Hutan untuk menampung orangutan hasil rehabilitasi di Kalimantan Timur kian terbatas. Hutan yang ada saat ini hampir mencapai kapasitas penuh untuk mendukung populasi satwa dilindungi tersebut.
Oleh
sucipto
·3 menit baca
TENGGARONG, KOMPAS — Hutan untuk menampung orangutan hasil rehabilitasi di Kalimantan Timur kian terbatas. Hutan yang ada saat ini telah hampir mencapai kapasitas penuh untuk mendukung populasi satwa dilindungi tersebut. Perlu dicari hutan baru yang ideal untuk pelepasliaran orangutan.
Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS), yang merehabilitasi orangutan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sudah melepasliarkan 115 orangutan di Hutan Kehje Sewen di Kabupaten Kutai Timur sejak 2012 sampai September 2019. Namun, kapasitas hutan itu hanya bisa menampung 150 orangutan, artinya hanya tersisa ruang untuk 35 orangutan lagi.
Hutan Kehje Sewen adalah salah satu hutan ideal di Kaltim untuk melepasliarkan orangutan. Hutan itu dikelola dengan skema izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-restorasi ekosistem. Izin usaha itu diberikan untuk membangun kawasan hutan yang memiliki ekosistem penting dan unik.
Hutan dengan izin itu hanya untuk kegiatan usaha dalam pemeliharaan, perlindungan, dan pemulihan ekosistem hutan, termasuk pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati. Salah satu tujuan pengelolaan hutan dengan izin ini untuk mencapai keseimbangan hayati dan ekosistem.
CEO Yayasan BOS Jamartin Sihite mengatakan, saat ini terdapat 130 orangutan yang tengah direhabilitasi dari berbagai insiden, seperti dipelihara puluhan tahun di kandang dan disiksa manusia. Sekitar 30 orangutan disiapkan untuk dilepasliarkan.
”Luas wilayah yang ideal untuk pelepasliaran orangutan setidaknya tingginya kurang dari 700 meter di atas permukaan laut,” ucap Jamartin, di Samboja, Kutai Kartanegara, Jumat.
Selain itu, di dalam hutan itu juga harus tersedia pakan alami yang cukup, populasi orangutan belum padat, dan dinilai laik untuk keberlangsungan hidup orangutan. Untuk orangutan yang baru dilepasliarkan, diperlukan kawasan sekitar 100 hektar untuk 2 orangutan.
Hutan yang masih sedikit populasi orangutannya diperlukan oleh orangutan yang baru dilepasliarkan agar mampu beradaptasi. Jika populasi sudah banyak, dikhawatirkan terjadi konflik dengan orangutan liar di hutan. Hal itu bisa membuat orangutan yang dilepasliarkan mudah stres.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim Sunandar Trigunajasa mengatakan, hingga September 2019, BKSDA Kaltim bersama Yayasan BOS sudah melepasliarkan 18 orangutan, terbagi dalam lima sesi. Menurut dia, jumlah itu belum ideal mengingat banyak orangutan yang disiapkan untuk dilepasliarkan.
Hutan Kehje Sewen diapit oleh tiga hutan lindung, yakni Hutan Lindung Long Kemul, Hutan Lindung Telensoh, dan Hutan Lindung Batu Mesangat. Sebagian besar area hutan lindung itu memiliki ketinggian yang beragam, banyak yang di atas 700 meter di atas permukaan laut. Selain itu, padatnya populasi orangutan di sana juga menjadi hambatan.
Kami sedang mencari ruang alternatif yang ideal di Kaltim.
”Memang cukup berat mencari alternatifnya. Kami sedang berusaha memfasilitasi itu, berkoordinasi dengan dinas kehutanan. Kami sedang mencari ruang alternatif yang ideal di Kaltim,” ujar Sunandar.
Ia mengatakan, keberadaan orangutan perlu diperjuangkan untuk keseimbangan proses ekologis dalam ekosistem hutan. Keanekaragaman hayati penting dipertahankan sebab akan menjaga hutan dan membuat hutan berkembang secara alami. Dampaknya, manusia memiliki paru-paru dunia sebagai penghasil oksigen.
Di sisi utara Hutan Kehje Sewen terdapat sekitar 52.000 hektar hutan produksi terbatas yang sudah habis masa konsesinya. Sebagian besar wilayahnya memiliki ketinggian yang sesuai untuk orangutan hidup.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Djati Witjaksono Hadi mengatakan, hutan produksi yang sudah habis masa konsesinya menjadi milik negara. Hutan itu bisa saja digunakan untuk kepentingan lain, tergantung dari kebijakan dan dukungan pemerintah daerah.
”Jika pemerintah daerah merekomendasikan kawasan itu (menjadi tempat pelepasliaran dan dilindungi), tidak masalah. Pada prinsipnya, kita mempertahankan kawasan konservasi dan kawasan lain yang ada orangutannya,” kata Djati.
Ia menyebutkan, jika ada kawasan hutan yang bukan hutan lindung, melainkan memiliki keanekaragaman hayati, bisa menjadi kawasan ekonomi esensial. Artinya, keragaman hayati dan ekosistem di sana akan dilindungi dengan kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat.