Para pelajar sekolah menengah yang terlibat kericuhan di Jakarta, Rabu lalu, akibat terpengaruh tagar STMbergerak yang beredar di media sosial.
Oleh
WISNU AJI DEWABRATA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelajar sekolah menengah yang terlibat kericuhan di Jakarta, Rabu lalu, akibat terpengaruh tagar STMbergerak yang beredar di media sosial.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi, Kamis (26/9/2019), mengatakan, dia berbincang dengan pelajar yang diamankan di Markas Polda Metro Jaya, Rabu malam. Seto menyimpulkan, para pelajar itu kebanyakan terpengaruh tagar di media sosial dan hanya ikut-ikutan.
”Mereka terpengaruh tagar STMbergerak. Pengaruh media sosial dahsyat sekali. Mereka merasa ada penyaluran emosi yang terhambat untuk diledakkan dan dipuaskan. Ini sangat berbahaya, harus diwaspadai guru dan sekolah,” ucapnya.
Mereka terpengaruh tagar STMbergerak. Pengaruh media sosial dahsyat sekali. Mereka merasa ada penyaluran emosi yang terhambat untuk diledakkan dan dipuaskan. Ini sangat berbahaya, harus diwaspadai guru dan sekolah. (Seto Mulyadi)
Menurut Seto, banyak di antara pelajar itu tidak paham isu atau mendapat gambaran keliru mengenai persoalan yang menjadi penyebab terjadinya unjuk rasa. Misalnya, soal RUU PKS bahwa suami tidak boleh memerkosa istri. Menurut mereka, itu berarti suami tidak boleh berhubungan dengan istri sehingga tidak bisa punya anak.
”Di situ peran penting guru dan orangtua. Permasalahan ini karena tidak ada mekanisme kontrol dari guru dan orangtua. Dengan ditangkap polisi, mereka (pelajar) itu mendapat peringatan ibarat dicubit atau dijewer,” ujarnya.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengungkapkan, polisi menangkap 570 pelajar pada Rabu (25/9/2019) malam. Namun, para pelajar telah dipulangkan setelah orangtua atau saudaranya menjemput mereka di Markas Polda Metro Jaya.