Lomba maraton pada Kejuaraan Dunia Atletik 2019 menjadi ujian fisik dan mental pelari dunia karena berlangsung dalam udara panas dan lembab. Banyak pelari yang terkuras tenaganya dan tidak menyelesaikan lomba.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·3 menit baca
DOHA, SABTU — Pelari putri asal Kenya, Ruth Chepngetich, membuktikan ketangguhannya dengan menjuarai maraton putri Kejuaraan Dunia Atletik 2019 di Doha, Qatar, Sabtu (28/9/2019). Namun, sejatinya, semua peserta yang berhasil finis juga layak disebut pemenang. Itu karena menyelesaikan perlombaan tersebut tidak mudah mengingat persaingan berlangsung dalam udara yang panas dan pengap di daerah gurun.
”Mereka yang menang, mereka adalah pahlawan. Mereka yang finis, saya katakan mereka kuat. Bahkan, mereka yang tidak finis, mereka juga kuat. Mereka sudah mencoba melakukan yang terbaik,” ujar pelari asal Israel, Lonah Chemtai Salpeter, yang akhirnya tidak menyelesaikan perlombaan, dikutip USA Today.
Sebanyak 68 pelari putri berpartisipasi pada perlombaan yang berlangsung enam putaran 7 kilometer di kawasan Corniche, Doha. Perlombaan dimulai Jumat pukul 23.59 waktu setempat untuk mengantisipasi sengatan panas terik khas cuaca gurun pasir di kawasan Doha. Keputusan itu menjadikan perlombaan tersebut sebagai maraton pertama yang digelar tengah malam.
Namun, sayangnya, rekayasa jadwal perlombaan itu tidak benar-benar ampuh mengantisipasi udara panas dan lembab. Sebab, nyatanya, cuaca tengah malam di Doha tetaplah menyiksa bagi atlet, yakni bersuhu 31 derajat celsius dengan kelembaban 77 persen dan tidak ada angin.
Sepanjang lomba, mayoritas pelari tak henti mengusap dirinya dengan handuk basah ataupun kantong yang berisi es. Ada pula yang membungkus lehernya dengan handuk basah hingga menyiram sekujur tubuh dengan air dingin.
Pelari juga tidak henti minum cairan elektrolit untuk mengantisipasi dehidrasi. Ofisial tersebar di sepanjang jalur perlombaan untuk membagikan handuk basah, kantong es, air dingin, hingga minuman elektrolit.
Pelari bertumbangan
Namun, usaha panitia itu juga tak bisa sepenuhnya membantu. Terbukti, satu per satu peserta justru bertumbangan dan memilih tidak melanjutkan perlombaan. Pelari yang bertumbangan itu harus ditempatkan dengan hati-hati ke mobil golf atau kursi roda dan diangkut keluar jalur ke tenda medis.
Total, ada 28 pelari yang mengundurkan diri di tengah perlombaan. Kejutan terbesar adalah tiga pelari atau semua pelari Etiopia tidak melanjutkan perlombaan sebelum mereka melewati setengah rute.
Padahal, dua wakil Etiopia berada di urutan ketiga dan keempat dalam daftar unggulan. Mereka adalah Ruti Aga dengan catatan waktu terbaik musim ini, 2 jam 20 menit 40 detik, dan Roza Dereje dengan catatan waktu terbaik musim ini, 2 jam 20 menit 51 detik.
Pelatih maraton Etiopia, Haji Adillo Roba, menyaksikan trio atletnya berhenti dari lomba. Ia tampak tidak kecewa dengan hasil tersebut. ”Kami tidak akan pernah berlari maraton dalam kondisi seperti ini di negara kami,” katanya kepada BBC.
Bukan yang tercepat
Pada akhirnya, pelari dengan daya tahan luar biasa yang memenangi lomba. Terbukti, Chepngetich menjuarai perlombaan dengan waktu 2 jam 32 menit 43 detik. Itu bukan capaian terbaik untuk pelari berusia 25 tahun tersebut. Catatan waktu terbaiknya adalah 2 jam 17 menit 8 detik ketika meraih emas di Standard Chartered Dubai Marathon 2019 pada Januari lalu. Secara keseluruhan, itu juga menjadi kemenangan terlambat dalam kejuaraan maraton selama tiga setengah dekade terakhir.
Namun, kemenangan itu tetap disambut sukacita oleh Chepngetich. Apalagi ini emas pertamanya di Kejuaraan Dunia Atletik. Hasil tersebut pun bisa menjadi modal meningkatkan kepercayaan dirinya menuju Olimpiade Tokyo 2020. ”Saya sangat senang dan berterima kasih kepada Tuhan atas kemenangan ini,” ujar pelari kelahiran 8 Agustus 1994 itu, dikutip IAAF.
Sementara itu, juara bertahan maraton Kejuaraan Dunia Atletik asal Bahrain, Ruth Chelimo, berada di urutan kedua dengan waktu 2 jam 33 menit 46 detik. Juara Commonwealth Games 2018 asal Namibia, Helalia Johannes, berada di urutan ketiga dengan waktu 2 jam 34 menit 15 detik.
”Saya tidak berharap untuk menjadi peraih medali dalam kondisi sulit seperti itu,” kata Chelimo. (AFP/AP)