafet 4x100 meter (41,88 detik) pada Kejuaraan Atletik Tingkat SMA di Georgia.
Perguruan tinggi itu merupakan peserta perlombaan dalam ruang dan luar ruang di Kejuaraan Atletik Tingkat Universitas (NCAA) Divisi 1. Universitas Tennessee juga almamater dari sejumlah atlet atletik terbaik AS, seperti Justin Gatlin, Sam Graddy (pelari 100 meter), Lawrence Johnson (loncat galah), Timothy Mack (loncat galah), dan Aries Merritt (lari gawang 110 meter).
”Dia telah menyadari (sepak bola) bukanlah jalan yang diberikan Tuhan untuknya. Dari itu, saya percaya kegagalan di sepak bola telah mendorongnya (sukses) hingga saat ini,” ujar Daphne.
Juara dunia
Ketekunan Coleman akhirnya berbuah manis. Sejak meraih perak 100 meter Kejuaraan Dunia 2017, mengungguli Bolt, tetapi di belakang Gatlin, Coleman terus melesat. Tahun lalu, dia mencetak rekor dunia 60 meter indoor dengan 6,34 detik. Pada Kejuaraan Dunia 2019 di Doha, Qatar, Minggu (29/9) dini hari WIB, Coleman meraih medali emas 100 meter dengan waktu 9,76 detik.
Catatan itu juga menempatkan dirinya sebagai pelari tercepat keenam sepanjang masa, dan mempertajam rekor pribadinya dari 9,79 detik.
Dalam partai final di Stadion Internasional Khalifa, Coleman meninggalkan Gatlin yang finis kedua dengan waktu 9,89 detik, dan pelari Kanada, Andre De Grasse, di urutan ketiga dengan waktu 9,90 detik.
Coleman pun kian dekat untuk mewujudkan mimpinya menjadi lebih baik daripada Bolt. Sejak muncul dua tahun silam, pelari kelahiran Atlanta, Georgia, AS, 6 Maret 1996 itu, digadang-gadang menjadi penerus Bolt.
Namun, Coleman tidak mau disamakan dengan Bolt. ”Ini kehormatan besar untuk saya yang dianggap sebagai The Next Bolt. Tetapi, bagi saya, saya selalu ingin menjadi diri sendiri dan menciptakan sejarah sendiri. Sepuluh tahun dari sekarang, saya ingin orang-orang justru mencari The Next Christian Coleman,” ujar Coleman dikutip Bleacher Report, pertengahan Agustus lalu.