Kalimat paling tepat untuk menggambarkan daya rusak korupsi di negeri ini adalah darurat korupsi. Kegentingan semakin serius karena elite politik tidak merasakan kegawatan bangsa ini. Penjarahan kekayaan negara mulai dari sumber daya alam sampai penggerogotan nilai-nilai kehidupan bangsa dilakukan untuk membangun imperium kekuasaan.
Korupsi adalah ancaman paling berbahaya karena mampu merenggut jiwa dan semangat kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi dengan canggih telah menuangkan racun serasa madu kepada pemegang kekuasaan sehingga mereka lupa diri dan bertekuk lutut terhadap kekuasaan yang mendatangkan kenikmatan badaniah tanpa batas.
Tragedi berikutnya, mereka menjadi mati nuraninya. Diperlukan usaha dan tekad ekstra keras untuk menggulung pelaku kejahatan luar biasa itu agar lembaga politik dan negara tidak semakin membusuk.
Perjuangan masyarakat melawan korupsi setelah reformasi berhasil membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Kewenangan KPK sangat besar karena manifestasi gelora hasrat dan semangat rakyat menaklukkan keserakahan penjahat negara.
KPK kemudian menunjukkan kedigdayaannya karena berani dan berhasil membuat elite politik dan penguasa korup masuk bui. KPK berprestasi menggempur koruptor yang melampiaskan nafsu dan naluri primitifnya dalam menimbun harta agar semakin berkuasa.
Oleh sebab itu, dapat dipahami kalau publik sangat percaya dan memuja KPK, bahkan cenderung memitoskan institusi yang lahir dari rahim reformasi sebagai ”Sang Penyelamat” atau Ratu Adil. Mitologi yang memercayai datangnya penyelamat yang akan membuat masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Masyarakat yang nyaris putus asa dan frustrasi menghadapi korupsi merasa terselamatkan oleh kehadiran dan sepak terjang KPK.
Fenomena itu sangat manusiawi, tetapi harus dijaga agar KPK tidak dikeramatkan. Sakralisasi lembaga yang dikelola manusia rentan terhadap godaan kekuasaan. Terlebih jika mitologi dijadikan instrumen ideologis untuk meraih kekuasaan oleh petualang politik.
Oleh sebab itu, revisi Undang-Undang KPK tak perlu jadi kontroversi yang seakan pilihan antara hidup atau mati. Tidak perlu ada demo-demo berlebihan, apalagi muncul tandingan yang memecah masyarakat. Agenda lebih penting ialah literasi masyarakat, terutama generasi muda, soal pentingnya kontrol terhadap lembaga politik dan negara.
Sari pati perubahan UU KPK ialah urgensi pengawasan dan akuntabilitas KPK agar lembaga itu tetap digdaya. Tanpa kontrol yang efektif, dikhawatirkan KPK menjadi lembaga ”superbody”. Padahal, lembaga apa pun, apabila dikelola manusia yang dalam dirinya bersemayam niat mulia dan hasrat durhaka, perlu pengawasan. Manusia tak akan pernah menjadi malaikat.
Bahkan, dikenal pepatah populer: lebih baik iblis berkuasa yang dapat dikontrol daripada malaikat yang berkuasa tanpa pengawasan. Karena itu, siapa pun yang berkuasa harus dikontrol oleh kekuasaan yang setara besarnya dengan pemegang kekuasaan. Pakem itu makin valid karena melekat erat dalam tata kelola kekuasaan negara demokrasi.
Kekhawatiran publik terhadap politisasi mitologi cukup absah karena dua hal. Pertama, demokrasi sejak reformasi lebih sibuk soal prosedur daripada mengelola aspirasi masyarakat. Pendangkalan pemahaman makna kedaulatan rakyat sejalan badai populisme dan amukan hoaks yang merupakan produk paham pasca-kebenaran yang melanda dunia.
Kedua, kejernihan masyarakat sipil dalam mengelola kewarasan publik makin surut karena paham kesetaraan menjadi absolut. Setara dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas, termasuk menghasut publik untuk mematahkan tiang-tiang konstitusi dan ideologi bangsa hasil kesepakatan pendiri negara.
Politisasi mitologi sangat berbahaya karena kebenaran partikular akan menjadi mutlak. Ia juga akan mengobrak-abrik rasionalitas karena politik bukan lagi ranah saling asah ketajaman rasionalitas serta kepekaan terhadap kepentingan umum, tetapi menjadi wilayah yang memutlakkan argumentasi dan dalil eksklusif.
Merosotnya kualitas perdebatan publik dan masyarakat sipil memunculkan fenomena oklokrasi atau mobokrasi. Gejala pergeseran masyarakat sipil menjadi ”mob” (Jasmin Hasanovic, Ochlocracy in the practices of civil society: a threat for democracy? : 2015).
Intinya, praktik demokrasi hanya terbatas pada prosedur tanpa mewacanakan isu-isu kepentingan umum akan terjebak dalam perangkap oklokrasi atau mobokrasi. Sebuah pemerintahan yang diurus dan dipimpin oleh warga yang tak kompeten mengelola rumitnya kekuasaan negara. Demokrasi yang seharusnya menjadi lembaga yang mengatur regulator konflik justru menjadi generator perseteruan.
Oleh karena itu, KPK akan menguat justru karena mempunyai akuntabilitas yang jelas dan kontrol yang proporsional.