Tahun 1970-1980, ketika nyaris sebagian besar media di Indonesia dipenuhi foto-foto seremonial politisi-politisi Orde Baru, tiba-tiba muncul gambar-gambar komik di sejumlah majalah.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Tahun 1970-1980, ketika nyaris sebagian besar media di Indonesia dipenuhi foto-foto seremonial politisi-politisi Orde Baru, tiba-tiba muncul gambar-gambar komik di sejumlah majalah. Pada saat itu, komik masih dianggap sebagai berhala karena penuh kekerasan dan eksploitasi sehingga dianggap merusak pikiran anak muda.
Stigma buruk terhadap komik ternyata sudah berlangsung lama. Tahun 1954 bahkan sempat muncul gelombang protes terhadap komik di Indonesia dan Amerika Serikat karena komik dianggap merusak pikiran anak-anak muda.
Pada masa itu, tokoh-tokoh besar sastra ataupun akademisi pun beranggapan sampai kapan pun komik tak akan masuk dalam deretan bacaan baik. Menariknya, di tengah labelisasi terhadap komik yang kian parah, muncul Arswendo Atmowiloto yang justru menurunkan lima tulisan serial berjudul ”Komik Itu Baik” di harian Kompas pada 10-15 Agustus 1979.
Di tengah labelisasi terhadap komik yang kian parah, Arswendo Atmowiloto justru menurunkan lima tulisan serial berjudul ”Komik Itu Baik” di harian Kompas pada 10-15 Agustus 1979.
”Ia mencoba membuktikan bahwa komik itu baik dengan rangkaian berurutan tersebut. Sampai tahun 1982, Arswendo memperkenalkan komik di Indonesia. Betapa komik-komik itu dapat dibaca dengan canggih olehnya, kemudian membuka kajian-kajian selanjutnya tentang komik,” kata Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Seno Gumira Ajidarma, Sabtu (28/9/2019), dalam diskusi ”Komik Itu Baik” yang merupakan rangkaian dari Festival Cergam ”Komik Itu Baik” Tribute untuk Arswendo Atmowiloto di Galeri Dia.lo.gue, Jakarta. Pameran ini digelar mulai 28 September hingga 20 Oktober 2019.
Di harian Kompas, Arswendo mengupas habis bagaimana kekayaan khazanah komik atau biasa disebut pula cergam (cerita bergambar) Indonesia. Karena tulisan-tulisan itu, banyak pembaca akhirnya tergugah kenangannya. Sebagian juga mulai terbuka wawasannya tentang sejarah komik di Indonesia, mulai dari sosok Kho Wang Gie, pencipta komik setrip pertama di Indonesia berjudul Put On; sosok para maestro komik, seperti Ganes TH, Jan Mintaraga, Teguh Santosa; juga tokoh-tokoh komik Medan, seperti Taguan Harjo, Zam Nuldyn, Djas, hingga Bahzar.
Selama menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Hai, Arswendo mengundang para maestro komik dan biasa untuk membuat komik-komik pendek di majalahnya. Karena itulah, muncul komik-komik Ganes TH, Jan Mintaraga, Wid NS, hingga Hasmi yang konon beberapa ceritanya digubah sendiri oleh Arswendo dan kemudian baru digambar oleh para komikus tersebut.
Selama menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Hai, Arswendo mengundang para maestro komik dan biasa untuk membuat komik-komik pendek di majalahnya.
Seminar dan pameran komik pertama
Tulisan-tulisan Arswendo akhirnya menginspirasi digelarnya seminar dan pameran komik yang menurut Seno baru terjadi pertama kali di Indonesia pada 1981 di Gedung Seni Sono, Yogyakarta. Penggagas acara itu tak lain adalah Seno.
”Teks-teks komik yang muncul waktu itu sangat canggih, kemampuan Arswendo luar biasa sehingga saya sampai berpikir mesti ada seminar komik. Saya kemudian mengundang Arswendo sebagai pembicara utama dan beberapa pembicara pembanding, antara lain Permadi dan Ashadi Siregar. Perumus seminar ini tidak sembarangan, yaitu Kuntowijoyo yang saat itu baru saja lulus (phD) dari Universitas Kolombia,” ujarnya.
Pada waktu itu, semua komikus dan seniman diundang. Setiap komikus mengirimkan gambar-gambar berukuran besar yang semuanya adalah gambar-gambar asli, termasuk seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ”ASRI” (sekarang Institut Seni Indonesia Yogyakarta), Butet Kertaradjasa.
Seminar pertama komik di Indonesia tersebut seperti sebuah upaya para komikus untuk memperjuangkan nasib karena komik Indonesia saat itu benar-benar terpuruk. Mereka bahkan sampai tidur di Seni Sono.
”Arswendo terus-menerus menulis. Dia mencatat hampir semua gejala komik. Arswendo menjalankan tugas dengan sangat baik, sebagai intellectual public. Saya bersyukur karena dari dialah saya terkena ’racun’. Saya kemudian menulis komik dan membuat disertasi komik. Seluruh tulisan Arswendo-lah yang selama ini menjadi buku wasiat saya saat menulis,” ungkap doktor pertama di bidang komik di Indonesia ini. Pada 2005, Seno berhasil mempertahankan disertasinya tentang komik Panji Tengkorak karya Hans Djaladara.
Arswendo terus-menerus menulis. Dia mencatat hampir semua gejala komik. Arswendo menjalankan tugas dengan sangat baik sebagai intellectual public.
Penulis skenario Salman Aristo mengungkapkan, stigma buruk terhadap komik dulu sempat membuat dirinya takut membawa dan membaca komik ke rumah. Hal yang mengejutkan, justru begitu dirinya masuk ke industri film, kisah-kisah dan pengaruh komik itu yang memperkaya wacana di benaknya.
Moderator diskusi yang juga pakar komik, Hikmat Darmawan, menambahkan, dengan segala kekayaannya selama ini, Indonesia belum masuk dalam peta komik ensiklopedia dunia. ”Sampai sekarang kita mencoba memanfaatkan teknologi untuk mendapat informasi-informasi sejarah komik Indonesia yang bisa menjadi data bersama. Tahun lalu, kami sempat berpameran dalam ajang Europalia di Belgia. Itulah pertama kalinya ada komik Indonesia di Eropa,” katanya.