Kericuhan dan Pelemparan Batu Warnai Demonstrasi Mahasiswa di Mataram
Gelombang demonstrasi mahasiswa yang menolak sejumlah rancangan undang-undang terus terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Barat.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Gelombang demonstrasi mahasiswa yang menolak sejumlah rancangan undang-undang terus terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Barat. Di daerah tersebut, Kamis (26/9/2019), demonstrasi diikuti ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat.
Demonstrasi diwarnai kericuhan dan pelemparan batu sehingga memaksa polisi menembakkan gas air mata dan menyemprotkan meriam air. Polisi berhasil menangkap sejumlah orang yang diduga provokator.
Pantauan Kompas, mahasiswa yang berasal dari sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, di Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mulai bergerak ke kantor DPRD NTB di kawasan Jalan Udayana, Mataram, sekitar pukul 09.00 Wita. Hal itu membuat akses di salah satu jalan utama di Kota Mataram tersebut ditutup.
Sejumlah perguruan tinggi itu antara lain Universitas Mataram, Universitas Muhammadiyah Mataram, Universitas Nahdlatul Wathan Mataram, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram, Universitas NTB, dan Universitas Islam Negeri (UIN) NTB.
Mereka datang dengan mengenakan baju almamater atau baju aliansi atau himpunan mahasiswa masing-masing. Tercatat ada 33 aliansi, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kota Mataram yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat.
Selain itu, mereka juga membawa spanduk atau poster yang berisi tuntutan. Sebagian besar tuntutan ditulis menggunakan bahasa ala anak muda.
Begitu tiba di depan Gedung DPRD NTB, mereka memulai orasi. Mahasiswa tidak bisa langsung masuk ke Gedung DPRD NTB karena polisi memasang kawat berduri. Selain itu, aparat kepolisian, termasuk personel TNI, juga berjaga di semua sisi.
Koordinasi pun terpecah karena banyaknya mahasiswa. Akibatnya, saat mahasiswa lain mengikuti di sisi selatan, mahasiswa yang berada di sisi utara memaksa masuk dengan menarik kawat berduri. Upaya itu bisa dikendalikan pihak kepolisian.
Gagal pada upaya pertama, mahasiswa mulai menginjak-injak kawat berduri. Hal itu membuat kawat berduri yang semula berupa gulungan menjadi pipih. Kondisi semakin memanas.
Meski demikian, mahasiswa terus berorasi, termasuk meminta pimpinan DPRD NTB untuk menemui mereka. Permintaan itu diindahkan dan sejumlah unsur pimpinan datang untuk mendengar tuntutan mahasiswa.
Hanya saja, sekitar pukul 10.30 Wita, seorang peserta aksi memecahkan lampu taman, yang kemudian disusul pelemparan batu. Pimpinan DPRD yang semula akan menemui mahasiswa pun masuk ke dalam gedung.
Kondisi itu membuat kepolisian harus menembakkan gas air mata. Mahasiswa langsung berhamburan ke berbagai penjuru. Selama puluhan menit, mereka dapat dipukul mundur sehingga Jalan Udayana lengang. Hanya ambulans yang lalu lalang mengevakuasi sejumlah demonstran yang pingsan karena menghirup gas air mata.
Kericuhan pertama mengakibatkan kerusakan, seperti sejumlah kaca pecah dan beberapa pintu masuk ke Gedung DPRD NTB jebol.
Kondusif
Setelah kondusif, sejumlah perwakilan mahasiswa diminta menemui pimpinan DPRD NTB. Hadir dalam pertemuan itu Ketua DPRD NTB Bq Isvie Rupaeda beserta wakilnya serta Kepala Kepolisian Daerah NTB Inspektur Jenderal Nana Sudjana. Sayangnya, pertemuan itu buntu. Perwakilan mahasiswa meninggalkan ruangan karena permintaan mereka untuk berdemo di dalam area gedung DPRD ditolak.
Sekitar pukul 13.00 Wita, seusai istirahat makan siang dan shalat Dzuhur, mahasiswa kembali memadati Jalan Udayana. Dalam kesempatan itu, mereka akhirnya berkesempatan untuk membacakan tuntutan secara lengkap. Pembacaan tersebut langsung diterima oleh pimpinan DRPD NTB.
Andi Suranto selaku koordinator umum Aliansi Rakyat Menggugat mengatakan, mereka menolak hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai melemahkan KPK.
