Di tengah polemik mengenai penanganan warga Indonesia yang menjadi militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), wacana repatriasi mereka pun bergulir. Repatriasi dinilai dapat menjadi tindakan preventif teror
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Di tengah polemik mengenai penanganan warga Indonesia yang menjadi militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), wacana repatriasi mereka pun bergulir. Repatriasi dinilai dapat menjadi tindakan preventif teror di masa depan.
Dalam Kajian Kontra Terorisme dan Kebijakan: Tantangan dan Solusi pemulangan Simpatisan ISIS oleh The Habibie Center pada 2019, sebanyak 1.580 WNI telah atau pernah mencoba berangkat ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan NIIS sejak 2014. Dari jumlah itu, sebanyak 639 WNI belum kembali ke Indonesia.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Agung Nurwijoyo mengatakan, pemulangan WNI eks NIIS bukan merupakan langkah mudah. Ditambah lagi, ada penolakan dari masyarakat dalam negeri.
“NIIS kalah besar ketika Baghouz di Suriah berhasil dikuasai milisi Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pada 2019. Kekalahan ini tidak berarti NIIS selesai, ada kemungkinan NIIS bertransformasi dalam bentuk sel kelompok teror,” kata Agung dalam diskusi Tantangan dan Solusi Pemulangan Simpatisan ISIS di Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Transformasi itu justru akan membuat otoritas berwenang semakin sulit untuk mendeteksi anggota NIIS. Mereka tidak lagi memiliki wilayah yang mudah teridentifikasi sehingga potensi serangan semakin besar.
Agung berpendapat, repatriasi dapat menjadi salah satu solusi dalam menangani WNI eks militan NIIS. Ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan, yakni perlindungan WNI oleh pemerintah, rasa kemanusiaan, dan tindakan preventif teror di masa depan.
“Berkaca pada berakhirnya Perang Afghanistan, muncul beragam bencana baru. Bom Bali 2002, misalnya, dilakukan oleh orang yang berafiliasi dengan perang di Afghanistan. Jadi, penanganan WNI eks NIIS merupakan bentuk antisipasi atas ancaman yang mungkin muncul di masa depan,” ujar Agung.
Peneliti The Habibie Center Nurina Vidya Hutagalung menuturkan, ada tiga opsi yang dapat dilakukan pemerintah, yakni menolak pemulangan, memulangkan seluruh WNI, atau memulangkan perempuan dan anak-anak lebih dulu. Opsi pertama merugikan citra Indonesia karena alasan kemanusiaan dan opsi kedua membutuhkan investasi besar.
“Memulangkan perempuan dan anak-anak di kamp pengungsian Al Hawl merupakan opsi paling masuk akal karena pemerintah menjalankan fungsi perlindungan WNI dan meminimalkan potensi ancaman keamanan. Pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan posisi yang jelas,” ujar Vidya.
Menurut dia, opsi repatriasi dapat dilakukan tanpa melanggar hukum. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 memang menyebutkan, seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan jika masuk dalam tentara asing tanpa izin Presiden RI atau bersumpah setia kepada negara atau bagian dari negara asing tersebut.
Namun, Vidya melanjutkan, status NIIS sebagai negara asing masih dapat diperdebatkan. Konvensi Montevideo menyatakan, status berdirinya sebuah negara adalah memiliki populasi permanen, wilayah tetap, pemerintahan efektif, dan hubungan dengan negara lain. Hingga saat ini, belum ada negara yang menjalin hubungan diplomatik resmi dengan NIIS.
Adapun Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita justru berpendapat, NIIS telah masuk ke dalam golongan tentara asing. Tentara asing bukan hanya tentara yang dibentuk oleh suatu negara, tetapi juga kelompok militer dengan tujuan menggulingkan pemerintahan resmi. Dengan demikian, WNI eks NIIS sebenarnya telah kehilangan kewarganegaraan secara hukum. (Opini Kompas, 3/7/2019).
Ada tiga opsi yang dapat dilakukan pemerintah, yakni menolak pemulangan, memulangkan seluruh WNI, atau memulangkan perempuan dan anak-anak lebih dulu
Kesiapan infrastruktur
Agung menyampaikan, pertimbangan repatriasi perlu melihat kesiapan infrastruktur Indonesia dalam program deradikalisasi dan deideologisasi. Kerja sama dan koordinasi lintas lembaga antara Kemenkopolhukam, Kemenkumham, Kemlu, Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88, dan Badan Intelijen Negara (BIN) sangat penting.
“Yang perlu menjadi perhatian adalah, aksi terorisme tidak bisa diselesaikan dengan pemberdayaan ekonomi saja. Dalam proses repatriasi yang dilakukan oleh Kosovo, mereka juga menyertakan peran komunitas agama sehingga berlangsung relatif lancar,” tuturnya.
Vidya menambahkan, otoritas terkait di Indonesia juga perlu membuka ruang dialog dan diskusi mengenai efektivitas program deradikalisasi yang telah berlangsung. Hal ini diperlukan untuk membangun rasa percaya masyarakat mengenai sistem dan program pemerintah.