JAKARTA, KOMPAS — Melakukan aksi protes adalah bagian dari pemelajaran mahasiswa mengenai proses berdemokrasi serta membangun pemikiran yang kritis serta berlandaskan kepedulian kepada negara. Sikap pemerintah yang mengimbau agar mahasiswa kembali ke kampus guna fokus kepada dialog dinilai terlalu mengkhawatirkan hal yang sesungguhnya sangat esensial dalam kebebasan akademik yang sehat.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir pada Kamis (26/9/2019) mengatakan agar mahasiswa segera kembali ke perguruan tinggi masing-masing. Pemerintah akan memfasilitasi mereka berdialog dengan pihak-pihak terkait seperti dari DPR pusat dan daerah, serta aspek lembaga negara lain yang terlibat.
“Tanggal 30 September para rektor se-Indonesia akan berkumpul membahas hal yang bisa dilakukan guna memfasilitasi dialog tersebut,” ucapnya.
Menambahkan hal tersebut, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemristek dan Dikti Ismunandar mengatakan mengapresiasi gerakan mahasiswa yang dilakukan secara damai dan tertib. Ia menyayangkan ada beberapa insiden yang berujung kepada tindak kekerasan. Dari segi tuntutan mahasiswa sudah dipenuhi oleh eksekutif dan legislatif. Oleh sebab itu, hendaknya mahasiswa jangan turun lagi ke jalan, melainkan melakukan dialog konstruktif.
Bagian dari akademik
Pakar hukum tata negara Universitas Airlangga Herlambang Wiratraman menuturkan, pemerintah terlalu mengkhawatirkan penunggangan aksi mahasiswa. Sejatinya, aksi ini adalah bagian dari praktik perkuliahan dan berpikir kritis. Insan akademik terikat pada tri dharma perguruan tinggi, yaitu melakukan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Aksi merupakan wujud dari pengabdian masyarakat karena mahasiswa langsung mempraktikkan hal yang sudah mereka pelajari.
“Aksi demonstrasi ini tidak anti pemerintah. Mereka mengkritisi proses pengambilan kebijakan yang abai terhadap kepentingan publik,” ujarnya.
Ia memaparkan, dalam proses berhukum tidak hanya berupa tuntas prosedural seperti penundaan pembahasan antara lain Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba. Ada proses berhukum yang melibatkan signifikansi sosial.
Aksi unjuk rasa adalah sebagai bukti bahwa kebijakan yang tengah dibahas sangat penting bagi publik. Ketika kontennya tidak mewakili aspirasi rakyat, mereka berhak memprotes karena beraksi adalah bagian dari berdialog.
Mengarahkan
Terkait dengan keterlibatan dosen dan perguruan tinggi (PT) sebagai lembaga pendidikan, Herlambang menekankan bahwa dosen juga memiliki hak ikut beraksi sebagai wujud pemikiran kritis. Wujudnya ada yang berupa pembahasan di kelas dan ada pula praktik langsung di lapangan.
“Dosen membawa mahasiswa ikut unjuk rasa bukan untuk anarkistis. Justru dalam pemelajaran itu dipaparkan mengenai tata cara berdemokrasi yang ideal sesuai kaidah demokrasi. Dosen yang tetap di kampus pun kala berdialog dengan mahasiswanya juga wajib memastikan bahwa jika mereka memutuskan untuk ke lapangan berlandaskan pemahaman dan alasan yang tepat, bukan sekadar meramaikan suasana,” jelasnya.
Jika melihat sejarah, tidak pernah ada PT yang menyebarkan imbauan agar mahasiswa ikut unjuk rasa. Oleh sebab itu, Herlambang menilai keputusan beberapa PT mengeluarkan pernyataan mereka tidak terlibat aksi sesungguhnya tidak diperlukan. PT merupakan tempat kebebasan akademik ditumbuhkembangkan, di dalamnya ada ruh untuk berekspresi dengan kritis dan sesuai jalur hukum.
“Kampus tanpa aksi akan tamat riwayatnya,” katanya.
Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Sutrisna Wibawa mengajak mahasiswa kembali ke kampus untuk mengawasi perkembangan pembahasan RUU yang dipermasalahkan sekaligus berdiskusi mengenai tambahan masukan yang hendak diberikan kepada pemerintah.
Rektor Universitas Hasanuddin Dwia Aristina Pulubuhu meminta mahasiswa menjaga situasi tetap kondusif dan tidak mengganggu hak masyarakat serta aktivitas publik. “Kami mengusulkan buka dialog di kampus,” ujarnya.