Cegah Pelajar Terlibat Aksi Massa dengan Diskusi Terbuka
Karakter remaja secara umum mudah bertindak gegabah dan terpancing emosinya. Orangtua dan guru harus membuka ruang diskusi agar remaja dapat bertindak dengan tepat.
JAKARTA, KOMPAS — Rasa penasaran, keinginan untuk ikut serta dalam keramaian, dan sikap kritis terhadap isu menjadi alasan bagi pelajar untuk turut serta dalam aksi unjuk rasa. Padahal, status mereka adalah warga negara yang harus dilindungi dan belum boleh mengikuti aksi politik. Oleh sebab itu, orangtua dan guru perlu membuka ruang diskusi dengan pelajar, dan juga memberi berbagai alternatif untuk mengekspresikan pendapat.
Pelajar dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak merupakan kelompok warga negara yang harus dilindungi. Apalagi, mayoritas pelajar berusia di bawah 18 tahun yang artinya berstatus anak-anak. Mereka sama sekali tidak boleh dilibatkan di dalam politik praktis atau pun kegiatan politik apa pun.
Cara terbaik adalah menjelaskan kepada anak secara apa adanya mengenai risiko jika mereka nekat mengikuti aksi massal. "Namun, juga penting untuk menyediakan alternatif penyaluran ekspresi. Setelah menjelaskan kepada siswa alasan mereka tidak bisa ikut demonstrasi, tanyakan kira-kira aksi apa yang bisa mereka lakukan tanpa membahayakan diri sendiri dan teman-teman," kata dosen Psikologi Perkembangan Anak Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Yohana Ratrin Hestiyanti di Jakarta, Minggu (29/9/2019).
Cara terbaik adalah menjelaskan kepada anak secara apa adanya mengenai risiko jika mereka nekat mengikuti aksi massal.
Guru dan orangtua bisa mengusulkan beberapa pilihan. Misalnya membuat lomba esai, video, atau karya-karya lainnya yang mengekspresikan akibat dari isu tersebut kepada masyarakat. Bisa pula mengadakan diskusi terbuka di sekolah yang mengundang berbagai pakar, termasuk perwakilan mahasiswa untuk membahas isu secara mendalam. Bahkan, siswa juga bisa mengundang media untuk mempublikasi pernyataan sikap mereka.
Berkembang
Yohana mengatakan, dalam tumbuh kembang otak anak, bagian limbik yang mengatur emosi dan perubahan hormonal tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan prefrontal yang mengatur penalaran. Hal ini mengakibatkan remaja mudah bertindak gegabah dan terpancing emosinya.
Fakta ini membuat remaja rentan digerakkan oleh pihak tidak bertanggung jawab karena pola pikir remaja ialah langsung beraksi tanpa memikirkan konsekuensi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia melalui rilis tanggal 25 September mengatakan ada 14 siswa yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Laut Mintohardjo akibat mengikuti aksi unjuk rasa, ada juga yang dirawat di RS Pelni. Sementara itu, di Wamena, Papua, tiga siswa menderita luka bakar akibat dianiaya karena tidak mau mengikuti kerusuhan massal (Kompas, 28 September 2019)
Remaja rentan digerakkan oleh pihak tidak bertanggung jawab karena pola pikir remaja ialah langsung beraksi tanpa memikirkan konsekuensi.
"Mayoritas pelajar mendengar isu politik secara simpang siur, lebih banyak dari media sosial. Alasan mereka ingin terlibat aksi politik seperti unjuk rasa juga lebih karena ikut-ikutan," ujar Yohana.
Ia menjelaskan, apabila ada isu sosial yang besar seperti aksi protes mahasiswa terkait penolakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, dan beberapa RUU lainnya, sekolah dan orangtua harus mengadakan dialog dengan siswa.
Pertama, tanyakan hal-hal yang diketahui siswa mengenai isu tersebut. Kesempatan ini sangat penting bagi guru dan orangtua meluruskan informasi yang keliru, mendudukkan perkara, dan mengajak siswa merujuk ke sumber akurat seperti media massa.
Kedua, setelah mengetahui fakta, tanyakan kepada siswa pendapat mereka mengenai isu tersebut, termasuk apa yang ingin mereka lakukan untuk mengemukakan ekspresi. Jika siswa mengatakan ingin turun ke jalan dan melakukan unjuk rasa, jelaskan posisi mereka di dalam hukum sebagai warga negara dilindungi.
"Penting bagi siswa mengetahui bahwa pihak yang mengajak pelajar berunjuk rasa tidak memedulikan kepentingan mereka karena justru menempatkan pelajar ke berbagai risiko berbahaya. Selalu ada kemungkinan ricuh di aksi massa dan anak-anak secara hukum ditegaskan tidak boleh dipaparkan le situasi ini," ujar Yohana.
Penting bagi siswa mengetahui bahwa pihak yang mengajak pelajar berunjuk rasa tidak memedulikan kepentingan mereka karena justru menempatkan pelajar ke berbagai risiko berbahaya.
Surat edaran
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada Jumat, 27 September 2019 menjenguk AB, siswa salah satu SMP negeri di Jakarta, dan MFA, siswa salah satu SMK swasta di Jakarta. Keduanya dirawat karena terluka ketika mengikuti unjuk rasa di depan kompleks DPR. AB mengaku diajak oleh teman untuk melihat aksi massa itu, sementara MFA membaca di media sosial ajakan agar turut ke jalan. Keduanya pergi tanpa sepengetahuan orangtua dan guru.
"Penting sekali bagi guru dan orangtua mewanti-wanti siswa jauh sebelum aksi massa terjadi melalui diskusi di kelas. Pengawasan kegiatan siswa termasuk di komunikasi media sosial juga ditingkatkan," ujarnya. Ia juga berharap agar pihak yang menggerakkan pelajar segera diproses secara hukum.
Merespon maraknya ajakan dan hasutan kepada siswa untuk mengikuti unjuk rasa di jalan, Mendikbud menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik Dalam Aksi Unjuk Rasa Berpotensi Kekerasan. Di dalam surat edaran tertanggal 27 September 2019 tersebut ada arahan kepada guru, komite sekolah, OSIS, dan kepala daerah untuk memastikan ada diskusi kritis mengenai isu-isu sosial guna mendudukkan perkara dan mencegah siswa turun ke jalan.
Muhadjir meminta kepala daerah beserta segenap jajaran, khususnya kepala dinas pendidikan agar melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan. Pertama, memastikan pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru untuk dapat memantau, mengawasi, serta menjaga keamanan dan keselamatan peserta didik di dalam dan di luar lingkungan sekolah. Kemudian menjalin kerja sama dengan orangtua/wali murid untuk memastikan anak-anak mengikuti proses pembelajaran sesuai ketentuan.
"Siswa itu masih tanggung jawab guru dan orangtua, karena menurut undang-undang statusnya masih sebagai warga negara yang dilindungi. Belum dewasa, belum bisa mengambil keputusannya sendiri," kata Muhadjir.