Pelari Kenya, Ruth Chepngetich, jadi atlet pertama yang meraih emas nomor maraton yang digelar malam hingga dini hari di Doha, Qatar, Jumat (27/9/2019) waktu setempat. Ia mampu menyesuaikan diri dengan cuaca setempat.
Oleh
Korano Nicolash LMS
·3 menit baca
Nama Ruth Chepngetich dari Kenya akan tercatat dalam sejarah Kejuaraan Atletik Dunia IAAF. Pelari perempuan itu mampu menjadi atlet tercepat dalam nomor maraton 42,195 kilometer yang digelar tengah malam. Penyelenggaraan ini dilakukan untuk menyiasati panasnya suhu udara siang di Doha, Qatar.
Chepngetich mampu mengakhiri laga dengan catatan waktu 2 jam 32 menit 43 detik. Dia tercatat sebagai atlet pertama yang memenangi Kejuaraan Atletik Dunia IAAF 2019 Doha yang berakhir nyaris pukul 04.00, Sabtu (28/9/2019) dini hari waktu Doha. Kemenangan ini mengejutkan bagi sebagian kalangan sebab atlet Kenya berusia 25 tahun ini sebenarnya atlet dengan waktu ketiga tercepat di dunia.
Pada laga di Maraton Dubai, 25 Januari lalu, Chepngetich mampu menyelesaikan 42,195 km dengan waktu 2 jam 17 menit 8 detik. Catatan ini di bawah Mary Jepkosgei Keitany, pelari sesama Kenya yang mampu mengakhiri laga di London pada 2017 dengan 2 jam 17 menit 1 detik.
Akan tetapi, Dubai berbeda dari Doha, dengan masalah ketahanan menjadi yang utama daripada kecepatan saat berlomba menuju garis finis. Sebab, sekalipun perlombaannya digelar pada tengah malam, tetap saja suhu udara secara resmi diperkirakan 30 derajat celsius hingga 32,7 derajat celsius. Diikuti dengan kelembaban yang mencapai 73 persen.
”Saya merasa baik-baik saja. Saya merasa senang dan saya berterima kasih kepada Tuhan karena telah memberikan kemenangan kepada saya,” ucap Chepngetich kepada wartawan, seperti dikutip iaaf.org.
Ketika ditanya apakah dirinya mampu meraih podium utama di Olimpiade Tokyo 2020, Chepngetich mengatakan, ”Saya akan mencoba yang terbaik.”
Chepngetich musim ini sudah mengumpulkan tiga medali emas dari kejuaraan half marathon di Istanbul, Turki, kemudian Gifu, Jepang, dan di Bogota, Kolombia.
Sementara juara bertahan pada nomor ini, Rose Chelimo dari Bahrain, justru harus puas dengan medali perak setelah menyelesaikan tujuh putaran terakhir di Stadion Internasional Khafila untuk menyelesaikan 42,195 km dengan waktu 2 jam 33 menit 46 detik. Meskipun meraih medali perak, ini merupakan waktu terburuk bagi Chelimo (30) yang waktu terbaiknya 2 jam 24 menit 14 detik.
Juara Persemakmuran di Gold Coast, Australia, asal Namibia, Helalia Johannes, masih menjadi pesaing ketat setelah mampu mengklaim posisi ketiga untuk dirinya. Ia mencapai finis dengan waktu 2 jam 34 menit 15 detik.
Keberhasilan Helalia Johannes (39) justru menjadi titik awal dari kegagalan Edna Ngeringwony Kiplagat, sang juara dunia 2011 Daegu, Korea Selatan, dan juara dunia Moskwa 2013. Kiplagat yang 15 September lalu genap berusia 40 tahun hanya bisa berada di urutan keempat dengan waktu 2 jam 35 menit 36 detik.
Namun, dari kegagalannya meraih podium, Kiplagat tetap mendapatkan keberuntungan. Sebab, catatan waktunya tersebut sama dengan syarat untuk bisa tampil di Olimpiade Tokyo 2020. Itu artinya, Kiplagat masih memiliki kesempatan untuk membuktikan dirinya di Tokyo tahun depan.
Dari 68 starter yang bertarung, sebanyak 23 atlet gagal menyelesaikan pertarungan. Salah satu kejutan besar adalah ketiga atlet Etiopia keluar sebelum pertarungan mencapai separuh jalan.
Ruti Aga yang musim ini memiliki waktu terbaik 2 jam 20 menit 40 detik serta Roza Dereje dengan waktu 2 jam 20 menit 51 detik justru masing-masing berada di urutan ketiga dan keempat entry lists IAAF untuk nomor maraton ini. Wakil ketiga Etiopia, Shure Demise, pada musim ini memiliki waktu mencapai 2 jam 21 menit 5 detik. Demise pun meninggalkan lintasan sebelum mencapai separuh pertarungan.
Sementara itu, peserta tunggal asal Israel, Lonah Salpeter (30), sempat memperlihatkan penampilan terbaiknya. Juara 10.000 meter Kejuaraan Eropa di Berlin, Jerman, musim panas lalu, ini berada di kelompok utama. Namun, kemudian Lonah Salpeter mengundurkan diri di antara kilometer 31 dan 32. Siapa yang mampu beradaptasi dengan kondisi setempatlah yang dapat mengakhiri pertandingan.