Dandhy Dikriminalisasi karena Klarifikasi Informasi
Sejumlah kalangan menyayangkan kriminalisasi terhadap Dandhy Dwi Laksono yang berupaya mengklarifikasi informasi terhadap peristiwa yang terjadi di Papua.
Sejumlah kalangan mengecam kriminalisasi terhadap Dandhy Dwi Laksono yang berupaya mengklarifikasi informasi terhadap peristiwa yang terjadi di Papua.
JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan jurnalis sekaligus pendiri WatchdoC, Dandhy Dwi Laksono, Kamis (26/9/2019), pukul 22.45, di rumahnya merupakan buntut dari unggahannya di Twitter tentang jatuhnya korban jiwa dan luka di Papua 23 September 2019. Dandhy dikriminalisasi justru karena ia mencoba mengklarifikasi informasi.
Ada dua unggahan Dandhy di Twitter yang dipersoalkan penyidik Polda Metro Jaya saat melakukan pemeriksaan selama lima jam, Kamis hingga Jumat (26-27/9/2019) dini hari di Polda Metro Jaya. Unggahan pertama berupa foto dua korban luka tembak, satu orang tewas dan satu orang lagi terluka.
Karena dua unggahan itu, Dandhy ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan Pasal 28 Ayat (2) dan Pasal 45 A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Setelah menjawab 14 pertanyaan dan 44 pertanyaan turunan dari penyidik Polda Metro Jaya, Dandhy dibebaskan pukul 03.45. Meski tidak ditahan, ia ditetapkan sebagai tersangka pasal ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok.
”Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas,” demikian keterangan pada foto pertama dengan lokasi Jayapura yang diunggah Dandhy.
Berikutnya, pada foto kedua dengan keterangan tempat Wamena, Dandhy menulis keterangan: Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.
Pada hari yang sama, Dandhy juga mengunggah dua foto lagi dengan dua lokasi yang sama, yaitu Jayapura (foto 1) dan Wamena (foto 2). ”Peristiwa di Jayapura (foto 1) dan Wamena (foto 2) hari ini menunjukkan bahwa di Papua tampaknya hanya berlaku satu cara untuk mengatasi segala masalah, yaitu kekerasan. Di Papua risiko menyampaikan aspirasi bukan dipanggil rektor, tapi mati atau luka tembak. Sampai kapan?” tulisnya.
Alasan utamanya mengunggah foto-foto lengkap dengan keterangan adalah karena pada hari itu banyak sekali foto korban penembakan di Papua berseliweran di timeline media sosialnya. Karena itulah, ia berinisiatif mengonfirmasi kebenaran foto-foto tersebut kepada pihak-pihak yang tepercaya.
”Waktu itu banyak sekali informasi berseliweran di media sosial dan Dandhy mencoba menjernihkan situasi dengan meminta penjelasan dan rujukan tentang kepastian foto-foto yang beredar itu kepada media-media di Papua. Dengan klarifikasi yang ia lakukan, kami masyarakat Papua sangat terbantu karena publik menjadi tahu apa sebenarnya yang terjadi di Papua,” kata Victor Mambor, jurnalis senior Papua sekaligus Pemimpin Umum Koran Jubi, Jumat (27/9/2019), di Jakarta.
Dengan klarifikasi yang ia lakukan, kami masyarakat Papua sangat terbantu karena publik menjadi tahu apa sebenarnya yang terjadi di Papua.
Membuat unggahan tentang Papua bukanlah hal baru bagi Dandhy. Dandhy sudah sangat lama melakukan hal tersebut.
”Di tengah gelapnya informasi di Papua, kita butuh orang-orang seperti Dandhy untuk memberikan konteks dan meluruskan apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Jika tindakan-tindakan seperti ini justru dipersalahkan, maka ini wujud diskriminasi informasi tentang Papua,” ujar Victor.
