Sudirman, Dedikasi Penari Reyog Ponorogo
Menggeluti seni tradisi Reyog Ponorogo selama bertahun-tahun, membuat Sudirman (55) melahirkan banyak penari. Namun hal itu belum cukup untuk menjaga reyog tetap lestari dan menjadi bagian nyata kehidupan masyarakat. Butuh kolaborasi lebih luas lagi agar reyog semakin digandrungi.
Sebuah canting menari diatas kain mori di sore hari. Tariannya gemulai mengikuti pola gambar kepala harimau yang tengah memanggul seekor burung merak dengan hiasan bulu-bulunya yang cantik rupawan. Aroma cairan malam pun menguar memenuhi atmosfer ruangan.
Di sebuah bangku kayu, seniman lukis Guntur Sasono duduk memegang buku. Dialah pemandu ibu-ibu membatik motif baru yang sejatinya tak asing dalam kehidupan masyarakat Ponorogo yakni Singa Barong dan Dadak Merak. Hal itu karena biasanya mereka membatik motif tumbuhan seperti kembang soka (bunga soka).
Singa barong berwujud kepala harimau Jawa, sedangkan dadak merak beruwud burung merak dengan hiasan bulu-bulunya. Topeng Singa Barong memanggul Dadak Merak merupakan instrumen utama seni tari reyog yang menjadi identitas kultural masyarakat Ponorogo.
Masih di lokasi yang sama, hanya berbeda ruang, tepatnya di bagian paling depan, terdapat bangunan Joglo Paju. Di tempat itu tengah berlangsung pameran lukis batik dengan tema reyog. Pesertanya sepuluh perupa dari berbagai kota di sekitar Ponorogo, mayoritas guru kesenian.
Itulah secuil aktivitas di kediaman Sudirman di Desa Paju, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (30/9/2019). Workshop batik tulis motif reyog dan pameran lukis reyog itu sengaja digelar untuk memeriahkan Festival Budaya Bumi Reyog yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Festival budaya itu menjadi satu rangkaian dengan Perayaan Gerebeg Suro dan Peringatan Hari Jadi ke-523 Ponorogo.
Aneka workshop dan aktivitas lain itu didanai dari kocek pribadi Sudirman. ia pula yang mempromosikan kegiatan itu lewat media sosial dan jejaring lain. Meski demikian, konsep acaranya tidak asal-asalan. Sudirman secara khusus mendatangkan para pembatik dari kampung batik Sumoroto.
“Agar tidak menganggu sumber penghasilan pembatik, disediakan biaya transportasi dan honor. Apabila ada fee dari para tamu, itu bonus untuk mereka,” ujar Sudirman.
Kegiatan yang digelar Sudirman merupakan bagian dari upaya mengenalkan reyog dalam konteks yang lebih luas dari yang dikenal selama ini yakni sebagai seni tari. Dia ingin membuka pengetahuan dan wawasan masyarakat, reyog bisa diaplikasikan pada beragam media seperti batik tulis dan batik lukis.
Semakin banyak media untuk mengaplikasikan reyog, semakin mudah seni tradisi ini diterima oleh beragam kalangan masyarakat. Hal itu diharapkan mampu menjembatani upaya menjadikan reyog sebagai bagian nyata dari kehidupan warga.
Penari Jatil
Sudirman sejatinya merupakan seniman tari yang mewarisi darah seni dari orangtuanya Dono Diharjo. Ayahnya merupakan warok, tokoh sentral masyarakat lokal yang mengelola sebuah kelompok kesenian reyog. Sejak kecil dia ditempa menjadi penari jatil atau kuda-kudaan bersama kakaknya Jikun.
Tarian jatil diperankan oleh laki-laki yang menari dengan lemah gemulai. Tarian ini merepresentasikan sindiran Ki Ageng Kutu Suryangalam terhadap Raja Majapahit Brawijaya V yang disetir oleh permaisuri cantik dari Kerajaan Champa. Ki Ageng Kutu, salah satu panglima Majapahit yang memilih pergi meninggalkan kerajaan karena tidak sependapat dengan kebijakan raja yang dinilai kurang membela rakyatnya.
Selepas menempuh pendidikan sekolah menengah pertama, Sudirman melanjutkan ke sekolah pendidikan guru jurusan pendidikan guru sekolah dasar, kemudian ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surabaya mengambil jurusan seni tari. Saat itulah, dia mengenal reyog lebih dalam lagi karena mempelajari struktur gerak dan karakter tariannya secara akademik.
