Pemerintah Tuding Kerusuhan Papua Digerakkan Kelompok Benny Wenda
Kerusuhan didesain agar ada kesan aparat keamanan terpaksa bertindak represif, sehingga menarik perhatian internasional bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia di Papua
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Menteri Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menuding kerusuhan di Papua berkaitan dengan agenda sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, Amerika Serikat. Kerusuhan didesain agar ada kesan aparat keamanan terpaksa bertindak represif, sehingga menarik perhatian internasional bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Hal tersebut diungkapkan Wiranto di kantornya, Selasa (24/9/2019). Hadir mendampingi Wiranto antara lain Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, dan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letnan Jenderal (Purn) Hinsa Siburian.
Wiranto mengklaim, pemerintah memiliki bukti bahwa kerusuhan yang terjadi di Jayapura dan Wamena pada Senin (23/9/2019), tidak terjadi secara begitu saja. Kerusuhan itu, kata Wiranto, erat kaitannya dengan sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang berlangsung sejak 17 September 2019.
“Gerakan Papua Merdeka ingin menunjukkan eksistensinya, sehingga memprovokasi teman-temannya di Papua untuk melakukan gerakan-gerakan yang merugikan masyarakat. Ada upaya membangun konflik horisontal di antara kita,” ujar Wiranto.
Tito menduga, kerusuhan yang terjadi di Surabaya maupun Papua saling terkait satu sama lain. Ia menyebut kelompok United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang dipimpin Benny Wenda menghendaki agar kerusuhan di Papua bisa memancing perhatian media dan dunia internasional. Tujuannya sebagai amunisi pada saat mereka melakukan upaya diplomasi.
“Untuk memunculkan citra bahwa ada pelanggaran HAM di Papua. Nanti isu ini yang akan diangkat saat sidang Majelis Umum PBB,” kata Tito.
Menurut Tito, UNLWP melaksanakan agenda tersebut dengan menggunakan jaringan dalam negeri mereka, yaitu Komite Nasional Papua Barat. Mereka memiliki kelompok yang memiliki sel di sejumlah kota di Indonesia. Sel-sel kelompok ini yang kemudian memicu peristiwa seperti pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
Saat ini aparat keamanan tengah berupaya meredam situasi di Papua. Pemerintah mengecam pihak-pihak yang mencari keuntungan dari kerusuhan yang terjadi.
Tito menyampaikan, ada 26 korban meninggal dunia akibat kerusuhan di Wamena. Sebanyak 22 korban meninggal merupakan masyarakat Papua pendatang. Empat sisanya adalah warga Papua asli. Di Jayapura, polisi menetapkan hampir 400 tersangka atas insinden kerusuhan itu.
Dialog
Untuk meredam situasi, Kepolisian dan TNI telah terjun langsung ke Papua. Tito mengatakan, pihaknya bersama TNI melakukan banyak dialog pascaperistiwa kerusuhan. Selain itu, sebanyak 6.000 pasukan tambahan telah dikirim ke Jayapura.
Tim investigasi juga telah diterjunkan untuk menyelidiki lebih lanjut peristiwa kerusuhan. Kepolisian menggandeng Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menjaga obyektivitas proses investigasi.
“Secepat mungkin kita akan lakukan langkah-langkah rekonsiliasi dan perbaikan maupun rekonstruksi. Di tempat lain juga kita meningkatkan kesiagaan, di kota-kota yang ada sel-sel Komite Nasional Papua Barat (KNPB),” ucap Tito.
Secara terpisah, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maybrat, Papua Barat, Ferdinando Solossa, mendesak kepolisian segera mengusut pelaku penyebaran berita bohong tentang oknum guru di SMA PGRI Wamena yang mengucapkan ujaran rasialisme kepada siswanya. Menurut Ferdinando, kabar bohong itu menyulut amarah masyarakat dan memicu terjadinya kerusuhan.