Membaca menjadi langkah awal untuk menuju gerbang peradaban. Sejarah mencatat, perubahan besar pada suatu bangsa sering kali diawali dengan bangkitnya semangat untuk membaca.
Oleh
DEDY AFRIANTO
·6 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Anak membaca buku saat berlangsung penyerahan Mobil Perpustakaan Keliling Kompas Gramedia kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di halaman Pemkot Surabaya, Senin (28/5/2018). Mobil perpustakaan dengan jumlah koleksi buku mencapai 700 buah tersebut diharapkan membantu Pemkot Surabaya meningkatkan budaya literasi warga khususnya anak-anak.
Membaca menjadi langkah awal untuk menuju gerbang peradaban. Sejarah mencatat, perubahan besar pada suatu bangsa sering kali diawali dengan bangkitnya semangat untuk membaca. Bagi bangsa Indonesia, membangun peradaban dari budaya membaca menjadi tantangan di tengah rendahnya minat baca masyarakat.
Sejarah peradaban dunia membuktikan pentingnya budaya membaca. Dengan membaca, muncul kalangan terpelajar yang mampu menjadi cikal bakal perubahan besar suatu negara. Jika buku menjadi pintu yang dapat mengantarkan pembaca ke berbagai tujuan intelektual, membaca ibarat jalan atau cara untuk membuka pintu tersebut.
Salah satu negara bangsa yang mencapai peradaban maju dengan bermodalkan kuatnya budaya membaca adalah Jepang. Di balik peradaban yang sangat maju, Jepang telah memupuk kebiasaan membaca masyarakatnya sejak beberapa abad silam.
Budaya membaca telah dipupuk dalam pendidikan bangsa Jepang sejak mereka menerapkan politik sakoku atau politik isolasi pada masa pemerintahan Tokugawa. Sejak awal abad ke-17, pendidikan telah diberikan untuk kalangan samurai hingga rakyat biasa.
Salah satu negara bangsa yang mencapai peradaban maju dengan bermodalkan kuatnya budaya membaca adalah Jepang.
Bagi rakyat biasa, pendidikan diberikan melalui terakoya atau sekolah-sekolah kuil. Pendidikan yang diberikan saat itu adalah membaca, menulis, dan berhitung. Hal ini menjadi modal bagi Jepang untuk membangun peradaban manusia meskipun saat itu menutup diri dari negara lain.
Upaya ini membuahkan hasil melek huruf massal. Menurut sejarawan dari Harvard University, Edwin O Reischauer dalam bukunya, The Japanese, hingga pertengahan abad ke-19, diperkirakan sekitar 45 persen laki-laki dan 15 persen perempuan di Jepang telah melek huruf. Jepang saat itu mulai menyejajarkan diri dengan negara-negara barat yang telah maju dalam hal tingkat melek huruf.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Kereta super cepat shinkansen bersiap untuk berangkat dari Stasiun Tokyo, beberapa waktu lalu. Shinkansen adalah kereta berkecepatan sekitar 320 km per jam yang menjadi salah satu andalan orang Jepang. Tiket menaikinya sekitar belasan yen sekali jalan.
Saat memasuki era keterbukaan pada masa pemerintahan Meiji di pertengahan abad ke-19 (restorasi Meiji), upaya untuk meningkatkan semangat membaca terus dilakukan oleh Jepang. Bahkan, Jepang mulai membentuk Kementerian Pendidikan pada 1871. Hasilnya, pada 1907, semua anak-anak di Jepang akhirnya masuk ke dalam sistem pendidikan formal (Reischauer, 1977).
Upaya yang telah dilakukan oleh Jepang sejak beberapa abad silam kini terbukti efektif untuk meningkatkan budaya membaca di negara tersebut. Jepang pun secara perlahan masuk ke gerbang peradaban yang berkembang pesat dibandingkan negara lainnya.
Saat ini, Jepang dikenal sebagai bangsa pembaca yang tekun dan ulet. Bahkan, menurut Central Connecticut State University dari Amerika Serikat, pada 2016 Jepang menjadi salah satu negara dengan tingkat literasi tertinggi di Asia.
Tingginya minat baca masyarakat Jepang ternyata juga berbanding lurus dengan kemajuan yang dialami oleh Jepang. Kemajuan ini salah satunya terlihat dari tingginya produk domestik bruto (PDB) per kapita Jepang pada 2016 yang mencapai 38.972 dollar Amerika Serikat. PDB per kapita ini 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia pada tahun yang sama.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga membaca koran yang disediakaan di Perpustakaan Kota yang ada di Taman Trunojoyo, Kota Malang, Minggu (19/5/2019). Keberadaan perpustakaan di ruang publik bertujuan untuk meningkatkan budaya literasi khususnya bagi generasi muda.
Literasi Indonesia
Jika Jepang memasuki peradaban maju melalui membaca, hal yang sama juga dialami oleh Indonesia. Kesadaran sebagai sebuah bangsa tak lepas dari tingginya minat para pendiri negeri ini terhadap buku bacaan.
Salah satunya adalah Soekarno yang memiliki minat baca sejak masih duduk di sekolah menengah, Hogere Burger School, di Surabaya. Masa ini kemudian menjadi awal mula perkenalan Soekarno muda dengan buku karya-karya pemikir dunia, seperti Mahatma Gandhi hingga Jacques Rousseau.
