Petani Konawe Selatan Merana di Tengah Sawah
Serupa sebagai pasangan, petani dan sawahnya adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Petani mengolah serta mencurahkan daya dan upaya untuk menjadikan berhektar-hektar tanaman di sawah tumbuh subur.
Serupa sebagai pasangan, petani dan sawahnya adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Petani mengolah serta mencurahkan daya dan upaya untuk menjadikan berhektar-hektar tanaman di sawah tumbuh subur. Sawah akan menghasilkan tanaman sebagai produk makanan untuk kehidupan keluarga dan masyarakat.
Akan tetapi, harapan itu kini mulai merapuh akibat dihantam musim yang tidak bersahabat. Petani dan sawahnya ibarat pasangan yang kini terpisah dari hasil sawahnya sendiri karena ancaman gagal panen.
Duduk bertopang dagu di pematang sawah, Mesirante (50) tidak memedulikan jerangan panas matahari, Rabu (11/9/2019). Caping yang tidak lagi utuh di kepalanya menjadi penghalang satu-satunya dari sengatan terik matahari yang terasa membakar kulit di Ranomeeto, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Satu tangannya menggapai-gapai rumput liar di sekitarnya. Di sekelilingnya, berpetak-petak sawah miliknya tampak memutih. Tanah retak serupa kue lapis. Tanaman padi yang telah ditanamnya 17 hari lalu seakan tumbuh segan mati pun tak mau. Tinggi tanaman itu tidak lewat sejengkal. Tanaman tidak lagi rimbun seperti biasanya.
”Saya tanam padi di lahan seluas 5 hektar. Semuanya begini, putih dan kering. Sebentar lagi ’cerai’ kalau begini. Sekarang masih talak,” ucap Mesirante berkelakar. Mesirante telah bergelut menjadi petani nyaris setengah dari usianya. Kiasan yang ia maksud bercerai adalah berpisah untuk masa tanam kali ini. Ia bersiap merelakan hasil tanam kali ini tak bisa dinikmati.
Puncak musim kemarau datang lebih cepat dari yang dibayangkan. Sumber air mengering, sementara hujan tak kunjung turun. Rante, panggilan akrabnya, bercerita, ia menanam sejak akhir Agustus lalu. Padahal, saat itu, kondisi kali masih tergenang air yang cukup. Bahkan, hujan juga sesekali turun sehingga peluang itu tidak ia sia-siakan. Benih pun disemai, lalu segera dipindahkan ke sawah. Dari total 7 hektar sawah miliknya, hanya 2 hektar yang tidak diolah. Modal mengolah sawah saat itu lebih dari Rp 3 juta.
Memasuki pekan kedua, tampungan air di kali kecil dekat sawahnya ternyata menipis. Hujan pun tidak lagi turun. Beberapa kali ia mencoba menarik air dengan pompa. Akan tetapi, sawah yang telah dialiri itu mengering dengan cepat. ”Tidak sampai satu malam, air sudah habis. Betul-betul habis. Jadi, kalau sudah begini, kita berdoa saja semoga ada hujan. Kalau tidak, ya, sudah betul-betul gagal,” tambahnya.
Dengan langkah malas, Rante membersihkan rumput-rumput liar di pinggir pematang. Rumput liar itu lebih tinggi ketimbang tanaman padinya. Tampak sebuah mobil yang membawa pupuk datang mendekatinya. Ia menghampiri dan menurunkan beberapa karung pupuk yang ia beli sebelum kemarau panjang.
Saat itu, Rante menduga, musim tanam kali ini bisa lebih baik. Ia mengeluarkan Rp 1 juta untuk membeli pupuk dengan harapan bisa digunakan segera. Namun, karena kemarau kering, terpaksa pupuk itu menjadi stok musim tanam berikutnya. Berjarak beberapa petak dari sawah Rante, Suwito (65) memanggul cangkul berjalan di pematang. Bertelanjang kaki, ia melintasi pematang menuju dangau untuk istirahat.
Ia baru saja berusaha memperbaiki jalur air menuju sawahnya. Meski telah kering kerontang, ia berharap ada hujan turun dan membasahi sawah. Hujan, menurut Suwito, adalah hal yang paling ia tunggu saat ini. Berharap pada air di kali tidak lagi mampu. Membuat sumur juga memerlukan biaya tinggi.
Beberapa kali ia mencoba menarik air dari sumur milik tetangganya. Satu kali mengambil air, ia harus mengeluarkan biaya Rp 250.000 untuk membeli 10 liter solar. Saat sawah telah dialiri, ternyata air tidak bisa bertahan lama.
”Kalau dialiri pagi ini, besok sudah kering. Bahkan, untuk cuci tangan saja sudah tidak ada. Satu petak sawah butuh sampai tujuh kali tarik air, itu sudah berapa biayanya. Tidak sanggup saya,” kata Suwito.
Oleh karena itu, hujan adalah harapan satu-satunya baginya. Kondisi saat ini jauh berbeda dengan musim tanam awal tahun lalu, hujan berlebihan hingga menggenangi sawah. Hujan terus turun meski telah memasuki musim panen. Ia berhasil memanen 1 hektar sawah miliknya yang bisa menghasilkan hingga 3 ton gabah. Suwito mengatakan, ia memiliki 3 hektar sawah yang menjadi tumpuan hidupnya.
Jika hujan tidak turun dalam seminggu ke depan, tambah Suwito, ia siap mengucapkan selamat tinggal kepada tanaman padinya. ”Saya siap gagal dan untuk mencari makan masuk kerja bangunan saja kalau begini.” Seperti berharap pada keajaiban, hujan merupakan hal yang sangat ditunggu petani di wilayah Konawe Selatan. Namun, tampaknya keinginan itu jauh dari harapan. Musim kemarau kering saat ini akan berlangsung panjang.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meramalkan, September ini adalah puncak musim kemarau. Musim kemarau kali ini akan lebih panjang daripada biasanya akibat pengaruh El Nino. Padahal, di wilayah Kelurahan Ranomeeto terdapat ratusan hektar sawah tadah hujan yang telah ditanami oleh petani dengan luas sekitar 150 hektar. Semua sawah di sini terancam puso jika tidak ada pasokan air dalam waktu dekat.
Total luas lahan di Konawe Selatan 20.929 hektar. Sebagian petani di kabupaten ini telah melaporkan dampak kekeringan yang mengarah pada potensi gagal panen. Padahal, produksi padi pada 2018 sebesar 122.989 ton. Hasil produksi ini merupakan yang terbesar kedua di wilayah Sulawesi Tenggara setelah Kabupaten Konawe yang mencapai lebih dari 200.000 ton.
Butuh solusi
Sawah di wilayah ini memang sebagian besar sawah tadah hujan. Terlebih ketika bendung yang berada sekitar 7 kilometer dari tempat ini rusak. Sampai saat ini Bendung Ranomeeto 1 belum diperbaiki, padahal sudah dianggarkan untuk diperbaiki.
”Katanya, sudah ada anggarannya. Tetapi tidak tahu, kenapa tidak juga diperbaiki,” ucap Yan (56), petani lainnya. Yan kini mencari usaha sambilan berjualan pupuk. Selain itu, ia juga bekerja di banyak hal setelah sawah yang digarapnya terancam gagal. Menurut Yan, petani butuh perbaikan irigasi dan saluran air yang tetap setiap tahunnya. Pasokan air adalah hal yang utama bagi sawah tadah hujan untuk menjamin tanaman bisa tumbuh dengan baik.
Bantuan mesin potong atau traktor, menurut Yan, sebaiknya bisa dilakukan belakangan. Dalam setahun petani di wilayah ini sebagian besar hanya bisa menanam dua kali. Kegiatan itu bisa dilakukan jika pasokan air berlimpah. Padahal, potensi produksi padi di wilayah ini cukup lumayan, berkisar 4-5 ton per hektar.
Budi Santoso, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Konawe Selatan, menjelaskan, pemerintah setiap tahun memprogramkan pembuatan embung dan irigasi pertanian di sejumlah wilayah. Namun, program itu belum bisa memenuhi kebutuhan semua wilayah di Konawe Selatan.
Pertanian dan perkebunan memang merupakan sektor yang menjadi tumpuan banyak warga di wilayah Sultra. Akan tetapi, pemerintah seperti tidak memberikan porsi besar untuk pengembangan. Pemerintah lebih memilih membangun banyak proyek mercusuar. Selain itu, pemerintah juga lebih banyak memberi ”karpet merah” ke sektor pertambangan daripada pertanian.
Kondisi itu membuat sektor pertanian di Konawe Selatan merana. Sampai pada akhirnya potensi ancaman gagal panen saat kemarau panjang bisa menjadi kenyataan. Ironisnya, pemerintah kabupaten tak mampu mengantisipasinya. Petani yang berada di garda depan ekonomi, khususnya di Konawe Selatan, harus siap-siap kehilangan sumber ekonomi mereka. Ancaman gagal panen hampir pasti menjadi kenyataan.
Padahal, lahan persawahan di daerah itu merupakan pertaruhan bagi nasib hidup keluarga para petani. Ke mana tanggung jawab, janji, dan dana anggaran yang berasal dari pajak rakyat dialokasikan? Mereka butuh solusi segera sebagai tanggung jawab moral pemimpin yang mereka pilih.