Kejuaraan Dunia Atletik 2019 tetap menarik tanpa kehadiran mahabintang asal Jamaika, Usain Bolt. Masih banyak bintang lintasan dan lapangan yang akan tampil di Doha.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
DOHA, RABU — Untuk pertama kalinya sejak sprinter legendaris Jamaika Usian Bolt pensiun, Kejuaraan Dunia Atletik digelar di Doha, Qatar, 27 September-6 Oktober. Ajang ini pun dinilai menjadi sebagai ajang olahraga terbesar pada 2019. Hal ini menjadi tantangan besar agar atletik tetap menjadi cabang yang menarik untuk ditonton.
Kejuaraan yang akan diselenggarakan di Stadion Internasional Khalifa, Doha, ini akan diikuti 1972 atlet dari 209 negara. Namun, tak akan ada lagi Bolt, bintang yang dengan kharismanya selalu dinanti penonton sejak dia memasuki stadion.
Pelari dengan 11 gelar juara dunia dan delapan medali emas Olimpiade itu pensiun sebagai atlet setelah tampil dalam Kejuaraan Dunia London 2017 dan belum ada atlet yang menyamai kharismanya.
Sebastian Coe, Presiden Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF), menilai kondisi tersebut sebagai tantangan.
”Ini adalah ajang olahraga terbesar tahun ini. Tantangan besar yang kami hadapi adalah mempertahankan cabang ini berada di puncak piramida dari semua cabang dan mempertahankannya agar tetap menarik, terutama bagi anak muda,” tutur Coe, yang terpilih kembali menjadi Presiden IAAF pada Kongres IAAF ke-52, Rabu (25/9/2019).
Layak dinanti
Tanpa Bolt, Coe yakin kejuaraan yang pertama kali digelar pada 1983 itu tetap layak dinanti. ”Dari 209 negara peserta, ada 40-an negara yang berpeluang meraih emas. Masih tetap banyak bintang yang akan bersaing di sini,” kata peraih emas lari 1.500 meter Olimpiade Moskwa 1980 dan Los Angeles 1984 itu.
Pusat perhatian, seperti biasanya, akan tertuju pada nomor lari 100 dan 200 meter putra. Sprinter muda Amerika Serikat, Christian Coleman (23) dan Noah Lyles (22), akan bersaing dengan senior mereka, Justin Gatlin (37), juara bertahan 100 m.
Coleman adalah pelari tercepat 100 m tahun ini (9,81 detik) yang layak dinanti setelah mengungguli Bolt pada London 2017. Saat itu, Coleman meraih perak 100 m, di belakang Gatlin, sedangan Bolt harus puas dengan perunggu.
Namun, kehadiran Coleman di Doha diwarnai kontroversi. Karena tiga kali tak melaporkan keberadaannya, seperti yang diwajibkan Badan Anti Doping Dunia (WADA), Coleman telah melakukan pelanggaran yang setara dengan melakukan doping. Dia terancam tak boleh berlomba selama setahun. Namun, Coleman akhirnya diizinkan tampil di Doha karena Badan Anti Doping AS (USADA) membatalkan tuntutan terhadapnya.
Di nomor 100 m putra ini, Indonesia mengirim satu wakilnya, yakni Lalu Muhammad Zohri. Zohri lolos kualifikasi kejuaraan dunia setelah mencatat waktu 10,03 detik pada Grand Prix Seiko Golden, di Osaka, Mei lalu. Catatan waktu itu sekaligus menjadi rekor nasional dan rekor Asia Tenggara.
Di bagian putri, Shelly-Ann Fraser-Pryce (32) bisa menjadi pelari pertama yang meraih empat gelar juara dunia 100 m. Pelari Jamaika ini menjadi yang tercepat pada Kejuaraan Dunia Berlin 2009, Moskwa 2013, dan Beijing 2015.
Coe juga menjanjikan kondisi yang nyaman, berkat sistem pendingin udara yang inovatif meski atlet akan berkompetisi dengan cuaca panas. Pada siang hari, suhu udara di Doha bisa mencapai 39 derajat celsius.
Tanpa Semenya
Selain Bolt, Kejuaraan Dunia kali ini kehilangan tiga kali juara dunia 800 m putri, Caster Semenya. Pelari Afrika Selatan ini tak dapat mengikuti kejuaraan karena menolak mematuhi peraturan IAAF tentang testosterone.
Semenya, yang terlahir dengan jumlah testosterone berlebih, mengajukan banding pada Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS), tetapi kalah. Dia diminta melakukan pengobatan untuk mengurangi kadar testosterone dalam tubuhnya.
Doha 2019 juga tak akan diikuti atlet-atlet Rusia karena perpanjang skors dari IAAF terkait doping. Untuk kedua kalinya beruntun, atlet-atlet negara pun ini absen dalam Kejuaraan Dunia, kecuali mereka yang telah dinyatakan bersih. Namun, atlet-atlet ini akan berlomba sebagai atlet netral.
Selain menjadi tantangan dengan tak adanya Bolt, Doha 2019 juga akan menjadi momen uji coba, bagi IAAF ataupun atlet, sebelum Olimpiade Tokyo 2020. Ini karena kedua ajang berlangsung dalam cuaca yang sama. Coe mengatakan, IAAF menghadapi tantangan yang sama, terkait cuaca, antara Doha 2019 dan Tokyo 2020.
”Kejuaraan Dunia menjadi tolok ukur penampilan atlet untuk 2019. Ini akan menjadi bagian dari persiapan tim kami untuk Tokyo,” kata psikolog tim Australia, Ned Brophy-Williams. (REUTERS)