Di luar pembangkitan energi dengan pencahayaan, kami percaya teknologi ini (dengan pendinginan radiasi) bisa digunakan secara luas untuk pembangkit listrik di daerah terpencil dimana saja,
Oleh
M Zaid Wahyudi
·3 menit baca
Sinar Matahari masih jadi andalan sumber energi terbarukan. Bentuk energi ini tidak bisa digunakan saat malam hari atau ketika langit mendung berawan. Kini, para ilmuwan bisa mengubah malam yang gelap menjadi energi listrik.
Sejumlah peneliti dari Universitas California, Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, berhasil membuat perangkat termoelektrik yang berhasil mengubah fenomena pendinginan radiasi menjadi energi listrik. Ke depan, teknologi ini diharapkan bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan energi listrik di luar angkasa yang gelap dan dingin.
Pendinginan radiasi adalah fenomena hilangnya suhu suatu benda akibat radiasi termal. Di permukaan tanah, proses ini berlangsung ketika tanah memancarkan panasnya ke atmosfer. Pelepasan panas itu membuat permukaan tanah menjadi lebih dingin dibandingkan udara sekitarnya hingga bisa memunculkan es beku di rerumputan meski suhu udara di sekitarnya di atas titik beku.
Fenomena ini juga bisa memunculkan kabut di sejumlah daerah. Saat malam dengan cuaca cerah, tanah akan melepaskan radiasi langsung ke atmosfer hingga daratan menjadi lebih dingin. Beda suhu antara permukaan tanah dengan uap air pada udara di atasnya itu akan memicu kondensasi hingga terbentuk kabut.
Para peneliti menilai teknologi ini bisa digunakan untuk memproduksi energi terbarukan, khususnya di malam hari, saat tidak ada Matahari dan beban penggunaan energi listrik memuncak.
“Di luar pembangkitan energi dengan pencahayaan, kami percaya teknologi ini (dengan pendinginan radiasi) bisa digunakan secara luas untuk pembangkit listrik di daerah terpencil dimana saja,” kata Aaswath Raman, asisten profesor ilmu dan teknik material UCLA yang jadi pemimpin studi seperti dikutip space.com, Minggu (21/9/2019).
Di luar pembangkitan energi dengan pencahayaan, kami percaya teknologi ini (dengan pendinginan radiasi) bisa digunakan secara luas untuk pembangkit listrik di daerah terpencil di mana saja.
Perangkat diuji
Purwarupa perangkat teknologi itu diuji di atas sebuah meja setinggi satu meter yang diletakkan di atas atap sebuah gedung di Standford, California, AS, akhir Desember 2018. Perangkat itu ditempatkan di sebuah kotak dari bahan polimer polistirena yang dilapisi dengan bahan laminasi aluminized milar untuk meminimalkan radiasi termal. Selanjutnya, kotak itu juga dilindungi dengan penahan angin.
Di dalam lapisan pelindung itu, perangkat akan bekerja dengan menarik panas dari udara sekitarnya dan mengirimkan kembali panas itu ke atmosfer menggunakan emitor hitam.
Perangkat itu kemudian disambungkan untuk menyalakan lampu LED (light-emitting diode) menggunakan konverter penambah tegangan. Hasilnya, selama enam jam perangkat itu bekerja, mampu menghasilkan energi listrik sebanyak 25 miliwatt per meter persegi.
Energi listrik yang dihasilkan memang jauh lebih kecil dibanding yang dihasilkan oleh sel surya biasa. Namun, perangkat ini bisa bekerja di malam hari, hal yang tidak mungkin dilakukan oleh sel surya karena tidak ada sinar Matahari yang bisa diubah jadi energi.
Hasil penelitian itu dipublikasikan di jurnal Joule pada 12 September 2019. Dengan beberapa modifikasi, perangkat itu bisa digunakan dalam skala yang lebih luas untuk mendapatkan energi yang lebih besar. Peningkatan skala perangkat itu bisa dilakukan dengan meningkatkan efisiensi pertukaran panas perangkat dengan mengurangi panas yang diperoleh di perangkat penerima pendinginan radiasi.
Proses pembuatan perangkat itu juga relatif mudah karena materi yang digunakan bisa didapatkan di pasaran. Perangkat ini juga bisa bekerja baik di daerah dengan iklim yang lebih panas dan kering. “ Teknologi ini memiliki peluang untuk dimanfaatkan guna pembangkitan energi terbarukan di luar angkasa yang dingin,” tambah Raman.
Teknologi bisa digunakan sebagai pelengkap sel surya yang sudah digunakan karena energi listrik yang dihasilkan akan selalu lebih kecil dibanding energi yang dihasilkan sel surya. Namun, teknologi ini bisa bekerja di saat sel surya tidak bisa digunakan.