Undang-Undang Sistem Budidaya Berpotensi Jerat Petani
Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan. Namun, sejumlah pasal berpotensi menjerat petani kecil serta mengancam keanekaragaman sumber daya hayati di Indonesia.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan. Namun, sejumlah pasal berpotensi menjerat petani.
Sidang paripurna DPR ke-10 di Jakarta, Selasa (24/9/2019), antara lain mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (RUU SBPB). Pemerintah dan DPR mengklaim undang-undang itu melindungi petani.
Akan tetapi, asosiasi petani serta sejumlah organisasi dan lembaga berbeda pendapat. Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan menilai sejumlah pasal membatasi dan berpotensi menjerat petani kecil serta mengancam keanekaragaman sumber daya hayati di Indonesia.
Pasal 27 Ayat 3, misalnya, mengharuskan petani kecil yang mencari dan mengumpulkan sumber daya genetik untuk lapor ke pemerintah. Koalisi petani bependapat, semestinya pemerintah yang berkewajiban melindungi dan memberdayakan petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik.
Kalangan petani juga menyoroti ayat dan pasal pada Bab XVIII yang mengatur tentang sanksi. Substansinya semestinya melindungi dan memberdayakan petani. Sebab, pengumpulan plasma nutfah dan pemuliaan tanaman bagi petani sesungguhnya merupakan inti pertanian yang tidak bisa dipisahkan dengan pengumpulan dan pemuliaan benih.
Pada pasal lain, varietas hasil pemuliaan petani kecil hanya dapat diedarkan terbatas dalam satu kota/kabupaten. Menurut Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, klausul itu bertentangan ini dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 99/PUU-X/2012 atas Uji Materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Petani kecil diperbolehkan mengedarkan varietas hasil pemuliaan ke komunitasnya dan tak dibatasi wilayah.
Akan tetapi, pemerintah berpendapat lain. ”Mereka bisa mengedarkan benih dalam lingkup kelompok dalam satu kota/kabupaten. Kalau (peredaran benih) ke luar, namanya bukan lagi petani, tetapi pengusaha besar,” kata Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
Ancam kedaulatan
Dewi Hutabarat dari Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan menyatakan, upaya mengatur, membatasi, bahkan memidanakan petani, sebagaimana diatur dalam RUU SBPB, merupakan bentuk pengingkaran terhadap tradisi pertanian yang melekat dalam kehidupan petani.
”Patut diduga bahwa RUU SBPB adalah upaya memberi jalan bagi korporasi benih dan pertanian untuk menguasai sumber-sumber genetik dan benih-benih yang masih ada ditangan petani kecil,” ujarnya.
Kondisi itu akan membuat petani tidak berdaulat di tanahnya sendiri. Petani berpotensi jadi buruh dan subordinat dari korporasi benih dan pertanian. Pada akhirnya, kedaulatan negara terancam.
Menurut Amran, beberapa substansi yang diatur dalam RUU SBPB mencakup tindak lanjut putusan MK 99/PUU-X/2012 yang mengecualikan petani kecil dalam perizinan terkait kegiatan mencari dan mengumpulkan sumber daya genetik. Dalam RUU SBPB, petani kecil didefinisikan sebagai seseorang yang sehari-hari mendapat penghasilan hanya dari sektor pertanian.
”Dengan membatasi peredaran benih sampai tingkat kabupaten saja, petani sudah sejahtera dan mereka juga belum tentu sanggup memenuhinya,” kata Amran.
Soal kewajiban petani lapor ke pemerintah, kata Amran, teknis pelaporan akan dibuat semudah mungkin agar tak memberatkan petani. Sistem dimungkinkan berbentuk digital atau daring agar tidak rumit.
Ketua Komisi IV DPR Michael Wattimena berpendapat, pengesahan RUU SBPB sudah mempertimbangkan masukan berbagai pihak. Selain itu, revisi UU 12/1992 juga harus dilakukan karena sejumlah pasal dinilai tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
Menurut dia, ada sejumlah substansi penting dalam RUU SBPB, yaitu pemanfaatan lahan untuk budidaya pertanian, peredaran hasil pemuliaan, perizinan untuk pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik, serta pemberian insentif untuk petani pemula dan pelaku budidaya. (KRN/MKN/HEN)