Soekarno bahkan pernah menukar buku karangannya berjudul Under the Banner of the Revolution dan Indonesia Accuses untuk mendapatkan buku karya Presiden pertama Ghana, Kwame Nkrumah, yang berjudul Neo-Colonialism. Hobi membaca ini menjadikan Soekarno sebagai kolektor buku. Diperkirakan terdapat sekitar 5.000 buku yang dikoleksi oleh Soekarno (Sukarnoputra, 1981).
Jika tidak memiliki minat baca, mungkin Soekarno tak akan mengeluarkan berbagai gagasannya, seperti sosialisme, marhaenisme, hingga nasionalisme.
Melalui buku-buku inilah Soekarno larut dalam gagasan para pemikir dunia. Hal ini menjadi modal bagi Soekarno untuk melahirkan inspirasi terhadap persatuan sebuah bangsa. Bisa dibayangkan, jika tidak memiliki minat baca, mungkin Soekarno tak akan mengeluarkan berbagai gagasannya, seperti sosialisme, marhaenisme, hingga nasionalisme.
Minat baca
Sejarah telah menuliskan bahwa membaca dapat membawa perubahan yang besar bagi sebuah negara. Bagi Indonesia, budaya membaca perlu dipupuk sebagai modal untuk menuju peradaban yang lebih maju. Hanya membentuk kebiasaan membaca menjadi tantangan tersendiri bagi negeri ini di tengah rendahnya minat baca di kalangan masyarakat.
Rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia terlihat dari minimnya minat masyarakat dalam membaca buku. UNESCO mencatat, pada 2012, minat baca orang Indonesia hanya mencapai 0,001. Artinya, dari 1.000 orang penduduk, hanya satu orang penduduk yang memiliki minat baca yang tinggi.
Rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia juga terekam dalam survei yang dirilis oleh Central Connecticut State University dari Amerika Serikat pada 2016. Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari total 61 negara. Tingkat literasi di Indonesia bahkan masih kalah dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia dan Thailand.
Rendahnya tingkat literasi masyarakat berbanding lurus dengan sejumlah persoalan pada sarana dan prasarana untuk meningkatkan semangat membaca, salah satunya adalah masih sedikitnya jumlah perpustakaan di Indonesia. Perpustakaan Nasional mencatat, dari total 83.931 desa atau kelurahan di Indonesia, hanya terdapat 636 perpustakaan. Artinya, hanya 0,8 persen desa atau kelurahan di Indonesia yang memiliki perpustakaan umum.
Kekurangan perpustakaan juga masih terjadi pada jenjang pendidikan formal. Hingga tahun ajaran 2017/2018 lalu, terdapat 70.116 sekolah di Indonesia yang belum memiliki perpustakaan. Jumlah ini setara dengan 33 persen dari total sekolah yang ada di Indonesia.
Kesejahteraan
Rendahnya minat baca masyarakat menjadi lampu kuning bagi Indonesia. Jika hal ini dibiarkan, Indonesia akan sulit untuk menuju peradaban yang lebih maju dalam waktu yang singkat.
Melihat kondisi negara-negara lain, tinggi-rendahnya tingkat literasi ternyata berbanding lurus dengan tingkat kemajuan dan kesejahteraan negara tersebut. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari PDB per kapita. Semakin tinggi tingkat literasi suatu negara, ternyata semakin tinggi pula PDB per kapita negara tersebut.
Menurut data dari Bank Dunia, rata-rata PDB per kapita di lima negara dengan tingkat literasi tertinggi mencapai 56.455 dolar Amerika pada 2016. PDB per kapita ini sepuluh kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan lima negara dengan tingkat literasi terendah berdasarkan rilis dari Central Connecticut State University.
Melihat kondisi negara-negara lain, tinggi-rendahnya tingkat literasi ternyata berbanding lurus dengan tingkat kemajuan dan kesejahteraan negara tersebut.
Salah satu negara dengan tingkat literasi yang tertinggi adalah Norwegia. Negara yang terletak di Semenanjung Skandinavia ini merupakan negara dengan tingkat literasi tertinggi kedua dari 61 negara yang disurvei. Pada tahun yang sama, PDB per kapita Norwegia mencapai 70.941 dollar Amerika. PDB per kapita ini 12 kali lebih tinggi jika dibandingkan negara-negara dengan tingkat literasi terendah seperti Kolombia dan Thailand.
Sementara negara dengan tingkat literasi rendah memiliki PDB per kapita yang jauh lebih rendah. Indonesia, misalnya, PDB per kapita pada 2016 mencapai 3.568 dollar Amerika Serikat. Sementara PDB per kapita Thailand mencapai 5.979 dolar Amerika.
Memang, membaca tidak memiliki kaitan sebab-akibat langsung dengan tinggi atau rendahnya pendapatan. Namun, budaya membaca dapat meningkatkan wawasan individu yang berimplikasi pada upaya kemajuan suatu masyarakat. Hal ini telah dibuktikan oleh beberapa negara, seperti Jepang, Finlandia, hingga Swedia.
Tentu, Indonesia perlu lebih gencar mengampanyekan gerakan literasi pada berbagai momen, salah satunya saat peringatan hari buku nasional yang diperingati setiap tanggal 17 Mei. Belajar dari Jepang, butuh waktu hingga beberapa abad untuk membentuk budaya membaca masyarakat. Upaya ini secara perlahan harus dilakukan oleh Indonesia agar tak terjebak pada penjara ilmu pengetahuan. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas).