UU SBPB Ancam Kedaulatan Petani, Serikat Petani Pertimbangkan Uji Materi ke MK
Salah satu yang krusial, aturan mengenai hak petani dalam mengembangkan benih hasil tangkarannya. Hal itu dibatasi untuk hanya dipakai di wilayah kabupaten tempat petani mengembangkan benihnya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·2 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Ampring Mulyono, petani sawah, memanen tanaman seledri di kebunnya di Desa Langaleso, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (9/9/2019). Serikat Petani Indonesia mempertimbangkan mengajukan uji materi UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan ke Mahkamah Konstitusi.
JAKARTA, KOMPAS — Serikat Petani Indonesia mempertimbangkan untuk mengajukan uji materi Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan yang baru saja disahkan pemerintah bersama DPR pada Selasa (24/9/2019) ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena aturan di undang-undang itu mengancam kedaulatan petani.
”Kami sangat menyayangkan DPR yang terburu-buru mengesahkan ini. Padahal, banyak pasal yang bisa menyengsarakan petani. Kami juga akan sampaikan tuntutan kami ke presiden,” kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih saat dihubungi Kompas, Rabu (25/9/2019).
Undang-Undang (UU) Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) tersebut menggantikan UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT).
Henry mengatakan, sebelumnya, SPI pernah meminta pemerintah untuk mengkaji kembali materi yang ada dalam undang-undang baru itu. Sebab, ada sejumlah pasal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012 atas Uji Materi UU SBT, khususnya terkait pemanfaatan benih hasil pemuliaan petani perorangan. Namun, RUU SBPB tetap disahkan.
Ilustrasi: Warga bergotong royong membantu menanam benih jagung milik seorang warga di Desa Tambakua, Kecamatan Langkikima, Kabupaten Konawe Utara, Selasa (6/8/2019). Warga kini beralih menanam jagung setelah areal persawahan cetak berisi padi yang baru ditanam rusak oleh banjir bandang, awal Juni lalu.
”Yang paling krusial, menurut kami, adalah aturan mengenai hak petani dalam mengembangkan benih hasil tangkarannya. Hal itu dibatasi hanya dipakai di wilayah kabupaten tempat petani mengembangkan benihnya,” ujar Henry.
Aturan yang termaktub dalam Pasal 29 Ayat 3 itu, menurut dia, diskriminatif dan rentan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi petani pemulia tanaman dalam melakukan pencarian, mengumpulkan, dan mengedarkan benih.
Aturan itu, menurut Henry, bertentangan pula dengan putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012 atas Uji Materi UU SBT. Putusan itu membolehkan petani kecil mengedarkan varietas hasil pemuliaan kepada komunitasnya dan tidak dibatasi oleh wilayah.
Selama ini petani juga dinilai belum berdaulat atas benihnya karena dominasi benih korporasi. Ketua Departemen Penataan Produksi Koperasi dan Pemasaran Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Rifai, saat dihubungi secara terpisah, mengatakan, petani kecil kerap terbebani dengan biaya pengadaan benih yang didominasi produksi perusahaan besar.
Ilustrasi: Petani menyiapkan benih padi pada musim tanam pertama di Cengkareng, Tangerang, Banten, Rabu (4/1/2017).
Kebutuhan benih padi, misalnya, 50 persen dipenuhi dari produk korporasi. Kebutuhan benih jagung dari korporasi bahkan mencapai 95 persen.
Setiap tahun total biaya belanja benih petani kecil untuk beberapa komoditas, seperti padi, cabai, bawang, dan kedelai, Rp 29,65 triliun dengan total kebutuhan 464.835 ton benih.
”Biaya belanja yang meningkat setiap tahunnya dikhawatirkan mengancam cadangan benih dan kesejahteraan petani,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi IV DPR Michael Wattimena mengklaim pengesahan RUU SBPB sudah mempertimbangkan masukan berbagai pihak (Kompas, 24/9/2019).
Sejumlah substansi yang dinilai penting dalam RUU SBPB adalah pemanfaatan lahan untuk budidaya pertanian, peredaran hasil pemuliaan, perizinan untuk pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik, serta pemberian insentif untuk petani pemula dan pelaku budidaya.