Perkenalan yang mendalam, rupanya membuat Sudirman semakin jatuh hati pada reyognya. Saat selesai kuliah dia pun mengaplikasikan ilmunya dengan menjadi guru seni tari di Kabupaten Pacitan selama empat tahun dan kembali ke Ponorogo hingga sekarang.
Bagi Sudirman, reyog merupakan jalan hidup. Dia merasa berutang budi karena dibesarkan oleh reyog. Untuk membalas budi tersebut, Sudirman pun bertekad menjaga atma reyog agar senantiasa menyala sepanjang masa dengan mengerahkan segala daya.
Selain fokus mengajar seni tari reyog di SMPN 1 Jetis, dia juga mengajar di berbagai sekolah di luar jam tugas. Masih sedikitnya sekolah di Ponorogo yang memiliki guru seni tari, membuat Sudirman memiliki peran yang signifikan dalam mengembangkan reyog di dunia pendidikan.
Dia sempat terlibat dalam pembuatan semacam buku panduan bahan ajar reyog untuk guru kesenian di wilayah Ponorogo. Di sekolah yang sarana pembelajarannya terbatas, Sudirman tak segan menggunakan sarana pribadinya seperti alat musik karawitan, kostum penari, hingga barongan atau topeng Singo Barong.
Baginya lebih baik sarana yang dimiliki itu rusak karena dipakai latihan, dari pada rusak karena dibiarkan. Semua upaya yang dilakukan Sudirman tersebut bukan untuk mengejar imbalan materi melainkan demi mengenalkan reyog sejak dini kepada generasi masa kini.
Oleh karena itulah usahanya tidak berhenti di sekolah. Pemilik Sanggar Tari Kartika Puri ini mewadahi anak-anak yang ingin belajar tari di luar lingkungan sekolah. Dia juga melatih desa-desa di Ponorogo yang mengalami krisis penari reyog karena putusnya regenerasi dari para pendahulu.
Banyak penari dan pelatih tari telah dilahirkan baik melalui sanggar, sekolah-sekolah, maupun desa-desa yang mendapat sentuhan Sudirman. Sebagai seniman yang mengenyam pendidikan akademik, dia tak hanya mengajarkan tari tradisional melainkan tari festival. Reyog festival lebih sulit karena menampilkan seni drama dan tari (sendratari) dengan sentuhan koreografi dan aransemen musik yang menarik.
Berdasarkan pengalamannya menggeluti seni tradisi, setiap warga Ponorogo sejatinya memiliki jiwa seni terutama reyog. Namun potensi itu perlu diasah dengan asuhan yang baik agar berkembang sesuai harapan. Penari harus diberi kebebasan berekspresi sesuai karakter yang diminati agar tarian yang disajikan bisa dinikmati baik oleh penarinya maupun penontonnya.
Terkait dengan Festival Budaya Bumi Reyog yang di dalamnya berisi antara lain Festival Nasional Reyog Ponorogo, Sudirman memilih menolak diam meski dia bukan bagian dari panitia inti. Hasratnya tinggi untuk berkontribusi pada acara yang menurutnya mampu menggaungkan reyog ke kancah nasional tersebut.
Salah satunya, membuka pintu lebar-lebar kepada peserta festival dari luar kota yang memerlukan tempat tinggal sementara. Sudirman dengan suka cita menawarkan beragam sarana tari reyog seperti topeng barongan hingga alat musik seperti gamelan kepada kontingen yang memerlukan.
“Sebagai tuan rumah saya malu kepada tamu-tamu apabila tidak bisa membantu. Mereka yang notabene bukan orang Ponorogo, mau melestarikan seni reyog. Saya yang asli Ponorogo, malu, jika tidak bisa berbuat lebih dari yang mereka lakukan,” kata Sudirman.
Di usianya yang semakin matang, Sudirman masih tertantang mengabadikan reyog dengan membangun museum. Gagasan itu didasari semakin sulitnya mencari referensi tentang reyog yang disebabkan sebagian pelaku dari generasi terdahulu banyak meninggal karena faktor usia.
Sudirman
Lahir: Ponorogo, 7 April 1964
Istri: Rini Sulandari (51)
Pekerjaan: Guru seni tari SMPN 1 Jetis Ponorogo
Pendidikan:
- SD Negeri Madusari Kecamatan Siman tahun 1970-1976
- SMP Negeri 3 Ponorogo tahun 1977-1980
- Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Ponorogo tahun 1980
- Sarjana Strata Satu IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Surabaya Jurusan Seni Tari