Boris Johnson Tolak Mundur sebagai Perdana Menteri
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menolak untuk mundur dari jabatannya dan berjanji untuk mewujudkan Brexit sesuai tenggat waktu.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
MANCHESTER, SENIN - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menolak untuk mundur dari jabatannya dan berjanji untuk mewujudkan Brexit sesuai tenggat waktu. Untuk memenuhi janji itu, Johnson harus mampu mengelak dari undang-undang yang mewajibkan perpanjangan negosiasi dengan Uni Eropa.
Baru-baru ini, Parlemen Inggris meloloskan sebuah UU yang mewajibkan PM Inggris mengupayakan perpanjangan negosiasi hingga akhir Januari 2020 jika Inggris dan UE masih tidak sepakat mengenai Brexit. Brexit mengacu pada perjanjian keluarnya Inggris dari UE yang bertenggat waktu pada 31 Oktober 2019.
Johnson menghadapi ancaman pelanggaran hukum jika tidak mematuhi UU itu. Sejauh ini, ia belum menjawab mengenai strategi yang akan diambil. Namun, ia menyatakan tidak akan mengundurkan diri untuk menghindari UU itu.
“Saya telah berjanji untuk memimpin partai dan negara saya pada waktu yang sulit dan saya akan terus melakukan itu. Saya percaya itu adalah tanggung jawab saya,” ujar Johnson dalam pembukaan konferensi tahunan Partai Konservatif di Manchester, Inggris, Minggu (29/9/2019).
Johnson bersikeras agar Brexit terwujud sesuai dengan tenggat waktu yang disepakati meskipun tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun Inggris segera bertemu dengan UE terkait Brexit dalam KTT UE pada 17-18 Oktober 2019.
"Orang-orang dapat melihat negara ini sedang mendekati momen pilihan yang penting, kami harus maju dan mewujudkan Brexit pada tanggal 31 Oktober. Saya akan melanjutkan dan melakukannya,” kata Johnson.
Menteri Keuangan Inggris Sajid Javid menyampaikan, Pemerintah Inggris tentunya akan mematuhi semua hukum yang berlaku. Namun, UU yang mewajibkan PM Inggris meminta penundaan Brexit sedang dikaji.
“Tentu saja, setiap pemerintah harus mematuhi semua undang-undang setiap saat. Kami memperhatikan UU itu dengan saksama, tetapi sangat jelas bahwa kebijakan kami tidak berubah, Inggris akan keluar pada 31 Oktober,” ucap Javid, tanpa merinci strategi pemerintah jika Inggris keluar tanpa kesepakatan.
Perdana Menteri Finlandia Antti Rinne mengatakan, Inggris kehabisan waktu untuk mengajukan proposal Brexit yang baru. Adapun Finlandia tengah memegang jabatan Presiden Dewan Uni Eropa.
“Pilihan terbaik bagi Inggris untuk keluar secara teratur adalah dengan menggunakan perjanjian yang telah dinegosiasikan (pada masa jabatan mantan PM Inggris Theresa May), tetapi ditolak oleh pemerintahan Inggris saat ini,” kata Rinne di Prague, Senin (30/9/2019).
Terdapat sejumlah poin yang masih mengganjal bagi pemerintah Inggris dalam Perjanjian Penarikan Diri Inggris. Salah satunya adalah komoditas bebas melewati perbatasan Irlandia Utara yang menjadi wilayah Inggris dan Republik Irlandia yang merupakan anggota UE. Johnson berpendapat, kemerdekaan ekonomi Inggris akan terdampak.
PM Inggris yang sebelumnya menjabat, Theresa May, mengundurkan diri pada 24 Juli 2019. May ditekan untuk mundur setelah tiga kali gagal mengajukan proposal Brexit kepada parlemen.
Tetap optimistis
Menteri Urusan Perencanaan Brexit Tanpa Kesepakatan Inggris, Michael Gove tetap menunjukkan rasa optimistis Brexit akan tetap terwujud. Menurut dia, Pemerintah Inggris tahu skema kemungkinan kesepakatan yang bisa diambil.
“Proposal pemerintah untuk kesepakatan akan sangat berbeda dari perjanjian yang dinegosiasikan oleh mantan PM Theresa May. Masih ada waktu untuk bernegosiasi dengan UE dan pemerintah dapat menandatangani perjanjian itu dalam KTT di Brussels pada 17-18 Oktober. Jika tidak, perundingan akan dilakukan melalui pesan,” kata Gove.
Sejumlah pebisnis berpendapat, waktu semakin mepet untuk meraih kesepakatan agar Inggris tidak keluar dari UE dengan kacau. Brexit yang kacau dapat merusak perekonomian dan memicu resesi di Inggris. (Reuters/AP)