Dandhy memberikan kesaksian bahwa selama ini banyak kasus jurnalis-jurnalis di Papua kesulitan melakukan peliputan. Karena itulah, setelah ia melihat banyak foto dan video anak-anak SMA berlarian, orang-orang tertembak berceceran darah, pertokoan terbakar, dan sebagainya, ia langsung tergerak melakukan klarifikasi.
”Orang kadang langsung mengirim foto dan video begitu saja tanpa cukup menyebutkan konteksnya. Justru dengan asal dibagikan, foto-foto dan video ini tidak ada maknanya kalau tidak disederhanakan alurnya. Lalu saya ambil inisiatif menyusun puzzle-puzzle ini menjadi rangkaian lima unggahan di Twitter. Saya juga minta pendapat teman-teman Papua untuk mengonfirmasinya,” paparnya.
Saya ambil inisiatif menyusun puzzle-puzzle ini menjadi rangkaian lima unggahan di Twitter. Saya juga minta pendapat teman-teman Papua untuk mengonfirmasinya.
Kriminalisasi kebebasan berekspresi
Pengacara Dandhy dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghiffari Aqsa, melihat kasus yang dikenakan terhadap Dandhy betul-betul dipaksakan. Menurut dia, kasus ini merupakan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan menyampaikan informasi.
”Tidak pernah ada pemanggilan Dandhy sebagai saksi, tetapi tiba-tiba ia langsung ditangkap pada malam hari. Karena itulah, kami meminta segera dikeluarkan SP3 (surat penghentian penyidikan perkara) terhadap kasus Dandhy serta para demonstran yang dikriminalisasi. Jangan sampai ada pembungkaman dan kriminalisasi terhadap para aktivis dan pembela hak asasi manusia,” kata Alghiffari.
Ini adalah kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan menyampaikan informasi.
Pengacara LBH Jakarta lainnya, Pratiwi Febry, beranggapan bahwa penangkapan dan penetapan Dandhy sebagai tersangka merupakan ancaman serius bagi para pembela hak asasi manusia. Menurut Pratiwi, penyidik cenderung membaca unggahan Twitter Dandhy dengan sepenggal-sepenggal sehingga salah memahami esensi maksud unggahan tersebut.
Hanya selang satu jam setelah Dandhy dibebaskan, Polda Metro Jaya kembali menangkap seorang aktivis pejuang HAM, Ananda Badudu, yang juga jurnalis anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pukul 04.55. Ananda ditangkap dan diinterogasi karena telah mentransfer sejumlah uang kepada mahasiswa yang kemudian dituduhkan penyidik sebagai indikasi bahwa ia telah melakukan provokasi aksi kekerasan mahasiswa pada unjuk rasa 24-25 September 2019.
”Ananda tergerak mengumpulkan dana dari masyarakat dengan platform crowdfunding sebagai bentuk dukungan untuk gerakan mahasiswa yang ingin mengekspresikan tuntutannya. Dengan dana itulah, logistik, alat medis, dan ambulans bisa dibagikan untuk bantuan kemanusiaan. Ketika orang melakukan sesuatu yang benar tetapi justru dikriminalisasi, maka masyarakat akan takut melakukan kebaikan ke depan,” kata Pratiwi.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Revolusi Riza mendesak kepolisian untuk segera mencabut status tersangka Dandhy karena sangkaannya tidak beralasan. Menurut catatan AJI Indonesia, seminggu terakhir ketika gelombang unjuk rasa terjadi di beberapa kota Indonesia, sudah ada 14 jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat aksi. Ironisnya, mayoritas pelakunya justru berasal dari kepolisian.
Seminggu terakhir ketika gelombang unjuk rasa terjadi di beberapa kota Indonesia, sudah ada 14 jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat aksi.
”Kami mengutuk aksi-aksi kekerasan yang terjadi selama ini. Ini semakin menguatkan tuntutan bersama tentang reformasi, khususnya reformasi di tubuh Polri. Polisi dalam beberapa waktu terakhir sering kali melampaui kewenangannya dalam menyikapi aksi-aksi masyarakat dan menyikapi wartawan ketika melakukan peliputan di lapangan,” katanya.