Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS yang berlarut-larut tak bisa dirampungkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS yang berlarut-larut tak bisa dirampungkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019. Dalam rapat panitia kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (25/9/2019), kedua pihak baru menyepakati pembentukan tim khusus. Namun, tim tersebut baru akan bekerja pada periode berikutnya.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PKS dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Dasopang menjelaskan, tim khusus (timus) dibentuk untuk mempercepat penuntasan perbedaan pendapat mengenai substansi RUU. Sejauh ini, seluruh fraksi dan pemerintah belum mencapai kesepahaman terkait beberapa pasal krusial.
Ketidaksetujuan salah satunya berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam kesepakatan pembentukan timus, fraksi tersebut masih memberikan catatan. Di antaranya mengenai potensi pertentangan antara materi RUU dengan nilai-nilai Pancasila dan agama, yang dinilai akan memunculkan polemik dalam masyarakat.
Pembentukan timus juga sebenarnya tidak akan berdampak signifikan pada kemajuan pembahasan RUU PKS pada periode ini. Sebab, masa jabatan anggota DPR akan segera habis pada akhir September. Dua hari yang akan datang pun mereka sudah memasuki masa karantina. “Timus baru akan bekerja pada periode berikutnya,” kata Marwan.
Meski tak berdampak banyak, Marwan mengatakan, setidaknya itikad untuk mempercepat pembahasan sudah dilakukan. Selain itu, baik pemerintah maupun DPR sudah menyepakati tiga bab dalam RUU, yaitu tentang pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi kekerasan seksual.
Kemajuan itu diklaim sebagai modal penting karena pembahasan di periode selanjutnya tak perlu mengulang dari awal. Hal itu bisa dilakukan seiring dengan sudah disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) yang mengandung sistem carry over.
Ketua Panja RUU PKS dari Pemerintah Vennetia Danes mengatakan, itikad pembentukan timus setidaknya menunjukkan perkembangan dalam pembahasan RUU. Sebab, dalam tiga tahun terakhir, pembahasan RUU ini jalan di tempat.
Ia berharap, timus benar-benar bisa mewadahi diskusi untuk menyamakan persepsi antara pemerintah dan DPR. Dengan begitu, RUU PKS menjadi UU yang mampu menjawab kebutuhan korban kekerasan seksual.
Kekecewaan publik
RUU PKS merupakan salah satu produk legislasi yang paling menjadi sorotan publik. Berbagai pihak, termasuk demonstran yang berunjuk rasa di Kompleks Parlemen beberapa hari terakhir juga membawa isu agar pengesahan RUU tersebut dipercepat.
Menanggapi hal itu, Marwan meminta publik agar bersabar. Sebagai Ketua Panja, ia sudah berupaya sekuat tenaga untuk mempercepat pembahasan.
Demonstran yang berunjuk rasa di Kompleks Parlemen beberapa hari terakhir membawa isu agar pengesahan RUU tersebut dipercepat.
Namun, ada hal-hal mendasar yang perlu dipertahankan, di antaranya status sebagai UU khusus (lex specialis). Sebagai UU khusus, kata Marwan, harus ada pasal yang mengatur soal pemidanaan di dalamnya. Urusan pemidanaan tersebut juga merupakan salah satu kendala pembahasan karena dianggap akan tumpang tindih dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Vennetia menambahkan, pihaknya juga berkomitmen untuk segera menuntaskan pembahasan RUU PKS. Sejak diinisiasi DPR pada 2017, pemerintah sudah menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU PKS. Ia pun menjamin tidak akan ada aturan pemidanaan yang tumpang tindih dengan RKUHP.
“Kami sangat siap, bahkan bekerja selama 24 jam pun siap. Akan tetapi dari DPR kan mengatakan pembahasan ini sudah tidak realistis, karena (masa jabatan) tinggal dua sampai tiga hari,” ujarnya.