Menurut Andi, keputusan DPR mengesahkan RUU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan masalah serius sehingga harus ditanggapi dan dikecam oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal itu berkaitan dengan moralitas bangsa Indonesia yang menganut paham demokratis.
”Bagaimana mungkin, ketika masyarakat menginginkan korupsi dimusnahkan hingga ke akar-akarnya dan masifnya pemberantasan korupsi oleh KPK, justru DPR yang merupakan delegasi dan seharusnya memperjuangkan hak rakyat membuat kebijakan yang sangat irasional dan bertentangan dengan amanat reformasi serta konstitusi Indonesia,” tutur Andi.
Oleh karena itu, menurut dia, selain menolak, mereka juga menuntut pemerintah dan DPR untuk membatalkan revisi RUU KPK yang berpotensi melemahkan KPK dan gerakan antikorupsi di Indonesia.
Selain itu, mereka juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pengganti UU KPK.
Ketika masyarakat menginginkan korupsi dimusnahkan hingga ke akar-akarnya, justru DPR yang merupakan delegasi dan seharusnya memperjuangkan hak rakyat membuat kebijakan yang sangat irasional dan bertentangan dengan amanat reformasi serta konstitusi Indonesia.
Andi menambahkan, tuntutan lainnya adalah agar pemerintah dan DPR mengevaluasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang kontroversial, mencabut izin korporasi yang membakar hutan di Sumatera dan Kalimantan, serta mengecam segala bentuk rasisme dan militerisme terhadap Papua.
”Selain itu, kami juga menolak revisi RUU Pertanahan karena tidak pro-rakyat, menolak revisi UU Pemasyarakatan, termasuk juga revisi UU No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yang tidak pro-buruh,” lanjutnya.
Menurut Andi, mereka memberi waktu empat hari kepada Presiden dan DPR untuk merealisasikan tuntutan tersebut. ”Jika dalam empat hari kerja Presiden dan DPR RI masih menolak, Gubernur dan DPRD NTB harus memfasilitasi kami ke Jakarta untuk menyuarakan aspirasi rakyat,” ucapnya.
Menanggapi tuntutan itu, Ketua DPRD NTB Baiq Isvie mengatakan, pihaknya tidak bisa mengintervensi apa yang telah diputuskan oleh DPR dan Presiden. Meski demikian, selain bersedia menandatangani tuntutan mahasiswa, Isvie juga berjanji akan menyampaikan tuntutan itu ke DPR dan Presiden.
Kembali ricuh
Setelah memberikan tanggapan, rombongan pimpinan DPRD NTB langsung meninggalkan mahasiswa. Mendapat perlakuan itu, mahasiswa emosi dan berteriak. Mereka tetap berharap bisa masuk ke area gedung DPRD. Hal itu membuat mahasiswa mulai mendorong pintu gerbang di sisi utara gedung DPRD.
Dalam kondisi itu, dari salah satu titik, seseorang melempar plastik berisi air, yang diikuti lemparan batu. Sontak, hal itu membuat polisi kembali menembakkan gas air mata dan meriam air.
Selama beberapa saat, terjadi perang batu melawan gas air mata dan meriam air. Banyaknya gas air mata membuat mahasiswa berhamburan ke berbagai tempat. Setelah itu, ambulans kembali lalu lalang mengevakuasi mahasiswa yang pingsan.
Setelah kondusif, mahasiswa berkumpul lagi. Mereka pun berorasi. Sekitar pukul 15.00 Wita, perwakilan 33 aliansi kembali bertemu dengan pimpinan DPRD, Kepala Polda NTB, dan Komandan Rayon Militer 162/Wira Bhakti Kolonel Czi Ahmad Rizal. Pertemuan menyepakati agar tuntutan mahasiswa disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Meski sudah ada kesepakatan, kericuhan kembali terjadi. Pelemparan batu kembali dilakukan. Hal itu membuat aparat kepolisian yang semula berjaga di dalam Gedung DPRD NTB kembali ke jalan, termasuk mobil meriam air.
Polisi juga berusaha mendekat. Sejumlah orang yang diduga provokator dan pelempar batu berhasil diamankan. Mereka bukan mahasiswa, melainkan pemuda di Kota Mataram. ”Yang jelas, kami akan mencari para provokator di aksi ini,” kata Nana Sudjana.
Sekitar pukul 17.00 Wita, mahasiswa akhirnya membubarkan diri. Ada yang langsung pulang, ada juga yang kembali ke kampus masing-masing untuk mengevaluasi aksi mereka hari itu.