Polisi dan Sindrom John Wayne
Tak lama setelah polisi gagal membujuk mahasiswa bubar, sejak sore sekitar pukul 16.00, terdengar tembakan gas air mata. Bunga api berwarna merah diikuti asap putih menerangi langit.
“Mundur! Mundur! Kami mau maju,” kata seorang polisi kepada para wartawan di atas jalan layang Semanggi, Selasa (24/9/2019) malam. Dari arah gedung DPR, para mahasiswa bernyanyi “Pak polisi, pak polisi, tugasmu mengayomi” sambil mengangkat tangan. Tujuan para mahasiswa bernyanyi untuk menenangkan polisi yang mulai emosi.
Tak lama setelah polisi gagal membujuk mahasiswa bubar, terdengar suara tembakan gas air mata. Bunga api berwarna merah diikuti asap putih menerangi langit. Sejak pukul 16.00 polisi sudah berkali-kali menembakkan gas air mata. Mahasiswa lari terbirit-birit. Banyak yang tumbang karena menghirup gas air mata, terinjak, atau terdorong.
Hari Selasa itu, tepat 20 tahun peringatan Tragedi Semanggi 2, jadi catatan buruk aparat dalam menghadapi unjuk rasa. Padahal beberapa bulan sebelumnya, aparat sangat sabar dan persuasif menghadapi unjuk rasa anarkistis di depan gedung Bawaslu di Jalan Thamrin, 21-22 Mei 2019.
Rabu (25/9/2019), unjuk rasa kembali berlangsung. Kali ini, massa didominasi pelajar kelas menengah. Gas air mata juga mulai aktif ditembakkan sejak sore hari. Unjuk rasa berlangsung hingga malam, seakan mengulang sehari sebelumnya. Massa di luar pelajar diyakini turut bergabung lagi usai matahari terbenam.
Baca juga : Massa Masih Bentrok dengan Aparat di Pejompongan
Baca juga : Malam Ini, Tidak Ada Layanan KRL Tanah Abang-Palmerah
Sejumlah ruas jalan lumpuh terutama di sekitar Slipi dan Gatot Subroto, Tentara Pelajar, serta seputar Stasiun Palmerah. Layanan bus Transjakarta yang melewati area kerusuhan dan kereta komuter dari Stasiun Tanah Abang-Palmerah dibatalkan sejak pukul 17.00.
Tidak didengar
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono, Rabu, mengatakan, polisi terpaksa mengambil tindakan tegas sejak sore karena mahasiswa memaksa masuk gedung DPR dan menguasai gedung DPR. Polisi telah melakukan upaya persuasif agar mahasiswa dapat berdialog dengan pimpinan DPR. Namun, mahasiswa menuntut Ketua DPR hadir di tengah massa.
“Kalau sampai pukul 16.00 pimpinan DPR tidak ada di tengah massa mereka akan mendobrak pintu DPR. Gedung DPR adalah obyek vital, kita harus mengamankan. Polisi sudah mengingatkan sebelum menembakkan gas air mata supaya mahasiswa pulang dan tidak anarkistis. Tapi himbauan polisi tidak didengar,” kata Gatot.
“Kalau sampai pukul 16.00 pimpinan DPR tidak ada di tengah massa mereka akan mendobrak pintu DPR. Gedung DPR adalah obyek vital, kita harus mengamankan. Polisi sudah mengingatkan sebelum menembakkan gas air mata supaya mahasiswa pulang dan tidak anarkistis. Tapi himbauan polisi tidak didengar,” kata Gatot.
Menurut Gatot, pukul 16.05 mahasiswa terus mendesak untuk masuk. Polisi di depan pagar didorong dan dilempari botol air dan batu. Massa di samping kanan sudah mulai merusak pagar DPR.
Humas Aliansi Mahasiswa Indonesia Menggugat (AMIM), M Bimas Abidin menyesalkan tindakan aparat yang terlalu represif. Menurut Bimas, saat itu massa cair dan garis komandonya berbeda-beda sehingga sulit diprediksi.
“Kenapa pelaksanaan SOP dari polisi membabi buta. Harusnya polisi terpola dan terukur dalam menanggapi demonstran karena memang massa cair. Kita tidak bisa prediksi apakah berpotensi akan terjadi anarkistis apa tidak. Kan polisi bisa analisa situasi lapangan,” ujarnya.
Bimas menambahkan, AMIM yang terdiri dari aliansi mahasiswa UIN Jakarta, Universitas Tama Jagakarsa, dan Universitas Indraprasta sedang berkoordinasi dengan mahasiswa universitas lain untuk mendata jumlah korban. Data sementara dari Polda Metro Jaya sebanyak 254 orang menjalani rawat jalan dan 11 orang rawat inap. Dari pihak aparat, terdapat 39 polisi yang terluka.
Kekerasan oknum aparat pada Selasa malam juga memakan korban para jurnalis yang dilindungi Undang-Undang Pers dalam menjalankan profesinya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat empat jurnalis luka dan mengalami trauma. Mereka adalah jurnalis Kompas.com Nibra Nada Nailufar yang diintimidasi polisi saat merekam polisi yang melakukan kekerasan di JCC Senayan.
Jurnalis IDN Times, Vanny El Rahman dipukul dan diminta menghapus rekaman video saat merekam kekerasan yang dilakukan polisi di jalan layang Slipi. Jurnalis Katadata, Tri Kurnia Yunarto juga mengalami kekerasan fisik oleh polisi. Polisi merampas ponsel Kurnia dan menghapus video polisi membubarkan massa dengan gas air mata.
Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani melalui siaran pers mendesak kepolisian menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan polisi maupun warga. Apalagi kekerasan oleh polisi tersebut terekam video dengan jelas. Semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus dipores hukum dan diadili di pengadilan.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono menuturkan, polisi yang melakukan tindakan melanggar hukum akan dikenakan penindakan sesuai aturan.
Baca juga : DKI Data Kerusakan Fasilitas Umum
Polisi dan masyarakat
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengungkapkan, di seluruh organisasi kepolisian di dunia ada dua sub kultur menyimpang yang sulit dihilangkan. Yaitu sub kultur perilaku brutal dan sub kultur perilaku korupsi.
“Apakah di lembaga pendidikan para personel polisi baru sudah diajari perilaku brutal? Apakah tidak dicekoki pendidikan soal HAM sejak awal?” imbuhnya.
Reza menuturkan, standar perilaku polisi harus lebih tinggi dari masyarakat. Ada ungkapan yang menyebutkan polisi adalah bayang-bayang masyarakat. Polisi brutal berarti masyarakat brutal. Polisi adalah agen perubahan. Seburuk apapun masyarakat, polisi yang harus menunjukkan keteladanan.
Menurut dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu, polisi dituntut tidak boleh capek, sedih, takut, atau sakit. Ilmuwan psikologi forensik menyebutnya sebagai sindrom John Wayne yaitu sifat manusia yang tidak pernah takut, sedih, sakit, dan tidak pernah kalah. John Wayne (1907-1979) adalah aktor film Hollywood yang sering berperan sebagai koboi jagoan.
Namun, dampak ditinggalkannya sisi kemanusiaan itu bisa jadi membuat orang melampiaskan persoalan hidup mereka ke obyek pengganti, yaitu pihak yang lemah. Peserta unjuk rasa dalam hal ini bisa dilihat sebagai pihak yang lemah.