Penyangga Fiskal Rp 8 Triliun untuk Kendalikan Defisit APBN
Pemerintah akan menyuntikkan dana penyangga fiskal senilai Rp 7 triliun-Rp 8 triliun untuk mengendalikan defisit APBN 2019 sesuai proyeksi 1,93 persen produk domestik bruto.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menyuntikkan dana penyangga fiskal senilai Rp 7 triliun-Rp 8 triliun untuk mengendalikan defisit APBN 2019 sesuai proyeksi 1,93 persen produk domestik bruto. Penyangga fiskal digunakan karena realisasi penerimaan pajak terus melemah.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, defisit APBN per Agustus 2019 sebesar Rp 199,1 triliun atau 1,24 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit melebar dibandingkan periode yang sama tahun 2018 sebesar Rp 150,5 triliun atau 1,02 persen PDB. Pelebaran defisit ditengarai penerimaan pajak yang terus melemah, sementara belanja negara tetap.
Realisasi penerimaan pajak Januari-Agustus 2019 sebesar Rp 801,16 triliun atau tumbuh 0,21 dibandingkan periode yang sama 2018. Sementara realisasi belanja negara sepanjang Januari-Agustus 2019 sebesar Rp 1.388,3 triliun, tumbuh 6,5 persen dari periode yang sama tahun 2018.
Realisasi penerimaan pajak Januari-Agustus 2019 sebesar Rp 801,16 triliun atau tumbuh 0,21 dibandingkan periode yang sama 2018.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, dana penyangga fiskal Rp 7 triliun-Rp 8 triliun akan digunakan pada akhir tahun untuk merespons asumsi ekonomi makro yang meleset. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih rendah dari 5,3 persen dalam APBN 2019, menjadi kisaran 5,1 persen.
”Melesetnya perhitungan pertumbuhan ekonomi berdampak ke penerimaan pajak. Realisasi penerimaan pajak akan lebih rendah dari target (shortfall) mencapai Rp 140 triliun,” ujar Askolani dalam bincang media di Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Menurut Askolani, defisit APBN 2019 berpotensi mencapai 2 persen PDB apabila shortfall pajak lebih besar dari Rp 140 triliun. Di sisi lain, alokasi belanja pemerintah pusat dan transfer dana ke daerah tidak akan dipotong guna menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, dana penyangga fiskal digunakan untuk memperkecil defisit APBN.
Mekanisme penyangga fiskal diterapkan dalam rangka mengompensasi potensi pengurangan penerimaan atau penambahan pendapatan sehingga defisit APBN bisa dikendalikan di bawah 2 persen PDB. Penyangga fiskal dibutuhkan karena setiap tahun APBN berpotensi mengalami risiko dari internal ataupun eksternal.
”Kebijakan penyangga fiskal ini akan sangat membantu untuk dukungan stimulus dan mengendalikan APBN,” ucap Askolani.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan, pemerintah mesti berhati-hati menggunakan dana penyangga fiskal untuk mengendalikan defisit APBN. Sebab, ada banyak kejadian tidak terduga, seperti bencana alam, yang juga memerlukan alokasi biaya dari pos tersebut.
”Penyangga fiskal digunakan agar defisit tidak melampaui 2 persen PDB berarti anggaran cadangan itu dialihkan untuk anggaran rutin,” ujar Enny.
Menurut Enny, pelebaran defisit APBN bukan persoalan sepanjang berada dalam batas aman di bawah 3 persen PDB. Namun, selama ini defisit APBN memang diupayakan tidak melampaui 2 persen PDB untuk daya tarik investor. Titik persoalan justru efektivitas stimulus fiskal yang berasal dari pelebaran defisit tersebut.
Stimulus fiskal
Enny menyebutkan, pemerintah harus memastikan stimulus fiskal berdampak konkret terhadap sektor riil, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta industri padat karya. Sektor riil berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produktivitas domestik. Dampak berganda yang diciptakan akan mendorong pertumbuhan penerimaan pajak.
”Yang terpenting bukan soal pelebaran defisit APBN, tetapi seberapa efektif alokasi belanja terutama dari utang yang menyebabkan defisit melebar,” lanjutnya.
Menurut Enny, pemerintah perlu segera meluncurkan terobosan stimulus fiskal untuk sektor riil bagi UMKM dan industri padat karya. Terlebih, risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 yang menjadi kisaran 5-5,1 persen sudah terprediksi. Efektivitas alokasi belanja pemerintah menjadi kunci mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, pemerintah mesti menjaga defisit APBN di bawah 2,5 persen PDB secara konsisten dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Disiplin fiskal menjadi salah satu pertimbangan untuk menaikkan peringkat utang jangka panjang.
Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P), Fitch Ratings, dan Moody’s Investor Service menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB salah satunya atas pertimbangan disiplin fiskal. Pemerintah dinilai berhasil menjaga defisit APBN 2018 rendah, yakni 1,79 persen.