JAKARTA, KOMPAS Meraih kembali kepercayaan publik menjadi salah satu pekerjaan rumah utama 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024. Kepercayaan publik terhadap DPR 2014-2019 sudah begitu rendah akibat kinerja buruk dan diperparah langkah DPR yang cenderung tak melibatkan masyarakat dalam pembahasan legislasi pada akhir masa jabatannya.
Beberapa pekan terakhir, DPR membahas dan mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) kontroversial, di antaranya revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai bisa melemahkan KPK dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi memudahkan kriminalisasi masyarakat. Revisi UU KPK sudah disahkan, sedangkan RKUHP akhirnya pengesahannya ditunda. Pembahasan kedua RUU itu dilakukan secara tertutup dalam waktu singkat oleh DPR.
Sementara itu, dari sisi kuantitas, pada 2014-2019, tingkat capaian Program Legislasi Nasional prioritas tidak pernah mencapai 50 persen per tahun. Berdasarkan survei Kompas, April 2019, hanya 45,1 persen dari 1.200 responden di 34 provinsi yang menganggap baik citra DPR.
Dengar aspirasi publik
Kepala Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (24/9/2019), menilai kepercayaan publik terhadap DPR akan semakin menurun karena di ujung masa jabatannya DPR membahas dan mengesahkan sejumlah RUU yang bertentangan dengan aspirasi publik.
Terkait hal itu, pengajar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mada Sukmajati, menyarankan DPR periode 2019-2024 yang akan dilantik 1 Oktober mendatang memperkuat pelibatan publik, sekaligus mengutamakan aspirasi publik dalam pembahasan RUU. Hal ini menjadi penting di tengah menurunnya kepercayaan publik akibat buruknya kinerja DPR.
Mekanisme internal, kata peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Arya Fernandes, perlu dibentuk DPR yang baru guna memastikan pembahasan setiap RUU melibatkan masyarakat. Pembahasan juga harus dilaksanakan secara terbuka.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor, DPR periode baru harus bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka lebih baik daripada periode sebelumnya. Hal itu bisa dilakukan dengan cara lebih produktif membuat undang-undang dan menjaga kualitas produk legislasi. Upaya memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap DPR menjadi sangat penting bagi praktik demokrasi. Tanpa kepercayaan publik terhadap DPR, sistem demokrasi akan mulai terdegradasi.
Berupaya diperbaiki
Ketua DPR Bambang Soesatyo tak membantah kinerja DPR periode ini menimbulkan gejolak yang merepresentasikan ketidakpercayaan publik. ”Ini adalah pelajaran untuk kita semua,” kata Bambang.
Bambang mengaku DPR berusaha mengembalikan kepercayaan tersebut dengan mengakomodasi tuntutan masyarakat dan permintaan pemerintah, di antaranya menunda pengesahan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. ”Kami akan lakukan yang terbaik (kembalikan kepercayaan),” ujarnya.
Selain itu, menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, buruknya citra DPR tak hanya disebabkan kinerja para anggotanya. Nasir, yang kembali terpilih menjadi anggota DPR periode 2019-2024, menjelaskan, anggota DPR merupakan produk dari UU Partai Politik dan UU Pemilu. ”Tidak bisa DPR saja, hulunya juga harus diperbaiki. Bagaimana mengubah sistem kepartaian dan sistem kepemiluan yang bisa menghasilkan anggota legislatif yang berintegritas,” ujar Nasir.
Kendati begitu, politisi Partai Golkar, Nurul Arifin, yang terpilih menjadi anggota DPR periode 2019-2024, menambahkan, hal yang tak kalah penting untuk dilakukan guna mengembalikan kepercayaan publik adalah perbaikan kinerja. Dia menyadari penyebab DPR kehilangan kepercayaan publik adalah kinerja legislasi yang rendah dan kasus korupsi yang menimpa sejumlah anggota DPR.
Karena itu, DPR ke depan perlu memperbaiki politik legislasi, yakni dengan lebih fokus pada kualitas regulasi, bukan kuantitas seperti yang selama ini terjadi. Sementara untuk mencegah korupsi, semua anggota DPR perlu berhati-hati dan menjauhkan diri dari praktik-praktik yang mengarah pada korupsi.
Tidak kalah penting, Arya Fernandes mengingatkan evaluasi dari partai politik juga dibutuhkan. Menurut dia, parpol seharusnya membuat sistem penghargaan dan hukuman untuk mengevaluasi kinerja setiap anggota DPR. Selain itu, penugasan kader partai sebagai anggota DPR pun tak bisa sembarangan. Kompetensi harus menjadi pertimbangan utama.
Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Budiman Sudjatmiko, mengakui, evaluasi partai terhadap kinerja anggota Dewan tak optimal. Partai masih cenderung memprioritaskan loyalitas ketimbang hasil kerja yang terukur. (NIA/MTK/NTA)