Tidak Ada Hukuman, Pelajar Peserta Unjuk Rasa Akan Dibina
Pembinaan kepada pelajar peserta unjuk rasa berujung ricuh, Rabu (25/9/2019), bakal melibatkan orangtua siswa. Pembinaan bakal bersifat edukatif, religius, dan berkebangsaan.
Oleh
AGUIDO ADRI/AYU PRATIWI/NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinas Pendidikan DKI Jakarta memastikan tidak akan memberikan hukuman kepada pelajar peserta unjuk rasa berujung ricuh pada Rabu (25/9/2019). Mereka akan dibina, dan pembinaan melibatkan orangtua siswa. Pembinaan bersifat edukatif, religius, dan berkebangsaan.
”Ini fenomena baru. Demo mahasiswa diikuti oleh demo anak-anak SMA. Kami yakin itu sebenarnya bukan keinginan mereka. Kami akan menawarkan pembinaan terhadap siswa dan orangtua. Jangan sampai anak-anak itu diperlakukan sama seperti pelaku kejahatan umum,” kata Kepala Seksi Peserta Didik dan Pengembangan Karakter Peserta Didik Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta Taga Radja Gah di Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Namun, sebelum pembinaan itu dilakukan, Disdik DKI Jakarta membutuhkan data dari pihak kepolisian terkait asal sekolah pelajar peserta unjuk rasa. Selain itu, Disdik DKI juga menunggu laporan dari pihak sekolah terkait siswa yang tidak masuk kemarin dan dipastikan ikut unjuk rasa.
Pembinaan terhadap para pelajar, Radja menekankan, bakal bersifat edukatif, religius, dan berkebangsaan.
”Kami akan duduk bersama dan mencarikan solusi tepat sebagai langkah preventif ke depan. Pak Gubernur menekankan pendekatan persuasif. Kami tidak serta-merta menghukum anak yang melakukan tindakan kekerasan,” tambahnya.
Radja menjelaskan, tidak ada yang menduga unjuk rasa yang melibatkan siswa kemarin menjadi brutal. Pada Rabu pagi, ia mendengar rencana unjuk rasa, tetapi tidak menyangka hal itu akan betul-betul terjadi.
”Entah siapa yang memulai itu. Pergerakan begitu cepat, kami tidak bisa counter juga. Kami enggak menduga mereka bakal bergerak seperti itu,” ujar Taga.
Kasubdit Bintibsos Polda Metro Jaya AKBP Jajang Hasan Basri berpendapat, kericuhan yang melibatkan pelajar kemarin bukan tanggung jawab sekolah ataupun orang tua siswa. ”Yang menggerakkan itu yang seharusnya bertanggung jawab sepenuhnya,” ucapnya.
Hal tersebut sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kemarin, yang mengimbau Dinas Pendidikan tidak memberikan sanksi atau mengeluarkan siswa yang ikut unjuk rasa. KPAI juga meminta kepolisian serta Kementerian Komunikasi dan Informatika melacak para penyebar undangan aksi pelajar di Kompleks Parlemen.
”Sebagian besar anak-anak ini adalah korban ajakan medsos, orang-orang yang tidak mereka kenal sama sekali. Usia anak mudah dibujuk rayu karena belum tahu resiko dan bahaya untuk tindakannya. Hanya ikut-ikutan agar dibilang gaul dan keren,” kata komisioner KPAI, Retno Listyarti.
Instruksi Anies
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menginstruksikan Dinas Pendidikan DKI dan seluruh kepala sekolah memastikan keberadaan peserta didiknya. Dia tidak ingin ada peserta didik yang hilang.
”Jadi, saya berlakukan absensi cacah jiwa bagi semua sekolah untuk kami mendeteksi jika ada anak yang tidak diketahui keberadaannya. Kami ingin setiap anak dipastikan kondisinya aman,” katanya.
Ke depan, Anies meminta para kepala sekolah bertanggung jawab memastikan agar setiap siswa hadir dalam kegiatan belajar-mengajar. ”Jadi, semua anak mengikuti itu dan setelah selesai sekolah mereka pulang,” katanya.
Berdasarkan pantauan Kompas, Rabu, ketika kerusuhan terjadi di sekitar Stasiun Palmerah, dekat pintu belakang Kompleks Parlemen, sejumlah siswa peserta unjuk rasa tidak menyangka aksi mereka akan berubah jadi ricuh.
Mereka mengaku ikut unjuk rasa karena bentuk solidaritas terhadap mahasiswa yang berunjuk rasa sehari sebelumnya, Selasa (24/9/2019). Oleh karena itu, mereka tidak tahu isu rancangan undang-undang yang disuarakan gerakan mahasiswa. ”Ya, hanya bentuk solidaritas saja. Selain itu, kami juga ikut karena adanya ajakan dari media sosial," tambahnya.
Menyadari situasi berubah ricuh, sejumlah pelajar memutuskan tidak lagi ikut unjuk rasa. ”Ini tidak seperti yang kami harapkan. Kami turun di sini juga ingin menyuarakan aspirasi terkait ketidakadilan yang menimpa masyarakat. Kami pulang sekarang,” kata salah satu pelajar dari SMA Hang Tuah, Jakarta Selatan.