Keterbatasan Akses Jadi Kendala Penerapan Program KB di NTT
Program keluarga berencana di Nusa Tenggara Timur dibutuhkan untuk mengendalikan jumlah kelahiran yang mencapai 110.000 jiwa per tahun. Namun, keterbatasan akses di sana menjadi kendala penerapan program itu.
Oleh
Machradin Wahyudi
·3 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Program keluarga berencana di Nusa Tenggara Timur dibutuhkan untuk mengendalikan jumlah kelahiran yang mencapai 110.000 jiwa per tahun. Namun, keterbatasan akses di sana menjadi kendala penerapan program itu.
Dalam kunjungan ke Puskesmas Beru, Kecamatan Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (27/9/2019), Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan, keterlambatan dalam pemakaian alat kontrasepsi membuat program KB menjadi tidak terlaksana. Kondisi ini terjadi karena jarak yang jauh antara tempat tinggal warga dan pusat layanan kesehatan atau KB.
Hasto menuturkan, biasanya yang sering mengalami keterlambatan adalah pasangan yang menggunakan kontrasepsi dengan kurun waktu pendek, seperti suntik KB yang perlu dilakukan tiga bulan sekali. Padahal, berdasarkan data BKKBN NTT, dari sekitar 680.000 pasangan usia subur (PUS), pengguna kontrasepsi mencapai 65 persen.
”Keterlambatan ini menjadi salah satu penyebab utama gagal KB. Karena itu, informasi dari awal setelah persalinan diperlukan. Bayangkan saja, kalau 110.000 per tahun, artinya dalam sebulan ada 10.000 anak yang lahir,” ujarnya.
Hasto menuturkan, kondisi tersebut tentu menjadi masalah karena pertumbuhan yang tinggi tidak diimbangi dengan penambahan ketersediaan sumber daya alam. Padahal, kualitas manusia bergantung dari nilai gizi yang dikonsumsi.
Untuk mengatasi hal tersebut, tutur Hasto, petugas persalinan memberikan opsi bagi ibu-ibu yang melahirkan untuk menggunakan alat kontrasepsi sehingga pasangan yang baru memiliki anak bisa langsung memikirkan alat kontrasepsi apa yang sesuai dengan kondisi keluarga.
Selain memberi opsi kepada pasangan, edukasi ke daerah-daerah terpencil dilakukan dengan program Kampung KB yang dicanangkan sejak tahun 2016 oleh Presiden Joko Widodo. Di tahun 2019, lebih dari 14.000 Kampung KB telah berdiri. Sebanyak 613 desa di antaranya berada di NTT.
Edukasi
Menurut Hasto, selain memberikan informasi berkaitan dengan penggunaan alat kontrasepsi, kampung KB mengedukasi masyarakat desa tentang pola hidup sehat di keluarga. Semua itu dilakukan agar anak dapat tumbuh dengan baik di dalam lingkungan.
”Kampung KB menjadi salah satu bentuk pembangunan dari daerah-daerah terpinggirkan. Tidak hanya itu, dengan edukasi yang ada, kami bisa mendata dengan baik keluarga yang menggunakan alat kontrasepsi,” ujarnya.
Kampung KB menjadi salah satu bentuk pembangunan dari daerah-daerah terpinggirkan. Tidak hanya itu, dengan edukasi yang ada, kami bisa mendata dengan baik keluarga yang menggunakan alat kontrasepsi.
Dalam rangkaian peringatan Hari Kontrasepsi Sedunia di Maumere, Kepala BKKBN beserta rombongan mengunjungi Kampung KB di Desa Manu Bura, Kecamatan Nelle, Kabupaten Sikka, NTT. Dari 171 PUS di desa tersebut, 85 PUS telah menggunakan alat kontrasepsi.
Data terkait kependudukan pun terpampang di Rumah Data Kependudukan (Rumah Dataku) yang menjadi sentral kegiatan di Kampung KB Desa Manu Bura. Selain memberikan informasi terkait data, peta desa juga ditampilkan sebagai pelengkap informasi.
Maria Isabella Manisem (54), Ketua Penggerak PKK Desa Manu Bura, menuturkan, semenjak Kampung KB dicanangkan di desa ini, warga menjadi lebih matang dalam memutuskan memiliki anak. Dalam kurun beberapa tahun terakhir, pasangan baru hanya memutuskan memiliki anak paling banyak dua atau tiga.
”Sebelumnya, pasangan di sini bisa memiliki anak sampai enam. Kami berterima kasih, dengan adanya Kampung KB, kami bisa memberikan penyuluhan dengan baik dan tepat sasaran,” ujarnya.