Pemerintah akan memperketat pengawasan barang impor yang dibawa oleh penumpang untuk menertibkan bisnis jasa titipan atau jastip. Model bisnis itu dinilai merugikan penerimaan negara hingga miliaran rupiah.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan memperketat pengawasan barang impor yang dibawa oleh penumpang untuk menertibkan bisnis jasa titipan atau jastip. Model bisnis itu dinilai merugikan penerimaan negara hingga miliaran rupiah serta menciptakan ketidakadilan dalam berbisnis.
Mengutip data Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, sepanjang Januari-September 2019, tercatat 422 kasus pelanggaran barang impor lewat jastip. Dari ke-422 kasus itu, sekitar 75 persen merupakan barang impor berupa pakaian, tas, sepatu, kosmetik, dan barang-barang mewah lainnya.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengatakan, modus jastip digunakan pelaku usaha untuk menghindari tarif bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Penghindaran tarif menyebabkan harga jual barang impor lebih murah dari harga pasaran dalam negeri.
Pelaku jastip memanfaatkan celah aturan batas nilai pembebasan 500 dollar AS per penumpang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 203 Tahun 2017 tentang ketentuan ekspor dan impor barang yang dibawa penumpang dan anak sarana pengangkut. Batas nilai pembebasan hingga 500 dollar AS itu berlaku untuk barang pribadi, bukan barang komersial.
”Fasilitas itu diberikan untuk barang-barang pribadi penumpang, bukan barang-barang yang diperdagangkan. Saat ini, pemerintah tengah mengumpulkan aspirasi dari asosiasi dan masyarakat untuk merevisi PMK No 203/2017,” kata Heru dalam konferensi pers penertiban jastip di Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Sejauh ini, pihak Bea dan Cukai Kementerian Keuangan belum merilis total kerugian negara atas 422 kasus pelanggaran barang impor lewat jastip. Namun, penerimaan negara yang sudah terselamatkan sekitar Rp 4 miliar dari tarif bea masuk, PPN impor, dan PPh 22 impor, yang dibayar pelaku jastip. Barang impor akan ditahan selama pelaku jastip belum membayar tarif sesuai ketentuan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, seluruh jenis penerimaan perpajakan dari impor barang per Agustus 2019 tumbuh melemah dibandingkan Agustus 2018. Misalnya, realisasi PPN impor sebesar Rp 111,2 triliun (turun 6 persen), PPh 22 impor Rp 36,6 triliun (melemah 0,6 persen), dan bea masuk Rp 23,83 triliun (turun 5,19 persen).
Heru menyebutkan, pemerintah akan memperketat pengawasan terhadap barang impor yang dibawa oleh penumpang. Mereka yang membawa barang-barang bernilai tinggi atau mendekati ambang batas 500 dollar AS diharuskan mencantumkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dalam data penumpang.
Pemerintah akan memperketat pengawasan terhadap barang impor yang dibawa oleh penumpang.
Detail barang bawaan penumpang juga akan terdeteksi karena mayoritas bandara dan pelabuhan di Indonesia sudah dipasang mesin anti-pemisahan/pemecahan (splitting).
Selain itu, Bea dan Cukai akan memonitor media sosial, mengintegrasikan data penumpang, serta menerima masukan dari masyarakat dalam rangka pengendalian bisnis jastip.
”Jika penumpang terbukti membawa barang bukan untuk pribadi, akan diberlakukan tarif impor barang komersial. Barang akan ditahan sampai pelaku jastip bayar sesuai ketentuan,” kata Heru.
Setiap barang impor, lanjut Heru, secara aturan akan dikenai tarif bea masuk sebesar 10 persen, PPN impor 10 persen, PPh 22 impor 2,5-22,5 persen, dan PPnBM hingga 50 persen dari nilai barang. Untuk itu, harga barang impor yang dijual peritel resmi akan lebih tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan dengan modal awal dari luar negeri.
Keadilan berbisnis
Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Eddy Hussy berpendapat, langkah Bea dan Cukai untuk mengendalikan bisnis jastip bukan sekadar mengantisipasi potensi kerugian penerimaan negara. Lebih dari itu, bisnis jastip perlu dikendalikan untuk menjaga kesetaraan dalam berbisnis (level playing field).
”Pengusaha dalam negeri sudah memenuhi seluruh aturan pajak dan bea cukai sehingga pemerintah harus memberikan jaminan usaha yang adil,” katanya.
Menurut Eddy, kerugian material yang ditanggung pelaku usaha dalam negeri akibat bisnis jastip sulit diprediksi. Namun, keberadaan bisnis jastip diyakini menimbulkan kerugian berganda mulai dari penurunan produktivitas industri yang turut berdampak pada setoran pajak, penciptaan lapangan kerja, hingga matinya usaha kecil menengah (UKM).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta menambahkan, selain lewat penumpang, celah impor barang ilegal kerap dilakukan melalui jasa pengiriman dengan modus splitting. Pemerintah diminta kembali menurunkan batas nilai pembebasan bea masuk dari 75 dollar AS menjadi 50 dollar AS.
Keberadaan bisnis jastip menimbulkan kerugian berganda mulai dari penurunan produktivitas industri yang turut berdampak pada setoran pajak, penciptaan lapangan kerja, hingga matinya usaha kecil menengah.
Sebelumnya, pada Oktober 2018, pemerintah menurunkan batas nilai barang impor bebas bea masuk dari 100 dollar AS menjadi 75 dollar AS dalam PMK No 112 Tahun 2018 tentang ketentuan impor barang kiriman.
”Batas nilai barang impor bebas bea masuk mesti diturunkan lagi untuk memperkecil potensi splitting. Ibaratnya, pemerintah dan pengusaha adu strategi dengan pelaku-pelaku impor barang ilegal,” ujar Tutum.
Modus-modus pelanggaran impor barang harus direspons cepat oleh pemerintah. Hal itu tidak sekadar merugikan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan ketidakadilan dalam berbisnis. Kerugian tidak langsung akibat bisnis jastip dan modus splitting barang cukup besar bagi ekosistem bisnis dan ekonomi domestik.